Selasa, 10 Desember 2013

Cerpen: Lie

cerpen iseng-iseng sih :D


           
Created by Aidha Aprilyza
Lie . . .
Jam beker berbunyi di pukul lima pagi, tetapi dering bisingnya belum cukup untuk membuat Cipi membuka mata. Cipi hanya menggeliat malas di tempat tidur dengan tangan menjelajah ke atas meja dan meraih beker sialan itu untuk membungkamnya.
            Dan saat Cipi membuka mata untuk melihat angka yang di tunjukan oleh jam beker tersebut, matanya langsung melotot bukan main karena ternyata jam bukan menunjukan pukul lima pagi melainkan jam tujuh pagi. Cipi langsung melompat dari atas tempat tidur dan mengambil handuk dari gantungan untuk mandi.
            Sialan tuh beker, aku beli jauh-jauh di tanah abang harusnya kualitasnya bagus. Bukannya bangunin aku malahan aku yang bangunin tuh beker. Gerutu Cipi di dalam kamar mandi.
            Kamar Cipi memang sangat berantakan akibat tadi malam dia sukses mengobrak-abrik kamarnya untuk mencari catatan matematikanya yang gak tau hilang kemana. Mulai dari bawah bantal sampai bawah lemari sukses dia bongkar dan hasilnya ia menemukan catatan matematikanya itu terselip di bawah meja riasnya, entah apa yang membuat tuh buku catatan jadi pengen jalan-jalan ke bawah lemari hiasnya. Cipi terpana mengamati kamarnya yang seperti kandang babi itu saat keluar dari kamar mandi. Astaga ! kamar ku ! teriak Cipi.       Semuanya berserakan dimana-mana. Tapi dia tak punya waktu untuk membereskan kamarnya itu karena dia sudah terlambat untuk masuk sekolah.
            Setelah berganti baju dan siap untuk berangkat sekolah. Cipi berlari untuk keluar kamar dan menghampiri meja makan. Ia mengoleskan selai kacang di selembar roti kemudian memakannya sambil berlari.

***
            Tet-tet-tet
            Tepat jam masuk berbunyi Cipi melangkahkan kakinya di sekolah. Sukur gak terlambat, katanya membatin.
            Ia kemudian melangkah masuk ke kelas dan duduk di kursinya. Ia mengeluarkan tissue dari tasnya untuk mengelap keringatnya yang mengucur dari dahinya karena berlari saat ingin berangkat sekolah barusan.
            “gak papa, sekalian olahraga” seseorang di sebelahnya tiba-tiba bersuara.
            Cipi mengerinyitkan dahinya. Ia berhenti mengelap keringatnya dan menoleh ke arah sebelahnya. “aku kira siapa, ternyata kamu Let” sahut Cipi setelah mengetahui siapa yang ada di sebelahnya.
            “hahaha, tumben telat ? kenapa ?” Leta terkekeh.
            “gak tau nih, tadi malem nyenyak banget aku tidur. Kecapean kali ya” Cipi mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tasnya.
            “iya kali Cip. Kamu kan akhir-akhir ini kegiatan mulu” komentar Leta lagi.
            “iya sih, badanku juga sering pegel-pegel”
            “rematik kali hahahaha” lagi-lagi Leta terkekeh geli.
            “tua amat aku kalo ampe kena rematik hahaha”
            “eh bisa aja tau. Kemaren tetangga ku kena penyakit rematik, seminggu abis itu dia meninggal”
            “bisa-bisa kamu aja nih ngarang cerita” Cipi menjitak kepala Leta.
            “hahaha, gak sakit !” Leta menantang.
            “mau yang sakit ? aku timpuk nih pakai tas” Cipi mengangkat tasnya.
            “enggak-enggak iya ampun! Hahaha”
            “ckckckck”
           
“Ibu Hendriani datang !” seru salah seorang murid. Cipi dan Leta bergegas merapikan diri dan duduk dengan tenang menanti sang guru matematika itu datang dan menyampaikan pelajaran.

***
            Hari ini sangat melelahkan. Kata Cipi membatin. Ia melangkah membuka pintu rumah dengan berat kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Belum sempat ia sampai di kamar, di meja makan ia telah melihat ayahnya dan seorang wanita muda duduk dengan tenang menyantap makan mereka. Mata Cipi tajam menatap kearah ayahnya dan wanita itu. Tatapan mata Cipi akhirnya di sadari oleh ayahnya dan wanita itu beberapa saat kemudian.
            “Cipi, duduk” seru ayahnya kepada Cipi.
            Cipi hanya diam tak bersuara sepetah katapun. Ia seperti tak suka kepada wanita yang duduk di samping ayahnya itu.
            “Cipi ayo duduk, dan makan bersama kami” seru ayah Cipi kedua kalinya.
            Cipi tetap diam mematung tak menjawab seruan ayahnya.
            “Cipi! Ada tamu, yang sopan” teriak ayahnya ke tiga kalinya kepada Cipi yang akhirnya membuyarkan lamunan Cipi yang mematung di belakang meja makan.
            Cipi menatap kearah wanita itu “Cipi udah liat” kata Cipi kemudian ia pergi masuk ke kamarnya.
            Ia menutup pintu kamarnya kemudian menghempaskan seluruh dirinya di kasurnya. Kejadian barusan sukses membuatnya hancur lebur. Ia merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia. Hanya dia.
            Dia gak akan minta persetujuan ku sebelum bertindak. Setelah berbulan-bulan gak pulang dan gak ada kabar, dia kembali ke sini dengan seorang wanita yang aku yakin hasil tangkapannya di bar. Wanita jalang. Brengsek ! kamu laki-laki paling brengsek yang pernah ku temui. Bajingan ! Cipi bersuara meraung, tangisan yang tersembunyi di balik bantalnya tak akan di ketahui oleh ayahnya.
            Setelah puas menangis di balik bantal. Cipi kemudian membersihkan dirinya, mengganti baju kemudian keluar menemui ayahnya dan wanita itu. Sekedar ingin tahu bagaimana sosok ibu tirinya yang ke delapan.
            “ayah.” Tatapan ketir Cipi tajam menatap ayahnya dan wanita itu sedang menonton tivi di ruang tengah.
            “duduk-duduk” seru ayah Cipi.
            Cipi menurut. Wanita itu menatapnya dengan tatapan sinis sambil mengisap dalam rokoknya. Bisa anda bayangkan sendiri bagaimana tatapan sinis seorang pelacur ? yaitulah wanita itu. Wanita yang cukup mempunyai paras yang cantik sepertinya ia baru berusia 25 tahunan, langsing, di balutkan dengan riasan yang menarik dari bibir, mata, hingga pipinya, berambut ikal panjang tergerai yang hitam pirang, dan menggunakan tank top pink dan blus hitam mengkilat yang matching dengan sepatu high hils hitamnya yang mengkilat. Bagaimana ? persis seperti gaya pelacur kan ? wanita jalang desis Cipi di dalam hatinya.
            Seperti biasa, meja berhamburan dengan kacang dan berbotol-botol gelas bir. Ayah Cipi sudah pasti dalam keadaan mabuk. Ya dia selalu mabuk bagi Cipi, karena Cipi tak pernah menganggapnya waras semenjak kepergian ibunya 3 tahun yang lalu.
            “dia sekarang menjadi ibumu” kata ayah Cipi memecah keheningan.
            Cipi tidak terkejut, karena sudah tujuh kali ia mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya dan ini yang ke delapan. Kemana perginya para ibu tiri Cipi yang sebelumnya ?
            Mereka kabur. Mereka tak akan mampu hidup dengan suami yang jarang pulang ke rumah. Mereka tak akan mampu hidup dengan seorang pria kasar yang berani memukul perempuan. Mereka tak akan mampu hidup dengan sorang pria yang tak berperasaan. Dan mereka tak akan mampu hidup dengan seorang pria yang tak mampu menjadi SUAMI yang baik.
            Cipi hanya tersenyum sinis menatap kearah wanita yang asik mengisap rokoknya itu sedari tadi. Seberapa kuat kamu bertahan ? batin Cipi terkekeh.
            “kapan ayah menikahi dia ?”
            “seminggu yang lalu” jawab ayahnya santai dengan wajah memerah karena mabuk.
            “dia akan sama seperti yang lainnya yah, dia akan pergi, atau kalau ayah bosan ayah akan jual dia ke teman ayah !”
            “diam kamu ! kamu bocah yang belum ngerti apa-apa ! tugasmu hanya diam dan menurut saja ! ayah akan berusaha menjadi ayah yang baik buatmu !”
            “Dengan cara apa ? dengan cara ini ayah menjadi ayah yang baik buatku ? dengan membawa wanita-wanita jalang ini dan memperistrikannya kemudian ayah tinggal aku dan dia di rumah ini untuk berjudi di luar sana ? gak yah ! aku bukan bocah lagi yah, aku seorang anak 15 tahun yang udah ngerti apa yang ayah lakukan selama ini”
            Plaakkkkk!!!!
            Tamparan itu melayang di pipi kanan Cipi dengan sukses. Bekas kelima jari itu memerah di pipinya. Wajah Cipi seketika memerah, air matanya keluar. Wanita itu terkejut melihat hal yang di lakukan oleh suaminya. Tapi wanita itu tetap berusaha bersikap datar melihat yang terjadi di hadapannya.
            “sebentar lagi kamu akan terbiasa melihat segala kejadian yang akan terjadi di dalam rumah ini” kata Cipi kemudian pergi meninggal ayahnya dan wanita itu. Wanita itu berhenti mengisap rokoknya. Ia mungkin mencerna baik-baik apa yang di katakan Cipi kepadanya. Wanita itu hanya diam. Mematung. Jauh di dalam keheningan dunia khayalnya.

***
            Dan benar apa yang di bayangkan Cipi. Ayahnya kembali pergi seperti biasanya. Sudah seminggu setelah kejadian itu ayah Cipi belum kembali ke rumah. Ia meninggalkan wanita itu di rumah. Cipi dan wanita itu tak pernah berbicara. Bahkan untuk memanggilnya ibu pun Cipi tak akan pernah sudi. Mereka hanya tinggal berdua di dalam rumah sederhana itu. Rumah yang tidak bisa di katakan mewah. Tapi juga tidak buruk untuk di tempati.
            Sore itu, Cipi baru saja pulang dari sekolah. Ia melihat wanita itu duduk di meja makan sambil membuka-buka lembar demi lembar sebuah buku. Cipi diam. Ia berusaha mengingat buku itu. Tersadar, Cipi berlari dan merampas buku itu dari tangan wanita itu.
            “kembalikan bukuku!” teriak Cipi merampas buku itu dari meja makan.
            Wanita itu terkejut melihat Cipi. Air mukanya memerah. “kenapa kamu ribut sekali hanya karena masalah buku ?”
            “karena buku ini milikku. Dan jangan pernah sentuh apapun milikku di rumah ini!” teriak Cipi bagai orang kesetanan.
            Wanita itu terdiam.
            Cipi berlari ke dapur. Kemudian membuka laci di bawah kompor gasnya dan menyimpan buku itu di dalamnya, di sela gelas-gelas di dalam laci itu. Kemudian ia pergi dan masuk ke kamar. Ia mampu habiskan waktu berjam-jam di dalam kamar. Karena ia lebih nyaman berada di kamarnya. Ia tinggalkan wanita itu di luar sendirian. Bahkan ia tak pernah tau nama wanita itu siapa. Bisa anda bayangkan bagaimana hidup dengan seorang yang tidak kita kenal sama sekali ?
           
***
            “Evan sudah jadian dengan Diandra, Cip” Lirih Leta di sela-sela jam pelajaran Fisika. Kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong. Leta sukses membuatnya hancur lebur dengan seketika. Seluruh rumus Fisika yang sedari tadi dia hapalkan langsung berubah menjadi puing-puing kecil di dalam otaknya. Tak berguna. Tak berarti.
            “kamu serius ?” Tanya Cipi memastikan.
            “aku lihat mereka berdua gandengan tangan tadi pagi waktu jalan di koridor”
            Cipi menghela nafas panjang. Air matanya mengucur di sela pipinya. Leta pasti gak akan tau hancurnya perasaannya. Tapi ia bersukur Leta telah memberitahu hal itu kepadanya. “a..ku..” Cipi tersendat-sendat untuk bicara.
            “sampai kapan kamu kayak gini ? mengharapkan seorang yang gak pasti akan kembali sama saja kamu bunuh diri”
            “a..k..u.. sayang sama dia” Cipi menghapus air matanya agar tidak kelihatan bu Lara di depan.
            “aku tau. Tapi dia ? dia di luar sana bahagia tanpa kamu Cip. Dia tertawa dengan riangnya dan hebatnya dia sukses membuat kamu jatuh cinta sama dia kemudian dia pergi ninggalin kamu seenak jidatnya kemudian dia pacaran sama Diandra. Kamu ingat gak ? dulu kamu jadian sama dia, kamu jadian sama dia Cuma gara-gara kamu pengen main-main kan selama seminggu. Karna kamu perlu seseorang yang harus kamu ajak ke pesta ulang tahun Diandra dan supaya kamu bisa ngebuktiin ke Diandra kalau kamu bisa dapetin Evan yang notabene Evan adalah orang yang di taksir Diandra saat itu. Dan selama seminggu dia nemenin kamu. Tapi akhirnya setelah dia mau pergi dan bilang ‘makasih buat satu minggu’ kamu bilang ke dia ‘kalo aku gak mau putus gimana?’ iyakan ? kamu ingat ? ingat gak gimana pertama kali kamu eneknya sama dia, ogahan pacaran sama dia ?” Leta menjelaskan panjang lebar untuk membuat Cipi merasa lebih baik. Rasanya mulut Leta saat itu sudah doer untuk menjelaskan semua hal itu pada Cipi.
            “iya aku ingat.” Sahut Cipi singkat.
            “kalo kamu ingat caranya, lakukan”
            “aku gak bisa Let, kamu ingat gak kejadian itu udah ketinggalan berapa tahun ? 2 tahun Leta. Aku gak akan mampu melepas sebuah hubungan yang sudah ku jalani lama banget. Evan sudah membekas di hatiku. Aku menulis namanya di hatiku sejak aku dan Evan pertama ketemu dan gak akan mungkin terhapus apalagi terganti” Cipi terisak.
            Leta membelai rambut panjang Cipi. “kamu gak bisa karna kamu gak mau mencoba”
            “seumur hidupku aku gak akan pernah mengganti namanya di hatiku. Evan punya banyak cerita di kehidupanku. Ia sosok pengganti ayah bagiku. Dia pernah punya peranan besar di hidupku.”
            “aku tau. Tapi kalian memang gak bisa lagi sama-sama. Relakan dia sama Diandra kalau kamu sayang dia. Itu yang terbaik buatnya”
            Cipi berhenti mengucurkan air mata. Ia berdiri kemudian keluar dari kelas. Ia tak memerdulikan seluruh mata yang menatapnya. Apalagi Bu Lara yang tentu saja geram dengannya yang nyelonong keluar tanpa pamit kepadanya. Tapi Cipi tak perduli. Leta yang terkejut dengan tingkah Cipi langsung menghampiri bu Lara dan mewakilkan Cipi untuk meminta maaf kemudian menjelaskan apa yang terjadi dengan Cipi. Tentu saja dengan cara berbohong.
            Cipi melangkah ke toilet. Menuju ke wastafel dan berkaca. Di lihatnya air mukanya. Seperti ini kah aku bila aku sedang hancur ? batinnya lirih. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar hancur saat itu juga. Ia merasa telah kehilangan segalanya. Ia merasa sangat miskin saat itu. Ia mengingat seluruh canda tawa nya bersama Evan. Kenangan itu tak pernah mungkin terhapus dari memori otaknya.
Ia merasa sangat          Jauh…
Jauh…
Jauh…
Jauh…
Dari kehidupannya yang nyata. Angannya kali ini terbang mengangkat jiwanya. Cukup sakit yang ia tanggung sendiri kali ini. Begitu menyiksanya. Petir bertubi-tubi menimpanya.
Aaaarrrrrrrrrrrrrrgggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhh !!!!!
Breeennngseekkkkkkkkkkk kamu !!!! Bajingan kamuuu !!!!!! teriaknya dari dalam toilet ia meraung, tangisannya mungkin terdengar sampai ke thailand. Tapi hanya keheningan yang menjawabnya. Tak ada yang perduli sehancur apa dia sekarang karena orang lain punya kisahnya masing-masing dan tak akan perduli bagaimana kisahnya.

***
            Cipi membuka pintu rumah. Matanya yang sembab tak ia tutupi. Ia melangkah dengan hampa, beranjak menuju kamarnya. Tapi belum sampai ia ke kamarnya, ia melihat ibu tirinya itu sedang memegang sebuah jarum suntik. Ingin menyuntikkan dirinya. Dan Cipi sangat tahu itu adalah narkoba.
            “Sialaannnn !” dengan sigap Cipi merampas jarum suntik itu dari tangan ibu tirinya. Di lemparnya jarum suntik itu jauh ke depan. “sialan !!! kamu adalah pecandu ! wanita hina !!! sekarang kamu pergi dari sini ! pergiii !!!!” Teriak Cipi histeris.
            “ini gak seperti yang kamu pikirkan” lirih wanita itu. Wajahnya pucat. Berkeringat.
            “tapi aku tahu yang kamu pikirkan ! sekarang kamu pergi !!! pergii !!!” teriak Cipi ke dua kalinya. Wajahnya memerah. Sinar matanya berubah geram.
            Wanita itu tak menyahut Cipi. Perlahan wanita itu melemah. Kemudian tak bergerak. Wanita itu pingsan.
            Cipi terdiam mematung melihat kejadian itu.

***
            “maafkan aku” kata wanita itu saat berdiri di kasir sebuah supermarket.
            Cipi hanya diam. Ia sedang membayar beberapa belanjaan untuk keperluan bulan ini.
            “tidak, buat apa aku minta maaf. Kamu sudah membuang suntikan insulin ku” katanya lagi.
            Cipi memandang ke arahnya. Tajam. “ayo kita pulang” kata Cipi. Wanita itu kemudian menurut mengikuti Cipi.
            Beberapa waktu kemudian mereka berdua sampai di rumah. Cipi melepas jaketnya. Kemudian duduk di atas meja makan, membuka laptopnya untuk sekedar online. Wanita itu duduk memojok di ujung ruangan. Memeluk kakinya dengan wajah yang pucat. Ya, semenjak dia tinggal di rumah dengan Cipi, sepertinya wanita itu sangat tertutup. Ia sangat jarang berbicara. Seenaknya pergi dan kembali. Tapi kian hari dia kian kurus dan pucat.
            “Cepat pergi saja kamu dari sini. Kamu hanya merepotkanku” Seru Cipi dengan mata memandang masih ke laptopnya. Ia tak pernah menghilangkan kebiasaan itu. Berbicara dengan tak menatap lawan bicaranya.
            Wanita itu hanya diam. Masih memeluk kakinya di bawah.
            “kalau aku jadi kamu. Aku akan pergi. Kemana saja. Dari pada aku merepotkan orang lain. Itu kalau jadi aku” kata Cipi ke dua kalinya.
            Wanita itu tetap diam mematung. Sepertinya ia menahan rasa sakit.
            “kamu bisa pergi ke tempat ibumu ?” saran Cipi.
            “aku gak punya ibu” jawabnya lirih.
            Cipi berbalik menghadap wanita itu. “gak mungkin, setiap orang mempunyai ibu. Ibu yang melahirkan kamu”
            “dia yang melahirkanku. Tapi keesokan harinya dia membuangku” jawabnya. Jawaban itu menggetarkan hati Cipi.
            Cipi mulai iba melihat wanita itu. “namamu siapa ?” Tanya Cipi. Khirnya cipi bertanya setelah dua minggu.
            “angela, panggil saja aku angel”
            “oh” Cipi kembali berbalik melajutkan kegiatannya.
            “kamu sudah sering di pukuli ayahmu seperti waktu itu ?” tanyanya. Membuat Cipi terdiam.
            “iya” jawabnya setelah beberapa saat dengan tubuh yang membelakangi angel. “kamu akan terbiasa” sambung Cipi.

            Bbrraakkkk
            Suara pintu di buka dengan kasar. Angel dan Cipi terkejut. Tapi Cipi tahu siapa yang datang. Ayahnya.
            Ayah Cipi berjalan masuk dengan sempoyongan. Wajahnya yang mulus putih, memerah karena mabuk. Cipi dan Angela menatapnya tajam. Dia tersenyum “akhirnya aku bisa menjadi ayah yang baik” katanya.
            Ayah Cipi pulang dengan membawa uang banyak. Ayahnya kemudian menelpon delivery dan memesan makanan yang banyak. Mereka bertiga pun duduk di meja makan dan menyantap makanan hasil judi yang di menangkan ayah Cipi.
            “bagaimana ibu barumu ?” Tanya ayahnya.
            Cipi hanya diam. Terus memakan makanannya.
            “baik atau tidak ? atau kamu mau ayah mengusirnya ?”
            Cipi dan Angela saling tatap sebentar. Kemudian kembali menyantap makanannya.
            “oh baiklah, kita sedang makan. Memang tidak boleh bicara kalau sedang makan.” Kata ayahnya lagi.
            Angel dan Cipi terus makan tanpa menghiraukan ayah Cipi. Ayah Cipi yang merasa gusar karena tidak di perhatikan kemudian pergi ke dapur dengan niat mengambil minum. Ia membuka laci di bawah kompor gas untuk mengambil gelas. Tapi ia menemukan sesuatu. Ia menemukan sebuah buku cerita dari dalam sana. Air mukanya langsung berubah geram saat melihat buku itu.
            “Cipi !!!” teriaknya dari dalam dapur.
            Cipi diam sejenak mencerna teriakan ayahnya.
            “Cipi !!!” teriak ayahnya ke dua kalinya.
            Cipi menghela nafas panjang kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menghampiri ayahnya di dapur. Angela hanya menatap Cipi dengan perasaan tak enak.
            “Sini kamu !” teriak ayahnya sambil menarik rambut Cipi dengan kasar.
            “auu, auuu ayah sakit” lirih Cipi.
            “ini apa yang kamu simpan ini ? buat apa kamu masih nyimpan-nyimpan ini !”
            Cipi melihat buku cerita peninggalan ibunya berada di tangan ayahnya. “ayah kembalikan” pinta Cipi.
            “gak akan, buat apa kamu nyimpan-nyimpan ini. Dia itu sudah mati ! ibu kandungmu itu sudah mati !” teriak ayahnya makin keras menjambak rambut Cipi. Cipi hanya dapat mengeluarkan air mata. Kemudian ayahnya melempar tubuh Cipi hingga jatuh mengenai lemari yang ada di depannya. Cipi tersungkur tak berdaya, bibirnya mengeluarkan darah dan mata kanan yang lebam membiru. Ayahnya kemudian menyalakan kompor kemudian membakar foto ibu Cipi diatas kompor. Cipi tak sempat menyelamatkan foto ibunya. Tapi ia berdiri ingin merampas buku cerita dari tangan ayahnya.
            “tidak, semuanya harus lenyap ! ibu kamu sudah meninggal !” teriak ayahnya.
            “jangan yah, itu satu-satunya kenang-kenangan dari mama yah !” Ringis Cipi, sambil menahan sakit. Ia mencoba mengambil buku itu, tapi ia tak cukup kuat untuk melawan tubuh kekar ayahnya. Ayahnya menangkisnya hingga tubuh nya terpental ke rak piring dan memecahkan piring-piring diatasnya hingga melukai Cipi.
            “gak yah, bagiku mama masih hidup ! mama masih ada, dan saat aku buka buku itu aku merasa mama dekat denganku !”
            Mata ayah Cipi geram menatap tajam ke arah Cipi. Dirobek-robek nya buku itu kemudian dijambaknya rambut Cipi hingga Cipi berdiri. “katakan sekali lagi !” teriak ayahnya.
            “mama masih hidup!” teriak Cipi menangis.
            “sialan kamu !” Ayah Cipi menampar Cipi. “katakan kalau ibumu sudah mati !”
            Cipi diam. Semakin dia diam ayahnya makin menghujamnya dengan pukulan-pukulannya. Wajah Cipi lebam. Dengan darah segar yang mengalir dari hidung dan bibirnya.
            “katakan kalau ibumu sudah mati !” teriak ayahnya kelima kalinya.
            Cipi sudah terlalu lelah. “mama sudah meninggal” lirih Cipi dengan isak tangisnya.
            Tawa ayahnya membahana seisi rumah. Angel hanya meringkuk di ujung ruangan mendengar perkelahian seorang anak dan ayah di dapur.
            “sekarang, pelacur itu yang menjadi ibumu ! dialah ibu mu ! panggil pelacur itu ibu !” teriak ayahnya di depan Cipi yang tersungkur tak berdaya di lantai.
            Cipi hanya diam mengerang sakit.
            “panggil pelacur itu ibu sekarang juga !” ayahnya menjambak rambutnya kembali.
            “mama” lirih Cipi. Ia benar-benar tak mampu menahan sakit di sekujur tubuhnya yang babak belur akibat hantaman ayahnya. Akhirnya ia berhenti melawan ayahnya. Ia turuti semua perkataan ayahnya.
            “sudah Cukup, brengsek ! bajingan ! jangan kamu sentuh dia lagi !” Angela menghambur ke dapur. Ia menghantam suaminya itu. Tapi ia tak Cukup kuat untuk melawan suaminya. Akhirnya nasibnya sama seperti Cipi. Tersungkur tak berdaya dengan wajah lebam dan darah segar yang keluar.

***
            “Dia pergi kemana ?” Tanya Cipi.
            “judi lagi” jawab angel.
            Cipi bergegas mengambil tas dan kemudian melangkah keluar rumah dengan niat pergi sekolah.
            “dengan wajah lebam seperti itu akan sangat memalukan buat kamu untuk berangkat sekolah” Kata Angel Ketir.
            “lebam ini tak akan bisa di tutupi oleh make up apapun” sahut Cipi. Ia kemudian pergi meninggalkan Angel dengan wajah yang lebam membiru di mata kanannya.
            Angannya menerawang jauh selama perjalanan. Aku orang yang paling menyedihkan di dunia, batinnya bergejolak. Mulai dari ayah yang tak waras dan Evan yang kini menyakitinya. Semua ini ia tanggung sendiri. dua masalah yang sekaligus menerpa dunianya. Hidupnya tak tenang.
            Tuhan gak adil ! kenapa harus aku yang menanggungnya sendirian ? kenapa ? kenapa harus aku ? teriaknya di hatinya.

            Dan kejadian lain sukses membuat hatinya hancur lebur. Evan dan Diandra sukses membuatnya makin dalam terpuruk ke dunianya.
            “aku sayang banget sama kamu” Evan menatap mata Diandra di depan mobil Evan dengan tangan yang bergandengan. Mata Cipi membelalak tak berkedip melihat kejadian itu di depan matanya. Hatinya hancur seketika. Dia merasa sangat jauh.
            Cipi berlari meninggalkan mereka. Melangkah menjauh. Air matanya terus berlinang di sela-sela pipinya. Ia menyapu air matanya itu sambil berlari di koridor sekolah. Ia tak memperdulikan seluruh mata yang menatapnya dengan tatapan aneh. Leta di depan kelas menghadangnya dengan wajah khawatir. Ia menghambur kearah Leta dengan isak tangis yang tak mampu ia tahan lagi. Leta membelai rambut panjang Cipi.
            “a..k..uu” isaknya dengan kata yang tersendat.
            “udah-udah, aku tau yang kamu lihat apa” Leta berusaha menenangkan Cipi.
            Cipi tak mampu lagi berkata-kata. Hidupnya sukses hancur lebur. Evan sukses mengubah hidupnya menjadi serpihan kepedihan yang membuatnya terduduk lemas di depan kelas. Mengenang kejadian itu membuatnya mati rasa. Kini lebam di mata kanannya menjadi kian parah karena isak tangisnya. Dunianya terasa sangat sempit. Ia bahkan tak mampu bernapas.
            “maafkan aku” bisik seseorang lirih di telinganya.
            Cipi berbalik mencoba mencari arah suara itu. Ia menatap mata coklat itu. Mata yang benar-benar menunjukan bahwa Evan ada di sana bersama Diandra.
            Evan menatap Cipi dalam.
            Cipi tersenyum “kecewa itu adalah dimana saat seorang melihat orang yang ia sayangi mengingkari janjinya di depan matanya sendiri, hancur itu adalah di mana saat aku melihat kamu dan dia membuatku terduduk lemas di depan kelas. Sakit itu dimana saat seseorang menyayangi seseorang yang menyayangi orang lain. Tapi pedih itu dimana aku mengetahui kamu memperkenalkan rasa itu ke aku dan kemudian pergi seenaknya seolah kamu gak pernah berkata apa-apa ke aku” Desis Cipi menghentikan isaknya. Seluruh mata menatap kearah mereka.
            Diandra tersenyum sinis menatap Cipi. Itulah senyum kemenangan. Senyum yang ia tunjukan untuk Cipi. Ia berhasil. Sangat berhasil.
            “jaga cewekmu baik-baik, kalau gak dia akan jadi mesin pembunuh masal” Cipi menatap tajam kearah Evan. Kemudian Cipi berdiri dan mengambil tasnya. Ia melangkah meninggalkan Evan.
            Evan hanya mematung melihat kepergian Cipi. Ia tak menyangka, hidup Cipi lebih mengerikan daripada yang ia kira. Hidup Cipi sangat hancur dan kali ini dialah yang menghancurkan Cipi. Air mata Cipi sanggup menceritakan tentang hidup Cipi lebih banyak dari pada penjelasannya.
            “aku menyesal” Lirih Evan. Tapi Cipi tak akan pernah mendengar. Karena ia tak pernah ada.

-The End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar