Senin, 25 April 2016

UNTITLED



Entah kenapa dia bisa-bisanya datang tanpa permisi. Duduk disebelahku dan berusaha mengorek semua tentangku. Bagaikan kode-kode morse yang sulit dipecahkan ia terus memaksa masuk tanpa bisa ditahan oleh pintu berjenis apapun. Dia bisa menjadi magician yang menyulap semua peniti menjadi kunci yang mampu membuka apa saja. Dia benar-benar ajaib. Seajaib perasaanku yang tak bisa ku tahan padanya. Segila fikiranku yang tak bisa berhenti memikirkannya. Seindah cerita cinta abnormal yang kami jalani. Tapi aku tak ingin berhenti. Sayangnya semua cerita tak akan mempunyai alur yang sederhana seperti cerita tentang Cinderella yang bertemu pangerannya hanya dengan sepasang sepatu dengan lika-liku yang akhirnya akan berakhir happily ever after. Ini lebih dari itu, bagiku ini cerita luar biasa yang tak senilai dengan cerita-cerita cinta pasangan bertahun-tahun yang harus berakhir sia-sia, dengan dongeng yang tak pernah berhenti bagaikan bualan angin yang menyedihkan. Dia benar-benar mengambil alih segalanya tanpa permisi.
***
“ya jelaslah lu dalam masalah super besar!” Wanda menatap mataku membulat.
Aku hanya bisa melongo sembari menyeruput jus manggaku. Aku benar-benar kacau hari ini. Aku bangun pagi dengan mata yang bengkak bagaikan panda
 yang kena insomnia berminggu-minggu, hidung yang merah dan rambut yang kuikat acak-acakan saat berangkat ke kampus. Sepanjang malam aku harus bertengkar dengan Ardo membahas permasalahan yang benar-benar menyita segala emosiku.
“lu berurusan sama pacar orang Denisha” tekannya sekali lagi sambil menatap mataku.
Aku hanya mengaduk-aduk jus mangga yang berada dihadapanku. Rasanya jus mangga ini tak seperti biasanya. Aku tahu aku dalam masalah besar, sangat besar. Berhubungan dengan pacar orang lain bukanlah ide yang bagus tentunya. Tapi suatu ketika aku percaya bahwa apa yang dikatakan orang tentang “cinta itu tak mengenal siapa, dimana dan mengapa” itu benar. Cinta itu bisa datang tanpa kita undang dan tanpa disadari. Menyedihkan, mengapa harus datang pada pacar orang lain? jelas itu pertanyaan yang sulit untuk dipecahkan. Mungkin akan lebih mudah memecahkan soal aljabar bertingkat ketimbang menjawab pertanyaan ini didiriku sendiri.
“diem, bisanya diem kalo udah kayagini” sahut Wanda sekali lagi karena aku tak juga membuka mulutku untuk menangkis atau menjawab pertanyaannya.
“terus gue mesti gimana? Mundur gitu? Sekarang yang gue rasain ngambang, gue juga mikir, kalo gue maju jelas itu bakalan nyakitin gue, karena gue yakin Ardo tak akan segampang itu melepaskan Tania, dan kalau gue mundur, gue harus siap untuk sendirian, melepas segala yang sudah gue perjuangin, ninggalin semua ingatan-ingatan gue tentang hari yang udah-udah kan?” akhirnya setelah bosan memandangi jus mangga aku angkat bicara tentang yang ku pikirkan.
Wanda kemudian menyandarkan punggungnya kekursi dan menghembuskan nafas panjang. “lu bener,” lanjutnya.
Kemudian aku membuang pandanganku keluar jendela café. Memandang kearah kampus dengan pikiran yang kacau balau. Ardo benar-benar membuat segalanya kacau. Menarikku dalam masalah yang tak bisa ku selesaikan dan dia mempunyai otak yang luar biasa bodoh karna hanya bisa berdiam diri dengan semua yang terjadi.
Pikiran ku kembali menerawang ke malam dimana pertama kali bertemu dan aku tak pernah tahu kalau dia mempunyai pacar. Malam dimana ku kira kami hanya sepasang orang yang bertemu kebetulan karena sama-sama sendirian. Duduk di kursi yang sama tanpa sengaja sambil menatap langit yang benar-benar buram malam itu, dan kemudian menyapaku dengan kata-kata yang selalu kuingat hingga membuat kami sampai pada titik ini.
***
“malam ini mendung, lu gak bakalan nemuin bintang diatas sana” ucapnya tiba-tiba.
Aku yang sedari tadi menatap kearah langit seketika menengok untuk memastikan siapa yang lancang sekali duduk di sebelahku dan beran-beraninya menyapaku dalam keadaan seperti ini. Ya, baru saja putus dengan pacar itu memang sebuah keadaan buruk yang sampai membuatku melangkah sendirian di taman ini dan duduk dengan kepala mendongak keatas dengan es krim ditangan yang terus meleleh dijari-jariku.
Aku hanya diam tak menyahuti perkataan laki-laki SKSD ini. Aku mulai takut jangan-jangan dia mau menculikku atau parahnya lagi mau memperkosaku. Tampang lelaki ini cukup kriminal tapi bukan, bukan. Aku cukup lama memandangi laki-laki yang duduk disebelahku ini, laki-laki dengan alis yang cukup tebal, mata elang dengan kumis tipis yang selaras dengan janggut tipisnya. Jeans belel dan kaos yang dipakainya ku kira cukup serasi dengan sepatu bermerek cukup terkenal yang dipakainya. Berarti dia bukan penculik, mana ada penculik yang menggunakan baju sedemikian rupa.
“kenapa diem? Gue bukan orang jahat kali.” Tembaknya langsung. Ku kira orang ini dukun keliling, bagaimana dia bisa tahu apa yang ku pikirkan.
Mataku semakin menatap ngeri kearahnya dan dia menatapku aneh, kemudian mengulurkan tangannya padaku. “gue Ardo, gue bukan orang jahat, gue bukan penculik apalagi tukang perkosa. Gue duduk disini, cuma mau ngingetin lu, es krim lu meleleh karena gak lu makan, dan lu melongo duduk disini sendirian sambil lihat langit, gue Cuma takut elu kesambet” jelasnya lagi.
Mampus kuadrat. Dia beneran dukun keliling! Jangan-jangan habis ini dia mau nawarin gue buat ngeramalin masa depan gue. Batinku menjerit-jerit didalam.
“yaelah ini cewe malah diem aja, beneran kesambet ya lu?” tanyanya kesekian kalinya.
Aku menggeleng. “gak” aku langsung membuang es krimku yang telah habis meleleh. Kemudian berniat mengambil tissue dari dalam tasku.
“nih” dia menyodorkan sebuah sapu tangan kearahku saat melihat aku kesulitan membuka tasku karena lelehan es krim yang melumuri tanganku.
Aku kemudian menatapnya sembari mengambil sapu tangan darinya. “makasih ya” ucapku. Ku kira dia beneran orang baik, kemudian.
“nama gue Denisha” ungkapku kemudian.
Ardo kemudian mengangguk-angguk sembari menatap langit dengan kedua tangan yang memeluk kepalanya. “kalau galau jangan sampai segitunya juga kali, sayang banget es krimnya” dia tertawa kecil.
Orang ini benar-benar!
“kata siapa gue galau, cuma gak mood aja makan es krimnya, lagi fokus mandangin langit” elakku sekenanya walaupun aku tahu ini gak nyambung banget.
Ardo kemudian tertawa. “lu lucu juga ya” ucapnya sembari menatapku kemudian.
                ***
“lu lucu juga ya” kata-kata itu selalu terngiang dibenakku hingga detik ini. Kata-kata yang mengenalkan ku pada kisah baru yang tak pernah ku duga sebelumnya. Dia membawaku mengawang tinggi dengan semua perlakuannya padaku sejak saat itu. Dia menggantikan semuanya, berusaha menerobos masuk ke kehidupanku secara paksa, dia merampas kuncinya sekali lagi. Dia benar-benar lihai untuk urusan ini. semudah itu, semudah aku jatuh cinta padanya. Seindah bunga-bunga yang selalu ia kirimkan setiap minggunya ke rumahku, seindah tempat-tempat yang pernah kami kunjungi berdua, seindah waktu-waktu yang kami habiskan bersama dan sepanjang cerita yang selalu ia dengarkan tanpa bosan. Ku kira ia tak pernah bosan, ku kira.
Hingga suatu saat semuanya berubah. Segalanya telah berubah. Semenjak aku mengetahui ternyata dia mempunyai pacar selama ini. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi penyusup yang mencari celah untuk kepentingan pribadiku sendiri. Aku mulai memikirkan betapa jahatnya aku selama ini. Aku baru saja mengetahui aku telah merampas hak orang lain dan kemudian bersikeras ingin melepasnya kembali ketempatnya seharusnya. Dia bersikeras untuk tetap ada disini, tapi dia juga harus membagi segalanya dengan hak utuhnya. Dia bersikeras menenangkanku agar aku tidak kemana-mana, dan sehebat semua yang dia lakukan selama ini, aku menerimanya dengan lapang dada.
Aku cukup bersabar untuk beberapa bulan terakhir. Ya benar, aku membangun dongengku sendiri diatas dongeng perempuan lain. tapi bagiku ini bukan salahku, karena dia yang menahanku disini dan tentu saja memang benar, tak ada satupun perempuan yang benar-benar ikhlas berbagi. Rasanya tidak adil saja, karena perempuan itu tak pernah tahu dan aku mengetahui posisiku persis seperti apa. Aku mulai merasa kadang Ardo mementingkanku tapi kadang dia lebih mementing perempuan yang tidak pernah ingin ku ketahui namanya siapa itu. Ini tidak adil karena aku harus mengikhlaskannya, sedangkan perempuan itu harus tertawa tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya. Ini tidak adil karena, Ardo tak pernah bersikap tegas pada perasaannya sendiri. Bagaimana bisa dia hidup pada posisi yang sangat menyulitkan seperti ini. Menyedihkan.
Hingga tadi malam semuanya memuncak karena ketidaktahananku atas sikap Ardo yang kutahu jelas mulai menyingkirkanku.
“kalo kamu pengen ngejauh dan stop disini, gak apa-apa Do, aku ikhlas. Kembali, kembali ketempat kamu seharusnya” aku menatap mata Ardo dengan mataku yang mulai berkaca-kaca. Aku cukup matang memikirkan ini semua, memberanikan diri mengatakan hal ini selama ini cukup sulit untukku.
“aku gak pernah niat buat ngejauh dari kamu, dan aku mau kamu tetap disini” ucapnya.
Tapi aku sangat tahu dia tak benar-benar sungguh mengucapkan hal itu. Ada seseuatu yang mengganjal dimatanya. Ada hal yang sulit menghalanginya. Tapi aku tak pernah mau ambil pusing untuk hal sialan semacam ini. Aku sudah berminggu-minggu diperlakukannya seperti orang yang tak berguna. Menyalahkanku atas dasar hal yang tak pernah ku mengerti. Kurasa memang benar dia tak memerlukanku lagi dan memutuskan untuk kembali. Bahkan kalimatnya bukan lagi penenang dikala kalutku.
                              ***
            Wanda menyenggol tanganku sembari memutar bola matanya kearah yang ingin ditunjukannya. Dan seperti hal yang tak pernah ku percaya, benar saja aku tak ingin mempercayainya sama sekali.
            Aku mulai membuka mataku lebar-lebar saat menyadari Ardo menggandeng wanita itu. Wanita yang tak pernah ingin ku tahui namanya tapi aku selalu melihatnya akhir-akhir ini bersama Ardo. Ya, dan hebatnya lagi aku satu kampus dengan Ardo hanya saja kami berbeda jurusan. What a great relationshit! Kenapa aku harus melihatnya disaat-saat seperti ini, bersama dengan wanita itu pula. Ardo benar-benar berjalan melewatiku. Seolah tak pernah mengenalku sama sekali. Membawa wanita itu duduk dimeja bersamanya. Mataku hampir saja menumpahkan segalanya. andai saja aku perempuan bodoh aku sudah pasti akan dengan lancing menghampiri mereka berdua dan memakan otak Ardo hidup-hidup. Sayangnya, aku telah sampai dititik dimana aku harus menyadari diriku sendiri, aku bukan orang yang pantas berada disana. Aku menatap dalam betapa bahagianya wanita disampingnya, aku tak akan tega menyakiti hatinya dengan seluruh perjuangannya selama ini aku tak akan mampu menghancurkan yang telah ia bangun bersama Ardo. Kurasa bukan saatnya untuk memikirkan diriku sendiri. Entah kenapa aku berpikiran seperti itu.
            “see, sekarang lu udah liat sendiri kan? Dia sama sekali udah ngebuang elu!” ucap Wanda menegaskan dihadapan mataku.
            Ucapan Wanda kali ini benar-benar mengiris hatiku. Tapi dia benar. Aku tak akan bisa membantah.
            Benar, bukan aku yang harus mengusir wanita itu. Tapi aku yang harus tahu diri, disaat Ardo tak lagi meminta aku disana. Aku yang harus melangkah untuk meninggalkannya karena dia tak akan bisa melepaskan dua wanita yang mencintainya. Pilihannya hanya berada padaku, dan bagiku aku tak mampu lagi memintanya untuk ada disini. Karena dia sudah menjelaskan dengan jelas, dia harus kembali, dia harus bersama dengan orang yang sepatutnya, dia harus bersama wanita yang memperjuangkannya. Dia bukan lelaki tipe pejuang. Dia tipe lelaki pejuang yang berharap balasan dan jika ia tidak menerima balasan ia akan pergi mencari balasan lain yang lebih. Aku bahkan tak yakin jika terus bersamanya aku akan bisa bertahan sesabar wanita itu. Ku kira, aku lebih baik mengembalikannya pada orang yang pantas daripada aku memelihara apa yang tak sanggup ku jaga.
            “kita pergi dari sini” ucapku datar pada Wanda, mengajaknya menjauh. Aku bisa saja membalik semua meja café kalau terus-terusan memandangi hal yang tak wajar dan terus memaksa kurang ajar seperti ini.
            Setelah kejadian siang itu aku tak lagi pernah menghubungi Ardo. Ardo pun demikian. Dia tak pernah lagi menanyakan kabarku seperti biasanya. Aku tak pernah menanyakan kenapa ia terus meminta ku bertahan tapi ia akhirnya memilih jalannya. Anggapan jahat memang pantas baginya, hujatan keras dihatiku mengalir setiap hari. Ia benar-benar menyadarinya akhirnya untuk kembali. Berbulan-bulan aku harus menyembuhkan perasaanku pada laki-laki sialan yang terus saja mengikutiku ini. Membuang segala ingatan memang benar tak akan mudah. Membiasakan hari tanpanya itu lebih sulit dari yang ku kira. Menulis ending itu tak akan mudah seperti apa yang diperkirakan. Awal bisa saja mendustai akhir. Tapi kejutan tak akan pernah berakhir.
            Aku duduk sendirian malam itu ditengah taman sambil membawa es krim ditanganku. Aku mendongak keatas sembari tersenyum tipis. Malam ini bintang benar-benar memenuhi langit.
            “malam ini cerah ya, mau hitung bintang sama-sama” ucap seseorang tiba-tiba.
Aku yang sedari tadi menatap kearah langit seketika menengok untuk memastikan siapa yang lancang sekali duduk di sebelahku dan beran-beraninya menyapaku seperti itu.
“hai, aku Titan”
Cowok berwajah oriental dan bermata indah yang menyipit ketika menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum. Mengalihkan duniaku seketika.
            ---

Sabtu, 02 Januari 2016

On December (Cerpen)

But ini late post, ini January i know.
enjoy it :)
 
Ini hujan pertama di bulan desember. Hujan yang membuatku terjebak diantara kerumunan orang-orang yang tak ku kenal di depan gedung aula kampus. Aku memandang kesekeliling ku, menyapu pandangan mataku keseluruh penjuru halaman aula, tapi aku gagal. Aku tak menemukan satupun teman-teman seangkatanku. Kemana perginya mereka? Cepat sekali mereka menghilang? Batinku. Aku benar-benar tak mengenal satupun orang-orang yang ada disini. Aku terjebak hujan sendirian.
            Aku menatap langit yang masih terus saja menumpahkan seluruh isinya. Sudah lama sekali aku tak melihat hujan. Setahun belakangan ini menjadi musim panas terpanjang yang pernah aku rasakan. Aku tersenyum, aku selalu merindukan hujan. Aku selalu rindu bau tanah basah yang baru saja diguyur hujan. Aku rindu bau dedaunan basahnya. Aku selalu rindu kamarku dikampung halaman ketika desember tiba, saat setiap fajar menjelang aku terbangun dan mencari selimut ketika kedinginan, saat lampu temaram yang selalu menemani malamku mendengarkan guyuran hujan diatap rumah. Aku menengadah keatas menatap bulir-bulir yang mulai turun perlahan, sudah lama sekali rasanya aku tak pulang kerumah. Hujan dan desember bagiku selalu saling berhubungan, mereka terikat seperti bulan dan bintang. Aku rindu rumah. Aku rindu dia.
Aku menarik nafas panjang sembari menutup mataku, dan kita tahu desember selalu membawa kita pada kenangan kita masing-masing…
***
Desember-setahun lalu…
Hari terlihat sedikit mendung. Awan abu-abu terlihat pekat siang ini. Kami baru saja menyelesaikan mata kuliah jurusan. Aku melangkahkan kakiku berjalan menyusuri koridor kampus sembari menyapa teman-temanku yang masih tinggal untuk mengerjakan tugas di taman kampus. 
“duluan ya!” sapaku kepada sebagian teman yang ku kenali dibalas dengan lambaian tangan dan senyuman dari mereka. Aku melanjutkan langkahku. Belum sempat aku mencapai halaman utama kampus, hujan tiba-tiba saja mengguyur. Seperti yang sudah ku kira. Orang-orang berhamburan berlarian mencari tempat berteduh sembari menutupi kepala mereka. Aku mematung di depan lobby kampus. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu. Menunggu hujan berhenti seperti biasa orang normal lakukan.
Dan disanalah aku melihatnya. Mataku terhenti pada objek yang membuatku tak ingin berkedip. Objek yang sering sekali kulihat beberapa bulan belakangan ini. Objek yang membawa fikiranku selalu ingin mendeskripsikan sesuatu yang ada di dalamnya. Objek ini yang membuatku selalu menerka-nerka hal yang tak pernah kutemukan jawabannya. Seorang laki-laki berkacamata berbingkai kotak yang entah minus berapa dengan kemeja kotak-kotak flannel hijau lumut yang tangannya dilipat seperempat bagian. Berdiri di depan sebuah kelas yang tak jauh dari tempatku berteduh. Aku menatapnya dalam. Seseorang yang terlarut menatap ke layar handphonenya tanpa tahu apa yang sedang ia lakukan. Mengabari pacarnya kah? – seseorang yang menghisap rokoknya dalam dan menghembuskannya menghipnotisku kali ini. Benar-benar dia menyita seluruh perhatianku.
Plakkkk!
Tepukan seseorang membuyarkan lamunanku. Benar-benar sialan. Aku belum selesai dengan semua ini, pikirku.
“biasa aja kali ngeliatinnya” seseorang tergelak disampingku.
Dengan cepat ku tutup mulutnya yang bisa membahayakan keselamatan jiwa dan ragaku itu. Kalau saja ada yang mendengar, aku bisa saja mati karenanya. “Tan, diem!” mataku membulat menatap kearahnya.
Tania menepuk-nepuk tanganku yang ku letakkan di depan mulutnya berusaha melepaskan diri dari jeratanku. Ia mengangguk-angguk kali ini dan aku melepaskannya.
“gila apa ya! Kalo gue mati kehabisan nafas, lu mau nyumbangin nafas lu buat gue?” seperti biasa ia akan mengomel.
“enggak banget” aku terkekeh geli. “lagian lu ya, udah gue bilangin kan, jangan buat orang-orang curiga apalagi dia, ampun deh gue” aku memasang tampang keki.
“lah salah gue apaan?” Tania akan selalu seperti itu. Memasang wajah super innocent-nya.
“ya jelas salah lah. Kita Cuma berjarak kurang dari dua meter sama dia. Lu ngomong udah kayak toa mesjid aja. Kalo dia denger? Kalo dia noleh gimana? Tamatlah riwayat gue”
“gak ada salahnya kali Di kalo lu nyapa dia duluan” Tania memelankan suaranya. Matanya menatap lurus kedepan. Menatap hujan yang belum juga berhenti.
Aku menarik nafas dalam. “udah ke 347 kalinya jawaban gue buat lu ya gue belum siap, Tan” jawabku pelan sembari melangkah maju menengadahkan tanganku di bawah guyuran hujan. Aku bisa merasakannya terjatuh kedalam telapak tanganku.
“terus sampai kapan? Sampai dia deket sama orang lain?” Tania menatap kearahku.
Aku menggeleng. Matakku terus saja melihat ke telapak tanganku yang basah. Sama basahnya seperti hatiku saat melihat Bara Julian. “gue gak tahu, gue kira semua mempunyai masa-nyakan? Gue yakin kalo emang tuhan mau mempertemukan gue sama dia, semua ada jalannya. dan gue kira bukan sekarang”
***
            Aku berjalan menuju kasurku sembari mengeringkan rambutku yang basah sehabis mandi. Melipat kakiku kemudian menatap kearah layar laptopku yang kuletakkan diatas kasur. Aku menghela nafas panjang melihat tugasku yang baru saja setengah rampung. Entah kenapa malam ini rasanya lelah sekali, rasanya malas sekali melihat deretan kalimat sialan yang harus kususun itu. Melihat laporan-laporan yang mesti ku kerjakan secepatnya. Tapi apa boleh buat. Tugas tetaplah tugas.
            Drrrrttttt~
            Handphoneku tiba-tiba berbunyi. Pemberitahuan pesan masuk Line

R : Hey
R : How's your day?
R : Maaf hari ini gak sempat hubungin kamu, soalnya agak sibukan 


Aku meletakkan handphone ku diatas meja lampu tidur disamping kasur ku. Aku melepas handuk yang kuletakkan dikepalaku. Aku kemudian menyandarkan diri di dinding kasurku. Tatapanku kosong.
Entah apa yang ku pikirkan. Dia selalu ada disini. Rendi Saputra.
Beberapa bulan belakangan ini dia selalu ada disini. Dia tak pernah melupakanku dalam kondisi apapun. Dia selalu ada. Dia selalu menyempatkan waktunya untukku. Dia tak pernah lupa pada pagi dan malamku. Tak terlintas seharipun tanpa berbicara padanya entah itu bertemu atau sekedar hanya di telepon saja. Aku tahu aku sudah melangkah jauh bersamanya. Aku mulai mencari keberadaannya saat dirinya tak ada. Dia mulai mempengaruhi hariku pelan tapi pasti. Dia menarikku kedalam duniannya. Ia mengulurkan tangannya malam itu, malam dimana kami bertemu pertama kali. Tapi, apa yang kutunggu sebenarnya? Aku tak pernah menggubris pertanyaannya tentang hubungan kami. Aku selalu menunggu. Entah apa yang kutunggu. Padahal dia nyata. Apa karena Bara. Apa yang sebenarnya kutunggu. Bara bahkan tak mengenalku samasekali. Apa aku berharap bisa bertemu dengannya tanpa sekat? Apa aku bisa benar-benar berbicara dengannya? Pikiranku ini ku kenali. Pikiran semuku. Apa kita bisa jatuh cinta pada dua orang sekaligus?
Aku tak pernah punya keberanian untuk menjalani segalanya. Aku pernah terjatuh dan aku tahu sangat menyakitkan rasanya ketika bangkit lagi. Belum-belum saat kita jatuh ke jurang terdalam. Kita harus memanjat untuk naik lagi dengan luka-luka yang harus kita tahan. Bagaimana caranya aku berani untuk menjatuhkan hatiku lagi kalau pada dasarnya aku takut untuk mengobati lukanya? Tapi hatiku benar, aku mulai mencari-cari keberadaan Rendi setiap hari. Ada yang kurang saat dia tak menelpon pada malam hari. Ada yang kurang saat pagiku tak di sambut pesan “selamat pagi Di” lengkap dengan emoticon bunga pink. Sebenarnya ada emoticon bunga mawar sih, tapi aku selalu heran kenapa dia selalu menggunakan emoticon bunga yang lain. dia tak pernah memberikanku mawar, tapi sayang aku tak punya keberanian untuk bertanya. Dia selalu melengkapi segalanya. dia mendengarkan ceritaku setiap malam hingga kami sama-sama menutup mata sambil berbicara. Dia menghubungiku walaupun dia tau aku sedang sibuk. Dia selalu mengajakku sarapan setiap minggu pagi di tempat bubur ayam favoritku bila aku pulang ke kota asalku. Dia bisa berinteraksi dengan teman-temanku. Dia merebut hatiku.
Tapi entah kenapa aku merasa dia menjauh akhir-akhir ini. Aku merasa kita sama-sama sibuk sampai tak lagi punya waktu untuk saling bertukar kabar. Sudah lebih dari tiga minggu dia tidak menelponku seperti biasa. Kami hanya menjalani pagi biasa dengan sapaannya lalu dia menghilang hingga malam datang kemudian mengubungiku sebentar lalu tertidur. Sudah lama kami tidak sarapan setiap minggu pagi, padahal aku akhir-akhir ini selalu pulang. Untuknya. Apa yang salah? Tapi aku menepis pertanyaan-pertanyaan itu, ku kira dia sedang sangat sibuk sekarang.
***
Aku mengaduk-aduk choco-mint ku berulang kali kemudian memandang kearah jendela café kemudian mengaduknya sembari mataku hilang tak berarah. Entah kenapa rasanya choco-mint ku kali ini sangat berbeda dari biasanya. Biasanya ia mampu melumerkan seluruh keadaan hatiku. Berbeda dengan saat ini. Hatiku rasanya tak beraturan. Pikiranku tak lagi berada di tempatnya. Perasaanku benar-benar tak enak saat ini. Berulang kali aku melihat ke layar handphone ku tapi tak juga aku melihatnya.
Dia tak menghubungiku hari ini.
Sungguh ini bukan seperti hari biasanya. Dia tak lagi ada. Kemudian aku membuka recent updates-ku. Dan kaboom! Bagaikan bom yang jatuh di Nagasaki hatiku hancur lebur.
Dia mengganti display picture-nya.
Aku bahkan tak mengerti apa yang terjadi. Kami bahkan tak punya masalah seingatku. Kenapa hari ini dia tak menghubungiku? Pertanyaan itu terus dan terus datang seolah mendesak kesudut-sudut kepalaku. Dia tak mau keluar dari sana, memaksa terus mencari jawaban. Yang tentu saja tak bisa ku temui. Dia menyeretku ke dalam tanda Tanya besar yang terpampang jelas di hadapanku. Apa salahku?
Pikiranku melayang ke beberapa saat lalu saat kami masih bertemu. Saat kami masih saling bisa tertawa bersama. Saat telepon dan ucapan itu masih mengalir.
“kamu suka angka 15 kan? Minggu depan aku pertandingan lho! Terus aku dapat baju dengan nomor punggung 15. harapannya sih kamu bisa nonton” ucapnya malam itu saat kami berdua video-call-an.
Aku tersenyum kecut. Karna aku tak bisa pulang akhir minggu ini untuk melihatnya bermain dipertandingan basketnya. “aku ada kerjaan kampus minggu ini” ucapku.
Dia merengut. Aku sudah mulai memikirkan berbagai macam cara untuk membujuknya.
“yasudah, nanti next time nonton ya” dia tersenyum manis sekali di balik kacamata kotaknya.
Atau tentang…
“aku menang main basketnya. Cepat pulang. Aku bakalan tagih janji kamu buat traktir aku makan kalau aku menang!” aku tersenyum membaca pesannya sore itu.
Aku ingat aku berjanji padanya untuk cepat pulang dan menepati janjiku. Aku ingin sekali pulang saat itu juga saat membaca pesannya.
Dan sampai pada akhirnya…
“aku agak sibukkan akhir-akhir ini. Mungkin aku bakalan jarang ngabarin kamu. Tapi aku usahain kok kita bakalan terus kabar-kabaran” Rendi mengaduk jus mangganya.
Aku diam sejenak menatap kearahnya. Aku merasa Rendi akan pergi jauh dariku. “kita sama-sama sibuk, apa kita bisa terus-terusan kayak gini?” ungkapku tiba-tiba dan tanpa ancang-ancang.
Rendi tersenyum tipis kemudian membenarkan kacamatanya yang melorot. Aku hapal caranya bericara denganku. Aku hapal senyumnya. Aku hapal caranya menatapku.aku bukan baru saja mengenalnya seminggu dua minggu. Aku sudah cukup tahu segalanya. “aku harap kita bisa terus kayak gini” sambungnya.
Dia tak lagi berada ditempatnya. Aku tahu angan-angannya tak lagi disini. Tapi dia sudah berusaha. Aku menghargai usahanya itu walaupun kita tidak bisa memaksakan segalanya berjalan sempurna. Setidaknya dia pernah berusaha.
Aku kemudian mengambil handphone ku dan mengetik pesan…


D :
 
 Maaf, maaf atas segalanya. maaf atas hal yang gak kusengaja atau yang ku sengaja selama ini. Makasih untuk semuanya. Maaf aku bahkan gak sempat membalas segalanya
 
            Yang paling membuat ku sesak saat mengingatnya aku bahkan benar-benar tak sempat untuk membalas segalanya. kami tak punya waktu lagi saat itu. Kami tak lagi memiliki kesempatan. Bukan dia, aku yang tak lagi mempunyai kesempatan atau dia yang tak lagi memberiku kesempatan.
            Sejam dua jam tiga jam aku tak sama sekali melihat tanda-tanda pesan line ku itu akan dibalas. Sampai pada akhirnya aku mengecek sendiri. Tertera read yang sangat jelas dan padat ku baca. Dia benar-benar tak membalasnya.
            Itu seperti godam yang benar-benar menghancurkan segalanya. dia benar-benar jahat. Dia bahkan tak memberitahuku dimana titik kesalahanku. Dia begitu saja meletakkan segalanya di sampingku tanpa permisi. Dia berhasil menerobos masuk hatiku, ia bahkan tak melepas sepatunya. Tapi setelah semuanya kacau dia pergi begitu saja. Sebenarnya siapa yang jahat diantara kami berdua? Aku tak bisa menemukan jawabannya sendirian. Aku tak mengerti dimana titik kesalahanku.
            “sudahlah Di, kalau dia gak ngehubungin lu lagi, berarti ya dia gak pengen lu disana lagi” Tania mencoba menenangkanku. Sembari mengomeliku yang terlalu menyesali segalanya.
            Aku mengelap air mataku yang deras keluar dengan sendirinya. “salah gue ya Tan, salah gue ya selama ini jadi semuanya kayak gini, padahal gue udah…”
            “udah apa? Udah siap buat nerima dia?” Tania menyambar bagaikan bensin.
            Aku hanya diam dan terus menangis. Aku bahkan tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan. Aku terjatuh lagi. Iya. Lagi.
            “Di, mungkin dia bukan yang terbaik. Lu gak usah nyalahin diri lu. Gak seharusnya. Ini semua bukan keseluruhan salah lu kok. Kita gak pernah tahu kan jawabannya? Jadi biarlah. Mungkin tuhan punya rencana lain buat lu. Selama ini lu kan fine-fine aja. Kenapa sekarang jadi cengeng gini si!”
            Tania benar. Dia seratus ribu persen benar. Tapi sayang, bagi orang yang tidak merasakan langsung apa yang kita rasakan memang percuma. Mereka hanya bisa berkata. Mengatakan hal-hal sialan yang bahkan tak mereka mengerti maksudnya. tapi mereka benar, tak ada salahnya berempati, tapi bagiku menjalankan segalanya tak mudah, lebih-lebih dengan keterbiasaan yang sudah kujalani berbulan-bulan ini bersama Rendi.
            “dia sudah berhenti sejak lama Di, lu mungkin terbuai dan gak pernah sadar” Tania menatapku dalam.
            Tania benar. Dia sudah berhenti sejak lama, bukan salahnya tak memberitahuku. Dia tak perlu memberitahuku segalanya. karena aku yang harusnya menyadari kalau kita gak bisa berjalan beriringan lagi.
***
            Setidaknya dia pernah ada berusaha disini untuk mencoba bersamaku. Walaupun akhirnya tak seperti yang kami bayangkan. Aku tak pernah tahu alasannya. Mungkin sebaiknya juga aku tak perlu tahu agar aku tak merengek permintaan maaf padanya. Mungkin dia punya keputusan sendiri untuk hal ini.
            Setelah kepergian Rendi aku tak pernah berusaha lagi untuk mencari jawabannya. Iya, aku menyesali segalanya. Kadang kita memang harus realistis dan menyadari perasaan orang lain tak akan selamanya bertahan. Rendi mengajarkanku banyak hal. Dia tak pernah salah, dia sudah mencoba hanya saja aku yang lari dan saat dia berhenti pada masa itulah aku menoleh kebelakang. Aku tak lagi bisa melihatnya karena dia tertinggal jauh. Aku berbalik arah tapi aku terlambat, dia tak lagi ada disana.
            Aku belajar, tak ada hal didunia ini yang tidak bisa tidak kita hargai. Kita harus menyadari semuanya tak berjalan memang tak sesuai rencana dan kita hanya perlu menerimanya.            
            Ini hujan pertama di bulan desember. Hujan yang membuatku terjebak diantara kerumunan orang-orang yang tak ku kenal di depan gedung aula kampus. Aku memandang kesekeliling ku, menengadahkan tanganku di bawah guyuran hujan. Aku bisa merasakannya terjatuh kedalam telapak tanganku.
            “hai, aku sering liat kamu lho, apalagi waktu berteduh saat hujan. Kamu suka meletakkan tanganmu di bawah guyuran hujan”
            Aku menoleh kearah orang yang baru saja mengambil alih pikiranku. Mataku membulat tak percaya. Nafasku rasanya tersendat ditenggorokkanku.
            “namaku Bara Julian” dia mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku.
            “aku Diandra”
            Aku yakin, aku kini berbicara padanya tanpa sekat.
sekian