enjoy it :)
Ini hujan pertama di bulan desember. Hujan yang membuatku terjebak diantara kerumunan orang-orang yang tak ku kenal di depan gedung aula kampus. Aku memandang kesekeliling ku, menyapu pandangan mataku keseluruh penjuru halaman aula, tapi aku gagal. Aku tak menemukan satupun teman-teman seangkatanku. Kemana perginya mereka? Cepat sekali mereka menghilang? Batinku. Aku benar-benar tak mengenal satupun orang-orang yang ada disini. Aku terjebak hujan sendirian.
Aku
menatap langit yang masih terus saja menumpahkan seluruh isinya. Sudah lama
sekali aku tak melihat hujan. Setahun belakangan ini menjadi musim panas
terpanjang yang pernah aku rasakan. Aku tersenyum, aku selalu merindukan hujan.
Aku selalu rindu bau tanah basah yang baru saja diguyur hujan. Aku rindu bau
dedaunan basahnya. Aku selalu rindu kamarku dikampung halaman ketika desember
tiba, saat setiap fajar menjelang aku terbangun dan mencari selimut ketika
kedinginan, saat lampu temaram yang selalu menemani malamku mendengarkan
guyuran hujan diatap rumah. Aku menengadah keatas menatap bulir-bulir yang
mulai turun perlahan, sudah lama sekali rasanya aku tak pulang kerumah. Hujan
dan desember bagiku selalu saling berhubungan, mereka terikat seperti bulan dan
bintang. Aku rindu rumah. Aku rindu dia.
Aku menarik nafas panjang sembari
menutup mataku, dan kita tahu desember selalu membawa kita pada kenangan kita
masing-masing…
***
Desember-setahun lalu…
Hari terlihat sedikit mendung. Awan
abu-abu terlihat pekat siang ini. Kami baru saja menyelesaikan mata kuliah
jurusan. Aku melangkahkan kakiku berjalan menyusuri koridor kampus sembari
menyapa teman-temanku yang masih tinggal untuk mengerjakan tugas di taman
kampus.
“duluan ya!” sapaku kepada sebagian
teman yang ku kenali dibalas dengan lambaian tangan dan senyuman dari mereka.
Aku melanjutkan langkahku. Belum sempat aku mencapai halaman utama kampus,
hujan tiba-tiba saja mengguyur. Seperti yang sudah ku kira. Orang-orang
berhamburan berlarian mencari tempat berteduh sembari menutupi kepala mereka.
Aku mematung di depan lobby kampus. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain
menunggu. Menunggu hujan berhenti seperti biasa orang normal lakukan.
Dan disanalah aku melihatnya. Mataku
terhenti pada objek yang membuatku tak ingin berkedip. Objek yang sering sekali
kulihat beberapa bulan belakangan ini. Objek yang membawa fikiranku selalu
ingin mendeskripsikan sesuatu yang ada di dalamnya. Objek ini yang membuatku
selalu menerka-nerka hal yang tak pernah kutemukan jawabannya. Seorang
laki-laki berkacamata berbingkai kotak yang entah minus berapa dengan kemeja
kotak-kotak flannel hijau lumut yang
tangannya dilipat seperempat bagian. Berdiri di depan sebuah kelas yang tak
jauh dari tempatku berteduh. Aku menatapnya dalam. Seseorang yang terlarut
menatap ke layar handphonenya tanpa tahu apa yang sedang ia lakukan. Mengabari
pacarnya kah? – seseorang yang menghisap rokoknya dalam dan menghembuskannya
menghipnotisku kali ini. Benar-benar dia menyita seluruh perhatianku.
Plakkkk!
Tepukan seseorang membuyarkan lamunanku.
Benar-benar sialan. Aku belum selesai dengan semua ini, pikirku.
“biasa aja kali ngeliatinnya” seseorang
tergelak disampingku.
Dengan cepat ku tutup mulutnya yang bisa
membahayakan keselamatan jiwa dan ragaku itu. Kalau saja ada yang mendengar, aku
bisa saja mati karenanya. “Tan, diem!” mataku membulat menatap kearahnya.
Tania menepuk-nepuk tanganku yang ku
letakkan di depan mulutnya berusaha melepaskan diri dari jeratanku. Ia
mengangguk-angguk kali ini dan aku melepaskannya.
“gila apa ya! Kalo gue mati kehabisan
nafas, lu mau nyumbangin nafas lu buat gue?” seperti biasa ia akan mengomel.
“enggak banget” aku terkekeh geli.
“lagian lu ya, udah gue bilangin kan, jangan buat orang-orang curiga apalagi
dia, ampun deh gue” aku memasang tampang keki.
“lah salah gue apaan?” Tania akan selalu
seperti itu. Memasang wajah super innocent-nya.
“ya jelas salah lah. Kita Cuma berjarak
kurang dari dua meter sama dia. Lu ngomong udah kayak toa mesjid aja. Kalo dia
denger? Kalo dia noleh gimana? Tamatlah riwayat gue”
“gak ada salahnya kali Di kalo lu nyapa
dia duluan” Tania memelankan suaranya. Matanya menatap lurus kedepan. Menatap
hujan yang belum juga berhenti.
Aku menarik nafas dalam. “udah ke 347
kalinya jawaban gue buat lu ya gue belum siap, Tan” jawabku pelan sembari
melangkah maju menengadahkan tanganku di bawah guyuran hujan. Aku bisa
merasakannya terjatuh kedalam telapak tanganku.
“terus sampai kapan? Sampai dia deket
sama orang lain?” Tania menatap kearahku.
Aku menggeleng. Matakku terus saja melihat
ke telapak tanganku yang basah. Sama basahnya seperti hatiku saat melihat Bara
Julian. “gue gak tahu, gue kira semua mempunyai masa-nyakan? Gue yakin kalo
emang tuhan mau mempertemukan gue sama dia, semua ada jalannya. dan gue kira
bukan sekarang”
***
Aku
berjalan menuju kasurku sembari mengeringkan rambutku yang basah sehabis mandi.
Melipat kakiku kemudian menatap kearah layar laptopku yang kuletakkan diatas
kasur. Aku menghela nafas panjang melihat tugasku yang baru saja setengah
rampung. Entah kenapa malam ini rasanya lelah sekali, rasanya malas sekali
melihat deretan kalimat sialan yang harus kususun itu. Melihat laporan-laporan
yang mesti ku kerjakan secepatnya. Tapi apa boleh buat. Tugas tetaplah tugas.
Drrrrttttt~
Handphoneku
tiba-tiba berbunyi. Pemberitahuan pesan masuk Line.
R : Hey
R : How's your day?
R : Maaf hari ini gak sempat hubungin kamu, soalnya agak sibukan
Aku meletakkan handphone ku diatas meja
lampu tidur disamping kasur ku. Aku melepas handuk yang kuletakkan dikepalaku.
Aku kemudian menyandarkan diri di dinding kasurku. Tatapanku kosong.
Entah apa yang ku pikirkan. Dia selalu
ada disini. Rendi Saputra.
Beberapa bulan belakangan ini dia selalu
ada disini. Dia tak pernah melupakanku dalam kondisi apapun. Dia selalu ada.
Dia selalu menyempatkan waktunya untukku. Dia tak pernah lupa pada pagi dan
malamku. Tak terlintas seharipun tanpa berbicara padanya entah itu bertemu atau
sekedar hanya di telepon saja. Aku tahu aku sudah melangkah jauh bersamanya.
Aku mulai mencari keberadaannya saat dirinya tak ada. Dia mulai mempengaruhi
hariku pelan tapi pasti. Dia menarikku kedalam duniannya. Ia mengulurkan
tangannya malam itu, malam dimana kami bertemu pertama kali. Tapi, apa yang
kutunggu sebenarnya? Aku tak pernah menggubris pertanyaannya tentang hubungan
kami. Aku selalu menunggu. Entah apa yang kutunggu. Padahal dia nyata. Apa
karena Bara. Apa yang sebenarnya kutunggu. Bara bahkan tak mengenalku
samasekali. Apa aku berharap bisa bertemu dengannya tanpa sekat? Apa aku bisa
benar-benar berbicara dengannya? Pikiranku ini ku kenali. Pikiran semuku. Apa
kita bisa jatuh cinta pada dua orang sekaligus?
Aku tak pernah punya keberanian untuk
menjalani segalanya. Aku pernah terjatuh dan aku tahu sangat menyakitkan
rasanya ketika bangkit lagi. Belum-belum saat kita jatuh ke jurang terdalam.
Kita harus memanjat untuk naik lagi dengan luka-luka yang harus kita tahan. Bagaimana
caranya aku berani untuk menjatuhkan hatiku lagi kalau pada dasarnya aku takut
untuk mengobati lukanya? Tapi hatiku benar, aku mulai mencari-cari keberadaan
Rendi setiap hari. Ada yang kurang saat dia tak menelpon pada malam hari. Ada
yang kurang saat pagiku tak di sambut pesan “selamat pagi Di” lengkap dengan
emoticon bunga pink. Sebenarnya ada emoticon bunga mawar sih, tapi aku selalu
heran kenapa dia selalu menggunakan emoticon bunga yang lain. dia tak pernah
memberikanku mawar, tapi sayang aku tak punya keberanian untuk bertanya. Dia
selalu melengkapi segalanya. dia mendengarkan ceritaku setiap malam hingga kami
sama-sama menutup mata sambil berbicara. Dia menghubungiku walaupun dia tau aku
sedang sibuk. Dia selalu mengajakku sarapan setiap minggu pagi di tempat bubur
ayam favoritku bila aku pulang ke kota asalku. Dia bisa berinteraksi dengan
teman-temanku. Dia merebut hatiku.
Tapi entah kenapa aku merasa dia menjauh
akhir-akhir ini. Aku merasa kita sama-sama sibuk sampai tak lagi punya waktu untuk
saling bertukar kabar. Sudah lebih dari tiga minggu dia tidak menelponku
seperti biasa. Kami hanya menjalani pagi biasa dengan sapaannya lalu dia
menghilang hingga malam datang kemudian mengubungiku sebentar lalu tertidur.
Sudah lama kami tidak sarapan setiap minggu pagi, padahal aku akhir-akhir ini
selalu pulang. Untuknya. Apa yang salah? Tapi aku menepis pertanyaan-pertanyaan
itu, ku kira dia sedang sangat sibuk sekarang.
***
Aku mengaduk-aduk choco-mint ku berulang kali kemudian memandang kearah jendela café kemudian mengaduknya sembari mataku
hilang tak berarah. Entah kenapa rasanya choco-mint
ku kali ini sangat berbeda dari biasanya. Biasanya ia mampu melumerkan seluruh
keadaan hatiku. Berbeda dengan saat ini. Hatiku rasanya tak beraturan. Pikiranku
tak lagi berada di tempatnya. Perasaanku benar-benar tak enak saat ini.
Berulang kali aku melihat ke layar handphone
ku tapi tak juga aku melihatnya.
Dia tak menghubungiku hari ini.
Sungguh ini bukan seperti hari biasanya.
Dia tak lagi ada. Kemudian aku membuka recent updates-ku. Dan kaboom! Bagaikan bom yang jatuh di
Nagasaki hatiku hancur lebur.
Dia mengganti display picture-nya.
Aku bahkan tak mengerti apa yang
terjadi. Kami bahkan tak punya masalah seingatku. Kenapa hari ini dia tak
menghubungiku? Pertanyaan itu terus dan terus datang seolah mendesak
kesudut-sudut kepalaku. Dia tak mau keluar dari sana, memaksa terus mencari
jawaban. Yang tentu saja tak bisa ku temui. Dia menyeretku ke dalam tanda Tanya
besar yang terpampang jelas di hadapanku. Apa salahku?
Pikiranku melayang ke beberapa saat lalu
saat kami masih bertemu. Saat kami masih saling bisa tertawa bersama. Saat
telepon dan ucapan itu masih mengalir.
“kamu
suka angka 15 kan? Minggu depan aku pertandingan lho! Terus aku dapat baju
dengan nomor punggung 15. harapannya sih kamu bisa nonton” ucapnya malam itu
saat kami berdua video-call-an.
Aku
tersenyum kecut. Karna aku tak bisa pulang akhir minggu ini untuk melihatnya
bermain dipertandingan basketnya. “aku ada kerjaan kampus minggu ini” ucapku.
Dia
merengut. Aku sudah mulai memikirkan berbagai macam cara untuk membujuknya.
“yasudah,
nanti next time nonton ya” dia tersenyum manis sekali di balik kacamata
kotaknya.
Atau
tentang…
“aku
menang main basketnya. Cepat pulang. Aku bakalan tagih janji kamu buat traktir
aku makan kalau aku menang!” aku tersenyum membaca pesannya sore itu.
Aku
ingat aku berjanji padanya untuk cepat pulang dan menepati janjiku. Aku ingin
sekali pulang saat itu juga saat membaca pesannya.
Dan
sampai pada akhirnya…
“aku
agak sibukkan akhir-akhir ini. Mungkin aku bakalan jarang ngabarin kamu. Tapi
aku usahain kok kita bakalan terus kabar-kabaran” Rendi mengaduk jus mangganya.
Aku
diam sejenak menatap kearahnya. Aku merasa Rendi akan pergi jauh dariku. “kita
sama-sama sibuk, apa kita bisa terus-terusan kayak gini?” ungkapku tiba-tiba
dan tanpa ancang-ancang.
Rendi
tersenyum tipis kemudian membenarkan kacamatanya yang melorot. Aku hapal
caranya bericara denganku. Aku hapal senyumnya. Aku hapal caranya menatapku.aku
bukan baru saja mengenalnya seminggu dua minggu. Aku sudah cukup tahu
segalanya. “aku harap kita bisa terus kayak gini” sambungnya.
Dia
tak lagi berada ditempatnya. Aku tahu angan-angannya tak lagi disini. Tapi dia
sudah berusaha. Aku menghargai usahanya itu walaupun kita tidak bisa memaksakan
segalanya berjalan sempurna. Setidaknya dia pernah berusaha.
Aku kemudian mengambil handphone ku dan
mengetik pesan…
| D : |
Maaf, maaf atas segalanya. maaf atas hal yang gak kusengaja
atau yang ku sengaja selama ini. Makasih untuk semuanya. Maaf aku bahkan gak
sempat membalas segalanya
Yang
paling membuat ku sesak saat mengingatnya aku bahkan benar-benar tak sempat
untuk membalas segalanya. kami tak punya waktu lagi saat itu. Kami tak lagi
memiliki kesempatan. Bukan dia, aku yang tak lagi mempunyai kesempatan atau dia
yang tak lagi memberiku kesempatan.
Sejam
dua jam tiga jam aku tak sama sekali melihat tanda-tanda pesan line ku itu akan dibalas. Sampai pada
akhirnya aku mengecek sendiri. Tertera read
yang sangat jelas dan padat ku baca. Dia benar-benar tak membalasnya.
Itu
seperti godam yang benar-benar menghancurkan segalanya. dia benar-benar jahat.
Dia bahkan tak memberitahuku dimana titik kesalahanku. Dia begitu saja
meletakkan segalanya di sampingku tanpa permisi. Dia berhasil menerobos masuk
hatiku, ia bahkan tak melepas sepatunya. Tapi setelah semuanya kacau dia pergi
begitu saja. Sebenarnya siapa yang jahat diantara kami berdua? Aku tak bisa
menemukan jawabannya sendirian. Aku tak mengerti dimana titik kesalahanku.
“sudahlah
Di, kalau dia gak ngehubungin lu lagi, berarti ya dia gak pengen lu disana
lagi” Tania mencoba menenangkanku. Sembari mengomeliku yang terlalu menyesali
segalanya.
Aku
mengelap air mataku yang deras keluar dengan sendirinya. “salah gue ya Tan,
salah gue ya selama ini jadi semuanya kayak gini, padahal gue udah…”
“udah
apa? Udah siap buat nerima dia?” Tania menyambar bagaikan bensin.
Aku
hanya diam dan terus menangis. Aku bahkan tak tahu lagi apa yang harus ku
lakukan. Aku terjatuh lagi. Iya. Lagi.
“Di,
mungkin dia bukan yang terbaik. Lu gak usah nyalahin diri lu. Gak seharusnya.
Ini semua bukan keseluruhan salah lu kok. Kita gak pernah tahu kan jawabannya?
Jadi biarlah. Mungkin tuhan punya rencana lain buat lu. Selama ini lu kan
fine-fine aja. Kenapa sekarang jadi cengeng gini si!”
Tania
benar. Dia seratus ribu persen benar. Tapi sayang, bagi orang yang tidak
merasakan langsung apa yang kita rasakan memang percuma. Mereka hanya bisa
berkata. Mengatakan hal-hal sialan yang bahkan tak mereka mengerti maksudnya.
tapi mereka benar, tak ada salahnya berempati, tapi bagiku menjalankan
segalanya tak mudah, lebih-lebih dengan keterbiasaan yang sudah kujalani
berbulan-bulan ini bersama Rendi.
“dia
sudah berhenti sejak lama Di, lu mungkin terbuai dan gak pernah sadar” Tania
menatapku dalam.
Tania
benar. Dia sudah berhenti sejak lama, bukan salahnya tak memberitahuku. Dia tak
perlu memberitahuku segalanya. karena aku yang harusnya menyadari kalau kita
gak bisa berjalan beriringan lagi.
***
Setidaknya
dia pernah ada berusaha disini untuk mencoba bersamaku. Walaupun akhirnya tak
seperti yang kami bayangkan. Aku tak pernah tahu alasannya. Mungkin sebaiknya
juga aku tak perlu tahu agar aku tak merengek permintaan maaf padanya. Mungkin
dia punya keputusan sendiri untuk hal ini.
Setelah
kepergian Rendi aku tak pernah berusaha lagi untuk mencari jawabannya. Iya, aku
menyesali segalanya. Kadang kita memang harus realistis dan menyadari perasaan
orang lain tak akan selamanya bertahan. Rendi mengajarkanku banyak hal. Dia tak
pernah salah, dia sudah mencoba hanya saja aku yang lari dan saat dia berhenti
pada masa itulah aku menoleh kebelakang. Aku tak lagi bisa melihatnya karena
dia tertinggal jauh. Aku berbalik arah tapi aku terlambat, dia tak lagi ada
disana.
Aku
belajar, tak ada hal didunia ini yang tidak bisa tidak kita hargai. Kita harus
menyadari semuanya tak berjalan memang tak sesuai rencana dan kita hanya perlu
menerimanya.
Ini
hujan pertama di bulan desember. Hujan yang membuatku terjebak diantara
kerumunan orang-orang yang tak ku kenal di depan gedung aula kampus. Aku
memandang kesekeliling ku, menengadahkan tanganku di bawah guyuran hujan. Aku
bisa merasakannya terjatuh kedalam telapak tanganku.
“hai,
aku sering liat kamu lho, apalagi waktu berteduh saat hujan. Kamu suka
meletakkan tanganmu di bawah guyuran hujan”
Aku
menoleh kearah orang yang baru saja mengambil alih pikiranku. Mataku membulat
tak percaya. Nafasku rasanya tersendat ditenggorokkanku.
“namaku
Bara Julian” dia mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku.
“aku
Diandra”
Aku
yakin, aku kini berbicara padanya tanpa sekat.
sekian