Senin, 25 April 2016

UNTITLED



Entah kenapa dia bisa-bisanya datang tanpa permisi. Duduk disebelahku dan berusaha mengorek semua tentangku. Bagaikan kode-kode morse yang sulit dipecahkan ia terus memaksa masuk tanpa bisa ditahan oleh pintu berjenis apapun. Dia bisa menjadi magician yang menyulap semua peniti menjadi kunci yang mampu membuka apa saja. Dia benar-benar ajaib. Seajaib perasaanku yang tak bisa ku tahan padanya. Segila fikiranku yang tak bisa berhenti memikirkannya. Seindah cerita cinta abnormal yang kami jalani. Tapi aku tak ingin berhenti. Sayangnya semua cerita tak akan mempunyai alur yang sederhana seperti cerita tentang Cinderella yang bertemu pangerannya hanya dengan sepasang sepatu dengan lika-liku yang akhirnya akan berakhir happily ever after. Ini lebih dari itu, bagiku ini cerita luar biasa yang tak senilai dengan cerita-cerita cinta pasangan bertahun-tahun yang harus berakhir sia-sia, dengan dongeng yang tak pernah berhenti bagaikan bualan angin yang menyedihkan. Dia benar-benar mengambil alih segalanya tanpa permisi.
***
“ya jelaslah lu dalam masalah super besar!” Wanda menatap mataku membulat.
Aku hanya bisa melongo sembari menyeruput jus manggaku. Aku benar-benar kacau hari ini. Aku bangun pagi dengan mata yang bengkak bagaikan panda
 yang kena insomnia berminggu-minggu, hidung yang merah dan rambut yang kuikat acak-acakan saat berangkat ke kampus. Sepanjang malam aku harus bertengkar dengan Ardo membahas permasalahan yang benar-benar menyita segala emosiku.
“lu berurusan sama pacar orang Denisha” tekannya sekali lagi sambil menatap mataku.
Aku hanya mengaduk-aduk jus mangga yang berada dihadapanku. Rasanya jus mangga ini tak seperti biasanya. Aku tahu aku dalam masalah besar, sangat besar. Berhubungan dengan pacar orang lain bukanlah ide yang bagus tentunya. Tapi suatu ketika aku percaya bahwa apa yang dikatakan orang tentang “cinta itu tak mengenal siapa, dimana dan mengapa” itu benar. Cinta itu bisa datang tanpa kita undang dan tanpa disadari. Menyedihkan, mengapa harus datang pada pacar orang lain? jelas itu pertanyaan yang sulit untuk dipecahkan. Mungkin akan lebih mudah memecahkan soal aljabar bertingkat ketimbang menjawab pertanyaan ini didiriku sendiri.
“diem, bisanya diem kalo udah kayagini” sahut Wanda sekali lagi karena aku tak juga membuka mulutku untuk menangkis atau menjawab pertanyaannya.
“terus gue mesti gimana? Mundur gitu? Sekarang yang gue rasain ngambang, gue juga mikir, kalo gue maju jelas itu bakalan nyakitin gue, karena gue yakin Ardo tak akan segampang itu melepaskan Tania, dan kalau gue mundur, gue harus siap untuk sendirian, melepas segala yang sudah gue perjuangin, ninggalin semua ingatan-ingatan gue tentang hari yang udah-udah kan?” akhirnya setelah bosan memandangi jus mangga aku angkat bicara tentang yang ku pikirkan.
Wanda kemudian menyandarkan punggungnya kekursi dan menghembuskan nafas panjang. “lu bener,” lanjutnya.
Kemudian aku membuang pandanganku keluar jendela café. Memandang kearah kampus dengan pikiran yang kacau balau. Ardo benar-benar membuat segalanya kacau. Menarikku dalam masalah yang tak bisa ku selesaikan dan dia mempunyai otak yang luar biasa bodoh karna hanya bisa berdiam diri dengan semua yang terjadi.
Pikiran ku kembali menerawang ke malam dimana pertama kali bertemu dan aku tak pernah tahu kalau dia mempunyai pacar. Malam dimana ku kira kami hanya sepasang orang yang bertemu kebetulan karena sama-sama sendirian. Duduk di kursi yang sama tanpa sengaja sambil menatap langit yang benar-benar buram malam itu, dan kemudian menyapaku dengan kata-kata yang selalu kuingat hingga membuat kami sampai pada titik ini.
***
“malam ini mendung, lu gak bakalan nemuin bintang diatas sana” ucapnya tiba-tiba.
Aku yang sedari tadi menatap kearah langit seketika menengok untuk memastikan siapa yang lancang sekali duduk di sebelahku dan beran-beraninya menyapaku dalam keadaan seperti ini. Ya, baru saja putus dengan pacar itu memang sebuah keadaan buruk yang sampai membuatku melangkah sendirian di taman ini dan duduk dengan kepala mendongak keatas dengan es krim ditangan yang terus meleleh dijari-jariku.
Aku hanya diam tak menyahuti perkataan laki-laki SKSD ini. Aku mulai takut jangan-jangan dia mau menculikku atau parahnya lagi mau memperkosaku. Tampang lelaki ini cukup kriminal tapi bukan, bukan. Aku cukup lama memandangi laki-laki yang duduk disebelahku ini, laki-laki dengan alis yang cukup tebal, mata elang dengan kumis tipis yang selaras dengan janggut tipisnya. Jeans belel dan kaos yang dipakainya ku kira cukup serasi dengan sepatu bermerek cukup terkenal yang dipakainya. Berarti dia bukan penculik, mana ada penculik yang menggunakan baju sedemikian rupa.
“kenapa diem? Gue bukan orang jahat kali.” Tembaknya langsung. Ku kira orang ini dukun keliling, bagaimana dia bisa tahu apa yang ku pikirkan.
Mataku semakin menatap ngeri kearahnya dan dia menatapku aneh, kemudian mengulurkan tangannya padaku. “gue Ardo, gue bukan orang jahat, gue bukan penculik apalagi tukang perkosa. Gue duduk disini, cuma mau ngingetin lu, es krim lu meleleh karena gak lu makan, dan lu melongo duduk disini sendirian sambil lihat langit, gue Cuma takut elu kesambet” jelasnya lagi.
Mampus kuadrat. Dia beneran dukun keliling! Jangan-jangan habis ini dia mau nawarin gue buat ngeramalin masa depan gue. Batinku menjerit-jerit didalam.
“yaelah ini cewe malah diem aja, beneran kesambet ya lu?” tanyanya kesekian kalinya.
Aku menggeleng. “gak” aku langsung membuang es krimku yang telah habis meleleh. Kemudian berniat mengambil tissue dari dalam tasku.
“nih” dia menyodorkan sebuah sapu tangan kearahku saat melihat aku kesulitan membuka tasku karena lelehan es krim yang melumuri tanganku.
Aku kemudian menatapnya sembari mengambil sapu tangan darinya. “makasih ya” ucapku. Ku kira dia beneran orang baik, kemudian.
“nama gue Denisha” ungkapku kemudian.
Ardo kemudian mengangguk-angguk sembari menatap langit dengan kedua tangan yang memeluk kepalanya. “kalau galau jangan sampai segitunya juga kali, sayang banget es krimnya” dia tertawa kecil.
Orang ini benar-benar!
“kata siapa gue galau, cuma gak mood aja makan es krimnya, lagi fokus mandangin langit” elakku sekenanya walaupun aku tahu ini gak nyambung banget.
Ardo kemudian tertawa. “lu lucu juga ya” ucapnya sembari menatapku kemudian.
                ***
“lu lucu juga ya” kata-kata itu selalu terngiang dibenakku hingga detik ini. Kata-kata yang mengenalkan ku pada kisah baru yang tak pernah ku duga sebelumnya. Dia membawaku mengawang tinggi dengan semua perlakuannya padaku sejak saat itu. Dia menggantikan semuanya, berusaha menerobos masuk ke kehidupanku secara paksa, dia merampas kuncinya sekali lagi. Dia benar-benar lihai untuk urusan ini. semudah itu, semudah aku jatuh cinta padanya. Seindah bunga-bunga yang selalu ia kirimkan setiap minggunya ke rumahku, seindah tempat-tempat yang pernah kami kunjungi berdua, seindah waktu-waktu yang kami habiskan bersama dan sepanjang cerita yang selalu ia dengarkan tanpa bosan. Ku kira ia tak pernah bosan, ku kira.
Hingga suatu saat semuanya berubah. Segalanya telah berubah. Semenjak aku mengetahui ternyata dia mempunyai pacar selama ini. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi penyusup yang mencari celah untuk kepentingan pribadiku sendiri. Aku mulai memikirkan betapa jahatnya aku selama ini. Aku baru saja mengetahui aku telah merampas hak orang lain dan kemudian bersikeras ingin melepasnya kembali ketempatnya seharusnya. Dia bersikeras untuk tetap ada disini, tapi dia juga harus membagi segalanya dengan hak utuhnya. Dia bersikeras menenangkanku agar aku tidak kemana-mana, dan sehebat semua yang dia lakukan selama ini, aku menerimanya dengan lapang dada.
Aku cukup bersabar untuk beberapa bulan terakhir. Ya benar, aku membangun dongengku sendiri diatas dongeng perempuan lain. tapi bagiku ini bukan salahku, karena dia yang menahanku disini dan tentu saja memang benar, tak ada satupun perempuan yang benar-benar ikhlas berbagi. Rasanya tidak adil saja, karena perempuan itu tak pernah tahu dan aku mengetahui posisiku persis seperti apa. Aku mulai merasa kadang Ardo mementingkanku tapi kadang dia lebih mementing perempuan yang tidak pernah ingin ku ketahui namanya siapa itu. Ini tidak adil karena aku harus mengikhlaskannya, sedangkan perempuan itu harus tertawa tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya. Ini tidak adil karena, Ardo tak pernah bersikap tegas pada perasaannya sendiri. Bagaimana bisa dia hidup pada posisi yang sangat menyulitkan seperti ini. Menyedihkan.
Hingga tadi malam semuanya memuncak karena ketidaktahananku atas sikap Ardo yang kutahu jelas mulai menyingkirkanku.
“kalo kamu pengen ngejauh dan stop disini, gak apa-apa Do, aku ikhlas. Kembali, kembali ketempat kamu seharusnya” aku menatap mata Ardo dengan mataku yang mulai berkaca-kaca. Aku cukup matang memikirkan ini semua, memberanikan diri mengatakan hal ini selama ini cukup sulit untukku.
“aku gak pernah niat buat ngejauh dari kamu, dan aku mau kamu tetap disini” ucapnya.
Tapi aku sangat tahu dia tak benar-benar sungguh mengucapkan hal itu. Ada seseuatu yang mengganjal dimatanya. Ada hal yang sulit menghalanginya. Tapi aku tak pernah mau ambil pusing untuk hal sialan semacam ini. Aku sudah berminggu-minggu diperlakukannya seperti orang yang tak berguna. Menyalahkanku atas dasar hal yang tak pernah ku mengerti. Kurasa memang benar dia tak memerlukanku lagi dan memutuskan untuk kembali. Bahkan kalimatnya bukan lagi penenang dikala kalutku.
                              ***
            Wanda menyenggol tanganku sembari memutar bola matanya kearah yang ingin ditunjukannya. Dan seperti hal yang tak pernah ku percaya, benar saja aku tak ingin mempercayainya sama sekali.
            Aku mulai membuka mataku lebar-lebar saat menyadari Ardo menggandeng wanita itu. Wanita yang tak pernah ingin ku tahui namanya tapi aku selalu melihatnya akhir-akhir ini bersama Ardo. Ya, dan hebatnya lagi aku satu kampus dengan Ardo hanya saja kami berbeda jurusan. What a great relationshit! Kenapa aku harus melihatnya disaat-saat seperti ini, bersama dengan wanita itu pula. Ardo benar-benar berjalan melewatiku. Seolah tak pernah mengenalku sama sekali. Membawa wanita itu duduk dimeja bersamanya. Mataku hampir saja menumpahkan segalanya. andai saja aku perempuan bodoh aku sudah pasti akan dengan lancing menghampiri mereka berdua dan memakan otak Ardo hidup-hidup. Sayangnya, aku telah sampai dititik dimana aku harus menyadari diriku sendiri, aku bukan orang yang pantas berada disana. Aku menatap dalam betapa bahagianya wanita disampingnya, aku tak akan tega menyakiti hatinya dengan seluruh perjuangannya selama ini aku tak akan mampu menghancurkan yang telah ia bangun bersama Ardo. Kurasa bukan saatnya untuk memikirkan diriku sendiri. Entah kenapa aku berpikiran seperti itu.
            “see, sekarang lu udah liat sendiri kan? Dia sama sekali udah ngebuang elu!” ucap Wanda menegaskan dihadapan mataku.
            Ucapan Wanda kali ini benar-benar mengiris hatiku. Tapi dia benar. Aku tak akan bisa membantah.
            Benar, bukan aku yang harus mengusir wanita itu. Tapi aku yang harus tahu diri, disaat Ardo tak lagi meminta aku disana. Aku yang harus melangkah untuk meninggalkannya karena dia tak akan bisa melepaskan dua wanita yang mencintainya. Pilihannya hanya berada padaku, dan bagiku aku tak mampu lagi memintanya untuk ada disini. Karena dia sudah menjelaskan dengan jelas, dia harus kembali, dia harus bersama dengan orang yang sepatutnya, dia harus bersama wanita yang memperjuangkannya. Dia bukan lelaki tipe pejuang. Dia tipe lelaki pejuang yang berharap balasan dan jika ia tidak menerima balasan ia akan pergi mencari balasan lain yang lebih. Aku bahkan tak yakin jika terus bersamanya aku akan bisa bertahan sesabar wanita itu. Ku kira, aku lebih baik mengembalikannya pada orang yang pantas daripada aku memelihara apa yang tak sanggup ku jaga.
            “kita pergi dari sini” ucapku datar pada Wanda, mengajaknya menjauh. Aku bisa saja membalik semua meja café kalau terus-terusan memandangi hal yang tak wajar dan terus memaksa kurang ajar seperti ini.
            Setelah kejadian siang itu aku tak lagi pernah menghubungi Ardo. Ardo pun demikian. Dia tak pernah lagi menanyakan kabarku seperti biasanya. Aku tak pernah menanyakan kenapa ia terus meminta ku bertahan tapi ia akhirnya memilih jalannya. Anggapan jahat memang pantas baginya, hujatan keras dihatiku mengalir setiap hari. Ia benar-benar menyadarinya akhirnya untuk kembali. Berbulan-bulan aku harus menyembuhkan perasaanku pada laki-laki sialan yang terus saja mengikutiku ini. Membuang segala ingatan memang benar tak akan mudah. Membiasakan hari tanpanya itu lebih sulit dari yang ku kira. Menulis ending itu tak akan mudah seperti apa yang diperkirakan. Awal bisa saja mendustai akhir. Tapi kejutan tak akan pernah berakhir.
            Aku duduk sendirian malam itu ditengah taman sambil membawa es krim ditanganku. Aku mendongak keatas sembari tersenyum tipis. Malam ini bintang benar-benar memenuhi langit.
            “malam ini cerah ya, mau hitung bintang sama-sama” ucap seseorang tiba-tiba.
Aku yang sedari tadi menatap kearah langit seketika menengok untuk memastikan siapa yang lancang sekali duduk di sebelahku dan beran-beraninya menyapaku seperti itu.
“hai, aku Titan”
Cowok berwajah oriental dan bermata indah yang menyipit ketika menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum. Mengalihkan duniaku seketika.
            ---