Entah
kenapa dia bisa-bisanya datang tanpa permisi. Duduk disebelahku dan berusaha
mengorek semua tentangku. Bagaikan kode-kode morse yang sulit dipecahkan ia
terus memaksa masuk tanpa bisa ditahan oleh pintu berjenis apapun. Dia bisa
menjadi magician yang menyulap semua peniti menjadi kunci yang mampu membuka
apa saja. Dia benar-benar ajaib. Seajaib perasaanku yang tak bisa ku tahan padanya.
Segila fikiranku yang tak bisa berhenti memikirkannya. Seindah cerita cinta
abnormal yang kami jalani. Tapi aku tak ingin berhenti. Sayangnya semua cerita
tak akan mempunyai alur yang sederhana seperti cerita tentang Cinderella yang
bertemu pangerannya hanya dengan sepasang sepatu dengan lika-liku yang akhirnya
akan berakhir happily ever after. Ini lebih dari itu, bagiku ini cerita luar
biasa yang tak senilai dengan cerita-cerita cinta pasangan bertahun-tahun yang
harus berakhir sia-sia, dengan dongeng yang tak pernah berhenti bagaikan bualan
angin yang menyedihkan. Dia benar-benar mengambil alih segalanya tanpa permisi.
***
“ya
jelaslah lu dalam masalah super besar!” Wanda menatap mataku membulat.
Aku
hanya bisa melongo sembari menyeruput jus manggaku. Aku benar-benar kacau hari
ini. Aku bangun pagi dengan mata yang bengkak bagaikan panda
yang
kena insomnia berminggu-minggu, hidung yang merah dan rambut yang kuikat acak-acakan
saat berangkat ke kampus. Sepanjang malam aku harus bertengkar dengan Ardo
membahas permasalahan yang benar-benar menyita segala emosiku.
“lu
berurusan sama pacar orang Denisha” tekannya sekali lagi sambil menatap mataku.
Aku
hanya mengaduk-aduk jus mangga yang berada dihadapanku. Rasanya jus mangga ini
tak seperti biasanya. Aku tahu aku dalam masalah besar, sangat besar.
Berhubungan dengan pacar orang lain bukanlah ide yang bagus tentunya. Tapi
suatu ketika aku percaya bahwa apa yang dikatakan orang tentang “cinta itu tak
mengenal siapa, dimana dan mengapa” itu benar. Cinta itu bisa datang tanpa kita
undang dan tanpa disadari. Menyedihkan, mengapa harus datang pada pacar orang
lain? jelas itu pertanyaan yang sulit untuk dipecahkan. Mungkin akan lebih
mudah memecahkan soal aljabar bertingkat ketimbang menjawab pertanyaan ini didiriku
sendiri.
“diem,
bisanya diem kalo udah kayagini” sahut Wanda sekali lagi karena aku tak juga
membuka mulutku untuk menangkis atau menjawab pertanyaannya.
“terus
gue mesti gimana? Mundur gitu? Sekarang yang gue rasain ngambang, gue juga
mikir, kalo gue maju jelas itu bakalan nyakitin gue, karena gue yakin Ardo tak
akan segampang itu melepaskan Tania, dan kalau gue mundur, gue harus siap untuk
sendirian, melepas segala yang sudah gue perjuangin, ninggalin semua
ingatan-ingatan gue tentang hari yang udah-udah kan?” akhirnya setelah bosan
memandangi jus mangga aku angkat bicara tentang yang ku pikirkan.
Wanda
kemudian menyandarkan punggungnya kekursi dan menghembuskan nafas panjang. “lu
bener,” lanjutnya.
Kemudian
aku membuang pandanganku keluar jendela café. Memandang kearah kampus dengan
pikiran yang kacau balau. Ardo benar-benar membuat segalanya kacau. Menarikku
dalam masalah yang tak bisa ku selesaikan dan dia mempunyai otak yang luar
biasa bodoh karna hanya bisa berdiam diri dengan semua yang terjadi.
Pikiran
ku kembali menerawang ke malam dimana pertama kali bertemu dan aku tak pernah
tahu kalau dia mempunyai pacar. Malam dimana ku kira kami hanya sepasang orang
yang bertemu kebetulan karena sama-sama sendirian. Duduk di kursi yang sama
tanpa sengaja sambil menatap langit yang benar-benar buram malam itu, dan
kemudian menyapaku dengan kata-kata yang selalu kuingat hingga membuat kami
sampai pada titik ini.
***
“malam
ini mendung, lu gak bakalan nemuin bintang diatas sana” ucapnya tiba-tiba.
Aku
yang sedari tadi menatap kearah langit seketika menengok untuk memastikan siapa
yang lancang sekali duduk di sebelahku dan beran-beraninya menyapaku dalam
keadaan seperti ini. Ya, baru saja putus dengan pacar itu memang sebuah keadaan
buruk yang sampai membuatku melangkah sendirian di taman ini dan duduk dengan
kepala mendongak keatas dengan es krim ditangan yang terus meleleh
dijari-jariku.
Aku
hanya diam tak menyahuti perkataan laki-laki SKSD ini. Aku mulai takut
jangan-jangan dia mau menculikku atau parahnya lagi mau memperkosaku. Tampang
lelaki ini cukup kriminal tapi bukan, bukan. Aku cukup lama memandangi
laki-laki yang duduk disebelahku ini, laki-laki dengan alis yang cukup tebal,
mata elang dengan kumis tipis yang selaras dengan janggut tipisnya. Jeans belel
dan kaos yang dipakainya ku kira cukup serasi dengan sepatu bermerek cukup
terkenal yang dipakainya. Berarti dia bukan penculik, mana ada penculik yang
menggunakan baju sedemikian rupa.
“kenapa
diem? Gue bukan orang jahat kali.” Tembaknya langsung. Ku kira orang ini dukun
keliling, bagaimana dia bisa tahu apa yang ku pikirkan.
Mataku
semakin menatap ngeri kearahnya dan dia menatapku aneh, kemudian mengulurkan
tangannya padaku. “gue Ardo, gue bukan orang jahat, gue bukan penculik apalagi
tukang perkosa. Gue duduk disini, cuma mau ngingetin lu, es krim lu meleleh
karena gak lu makan, dan lu melongo duduk disini sendirian sambil lihat langit,
gue Cuma takut elu kesambet” jelasnya lagi.
Mampus kuadrat. Dia beneran dukun
keliling! Jangan-jangan habis ini dia mau nawarin gue buat ngeramalin masa
depan gue. Batinku menjerit-jerit
didalam.
“yaelah
ini cewe malah diem aja, beneran kesambet ya lu?” tanyanya kesekian kalinya.
Aku
menggeleng. “gak” aku langsung membuang es krimku yang telah habis meleleh.
Kemudian berniat mengambil tissue dari dalam tasku.
“nih”
dia menyodorkan sebuah sapu tangan kearahku saat melihat aku kesulitan membuka
tasku karena lelehan es krim yang melumuri tanganku.
Aku
kemudian menatapnya sembari mengambil sapu tangan darinya. “makasih ya” ucapku.
Ku kira dia beneran orang baik, kemudian.
“nama
gue Denisha” ungkapku kemudian.
Ardo kemudian mengangguk-angguk sembari menatap langit
dengan kedua tangan yang memeluk kepalanya. “kalau galau jangan sampai
segitunya juga kali, sayang banget es krimnya” dia tertawa kecil.
Orang ini benar-benar!
“kata siapa gue galau, cuma gak mood aja makan es
krimnya, lagi fokus mandangin langit” elakku sekenanya walaupun aku tahu ini
gak nyambung banget.
Ardo kemudian tertawa. “lu lucu juga ya” ucapnya
sembari menatapku kemudian.
***
“lu lucu juga ya” kata-kata itu selalu terngiang
dibenakku hingga detik ini. Kata-kata yang mengenalkan ku pada kisah baru yang
tak pernah ku duga sebelumnya. Dia membawaku mengawang tinggi dengan semua
perlakuannya padaku sejak saat itu. Dia menggantikan semuanya, berusaha
menerobos masuk ke kehidupanku secara paksa, dia merampas kuncinya sekali lagi.
Dia benar-benar lihai untuk urusan ini. semudah itu, semudah aku jatuh cinta
padanya. Seindah bunga-bunga yang selalu ia kirimkan setiap minggunya ke
rumahku, seindah tempat-tempat yang pernah kami kunjungi berdua, seindah
waktu-waktu yang kami habiskan bersama dan sepanjang cerita yang selalu ia
dengarkan tanpa bosan. Ku kira ia tak pernah bosan, ku kira.
Hingga suatu saat semuanya berubah. Segalanya telah
berubah. Semenjak aku mengetahui ternyata dia mempunyai pacar selama ini.
Tiba-tiba saja aku merasa menjadi penyusup yang mencari celah untuk kepentingan
pribadiku sendiri. Aku mulai memikirkan betapa jahatnya aku selama ini. Aku
baru saja mengetahui aku telah merampas hak orang lain dan kemudian bersikeras
ingin melepasnya kembali ketempatnya seharusnya. Dia bersikeras untuk tetap ada
disini, tapi dia juga harus membagi segalanya dengan hak utuhnya. Dia bersikeras
menenangkanku agar aku tidak kemana-mana, dan sehebat semua yang dia lakukan
selama ini, aku menerimanya dengan lapang dada.
Aku cukup bersabar untuk beberapa bulan terakhir. Ya
benar, aku membangun dongengku sendiri diatas dongeng perempuan lain. tapi bagiku
ini bukan salahku, karena dia yang menahanku disini dan tentu saja memang
benar, tak ada satupun perempuan yang benar-benar ikhlas berbagi. Rasanya tidak
adil saja, karena perempuan itu tak pernah tahu dan aku mengetahui posisiku
persis seperti apa. Aku mulai merasa kadang Ardo mementingkanku tapi kadang dia
lebih mementing perempuan yang tidak pernah ingin ku ketahui namanya siapa itu.
Ini tidak adil karena aku harus mengikhlaskannya, sedangkan perempuan itu harus
tertawa tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya. Ini tidak adil
karena, Ardo tak pernah bersikap tegas pada perasaannya sendiri. Bagaimana bisa
dia hidup pada posisi yang sangat menyulitkan seperti ini. Menyedihkan.
Hingga tadi malam semuanya memuncak karena
ketidaktahananku atas sikap Ardo yang kutahu jelas mulai menyingkirkanku.
“kalo kamu pengen ngejauh dan stop disini, gak apa-apa
Do, aku ikhlas. Kembali, kembali ketempat kamu seharusnya” aku menatap mata
Ardo dengan mataku yang mulai berkaca-kaca. Aku cukup matang memikirkan ini
semua, memberanikan diri mengatakan hal ini selama ini cukup sulit untukku.
“aku gak pernah niat buat ngejauh dari kamu, dan aku
mau kamu tetap disini” ucapnya.
Tapi aku sangat tahu dia tak benar-benar sungguh
mengucapkan hal itu. Ada seseuatu yang mengganjal dimatanya. Ada hal yang sulit
menghalanginya. Tapi aku tak pernah mau ambil pusing untuk hal sialan semacam
ini. Aku sudah berminggu-minggu diperlakukannya seperti orang yang tak berguna.
Menyalahkanku atas dasar hal yang tak pernah ku mengerti. Kurasa memang benar
dia tak memerlukanku lagi dan memutuskan untuk kembali. Bahkan kalimatnya bukan
lagi penenang dikala kalutku.
***
Wanda menyenggol tanganku sembari
memutar bola matanya kearah yang ingin ditunjukannya. Dan seperti hal yang tak
pernah ku percaya, benar saja aku tak ingin mempercayainya sama sekali.
Aku mulai membuka mataku lebar-lebar
saat menyadari Ardo menggandeng wanita itu. Wanita yang tak pernah ingin ku
tahui namanya tapi aku selalu melihatnya akhir-akhir ini bersama Ardo. Ya, dan
hebatnya lagi aku satu kampus dengan Ardo hanya saja kami berbeda jurusan. What
a great relationshit! Kenapa aku harus melihatnya disaat-saat seperti ini,
bersama dengan wanita itu pula. Ardo benar-benar berjalan melewatiku. Seolah
tak pernah mengenalku sama sekali. Membawa wanita itu duduk dimeja bersamanya.
Mataku hampir saja menumpahkan segalanya. andai saja aku perempuan bodoh aku
sudah pasti akan dengan lancing menghampiri mereka berdua dan memakan otak Ardo
hidup-hidup. Sayangnya, aku telah sampai dititik dimana aku harus menyadari
diriku sendiri, aku bukan orang yang pantas berada disana. Aku menatap dalam
betapa bahagianya wanita disampingnya, aku tak akan tega menyakiti hatinya
dengan seluruh perjuangannya selama ini aku tak akan mampu menghancurkan yang
telah ia bangun bersama Ardo. Kurasa bukan saatnya untuk memikirkan diriku
sendiri. Entah kenapa aku berpikiran seperti itu.
“see, sekarang lu udah liat sendiri
kan? Dia sama sekali udah ngebuang elu!” ucap Wanda menegaskan dihadapan
mataku.
Ucapan Wanda kali ini benar-benar
mengiris hatiku. Tapi dia benar. Aku tak akan bisa membantah.
Benar, bukan aku yang harus mengusir
wanita itu. Tapi aku yang harus tahu diri, disaat Ardo tak lagi meminta aku
disana. Aku yang harus melangkah untuk meninggalkannya karena dia tak akan bisa
melepaskan dua wanita yang mencintainya. Pilihannya hanya berada padaku, dan
bagiku aku tak mampu lagi memintanya untuk ada disini. Karena dia sudah
menjelaskan dengan jelas, dia harus kembali, dia harus bersama dengan orang
yang sepatutnya, dia harus bersama wanita yang memperjuangkannya. Dia bukan
lelaki tipe pejuang. Dia tipe lelaki pejuang yang berharap balasan dan jika ia
tidak menerima balasan ia akan pergi mencari balasan lain yang lebih. Aku
bahkan tak yakin jika terus bersamanya aku akan bisa bertahan sesabar wanita
itu. Ku kira, aku lebih baik mengembalikannya pada orang yang pantas daripada
aku memelihara apa yang tak sanggup ku jaga.
“kita pergi dari sini” ucapku datar
pada Wanda, mengajaknya menjauh. Aku bisa saja membalik semua meja café kalau
terus-terusan memandangi hal yang tak wajar dan terus memaksa kurang ajar
seperti ini.
Setelah kejadian siang itu aku tak
lagi pernah menghubungi Ardo. Ardo pun demikian. Dia tak pernah lagi menanyakan
kabarku seperti biasanya. Aku tak pernah menanyakan kenapa ia terus meminta ku
bertahan tapi ia akhirnya memilih jalannya. Anggapan jahat memang pantas
baginya, hujatan keras dihatiku mengalir setiap hari. Ia benar-benar
menyadarinya akhirnya untuk kembali. Berbulan-bulan aku harus menyembuhkan
perasaanku pada laki-laki sialan yang terus saja mengikutiku ini. Membuang
segala ingatan memang benar tak akan mudah. Membiasakan hari tanpanya itu lebih
sulit dari yang ku kira. Menulis ending itu tak akan mudah seperti apa yang
diperkirakan. Awal bisa saja mendustai akhir. Tapi kejutan tak akan pernah
berakhir.
Aku duduk sendirian malam itu
ditengah taman sambil membawa es krim ditanganku. Aku mendongak keatas sembari
tersenyum tipis. Malam ini bintang benar-benar memenuhi langit.
“malam ini cerah ya, mau hitung
bintang sama-sama” ucap seseorang tiba-tiba.
Aku yang sedari tadi menatap kearah langit seketika
menengok untuk memastikan siapa yang lancang sekali duduk di sebelahku dan
beran-beraninya menyapaku seperti itu.
“hai, aku Titan”
Cowok berwajah oriental dan bermata indah yang menyipit
ketika menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum. Mengalihkan duniaku
seketika.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar