Created by Aidha Aprilyza
Lie . . .
Jam beker berbunyi di pukul lima pagi, tetapi dering
bisingnya belum cukup untuk membuat Cipi membuka mata. Cipi hanya menggeliat
malas di tempat tidur dengan tangan menjelajah ke atas meja dan meraih beker
sialan itu untuk membungkamnya.
Dan saat Cipi membuka mata untuk
melihat angka yang di tunjukan oleh jam beker tersebut, matanya langsung
melotot bukan main karena ternyata jam bukan menunjukan pukul lima pagi melainkan jam tujuh pagi. Cipi
langsung melompat dari atas tempat tidur dan mengambil handuk dari gantungan
untuk mandi.
Sialan
tuh beker, aku beli jauh-jauh di tanah abang harusnya kualitasnya bagus.
Bukannya bangunin aku malahan aku yang bangunin tuh beker. Gerutu Cipi di
dalam kamar mandi.
Kamar Cipi memang sangat berantakan
akibat tadi malam dia sukses mengobrak-abrik kamarnya untuk mencari catatan
matematikanya yang gak tau hilang kemana. Mulai dari bawah bantal sampai bawah
lemari sukses dia bongkar dan hasilnya ia menemukan catatan matematikanya itu terselip
di bawah meja riasnya, entah apa yang membuat tuh buku catatan jadi pengen
jalan-jalan ke bawah lemari hiasnya. Cipi terpana mengamati kamarnya yang
seperti kandang babi itu saat keluar dari kamar mandi. Astaga ! kamar ku ! teriak Cipi. Semuanya
berserakan dimana-mana. Tapi dia tak punya waktu untuk membereskan kamarnya itu
karena dia sudah terlambat untuk masuk sekolah.
Setelah berganti baju dan siap untuk
berangkat sekolah. Cipi berlari untuk keluar kamar dan menghampiri meja makan.
Ia mengoleskan selai kacang di selembar roti kemudian memakannya sambil
berlari.
***
Tet-tet-tet
Tepat jam masuk berbunyi Cipi
melangkahkan kakinya di sekolah. Sukur
gak terlambat, katanya membatin.
Ia kemudian melangkah masuk ke kelas
dan duduk di kursinya. Ia mengeluarkan tissue dari tasnya untuk mengelap
keringatnya yang mengucur dari dahinya karena berlari saat ingin berangkat
sekolah barusan.
“gak papa, sekalian olahraga”
seseorang di sebelahnya tiba-tiba bersuara.
Cipi mengerinyitkan dahinya. Ia
berhenti mengelap keringatnya dan menoleh ke arah sebelahnya. “aku kira siapa,
ternyata kamu Let” sahut Cipi setelah mengetahui siapa yang ada di sebelahnya.
“hahaha, tumben telat ? kenapa ?”
Leta terkekeh.
“gak tau nih, tadi malem nyenyak
banget aku tidur. Kecapean kali ya” Cipi mengeluarkan buku pelajaran dari dalam
tasnya.
“iya kali Cip. Kamu kan akhir-akhir ini
kegiatan mulu” komentar Leta lagi.
“iya sih, badanku juga sering
pegel-pegel”
“rematik kali hahahaha” lagi-lagi
Leta terkekeh geli.
“tua amat aku kalo ampe kena rematik
hahaha”
“eh bisa aja tau. Kemaren tetangga
ku kena penyakit rematik, seminggu abis itu dia meninggal”
“bisa-bisa kamu aja nih ngarang
cerita” Cipi menjitak kepala Leta.
“hahaha, gak sakit !” Leta
menantang.
“mau yang sakit ? aku timpuk nih
pakai tas” Cipi mengangkat tasnya.
“enggak-enggak iya ampun! Hahaha”
“ckckckck”
“Ibu Hendriani datang !” seru
salah seorang murid. Cipi dan Leta bergegas merapikan diri dan duduk dengan
tenang menanti sang guru matematika itu datang dan menyampaikan pelajaran.
***
Hari
ini sangat melelahkan. Kata Cipi membatin. Ia melangkah membuka pintu rumah
dengan berat kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Belum sempat ia sampai di
kamar, di meja makan ia telah melihat ayahnya dan seorang wanita muda duduk
dengan tenang menyantap makan mereka. Mata Cipi tajam menatap kearah ayahnya
dan wanita itu. Tatapan mata Cipi akhirnya di sadari oleh ayahnya dan wanita
itu beberapa saat kemudian.
“Cipi, duduk” seru ayahnya kepada
Cipi.
Cipi hanya diam tak bersuara sepetah
katapun. Ia seperti tak suka kepada wanita yang duduk di samping ayahnya itu.
“Cipi ayo duduk, dan makan bersama
kami” seru ayah Cipi kedua kalinya.
Cipi tetap diam mematung tak
menjawab seruan ayahnya.
“Cipi! Ada tamu, yang sopan” teriak ayahnya ke tiga
kalinya kepada Cipi yang akhirnya membuyarkan lamunan Cipi yang mematung di
belakang meja makan.
Cipi menatap kearah wanita itu “Cipi
udah liat” kata Cipi kemudian ia pergi masuk ke kamarnya.
Ia menutup pintu kamarnya kemudian
menghempaskan seluruh dirinya di kasurnya. Kejadian barusan sukses membuatnya
hancur lebur. Ia merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia. Hanya dia.
Dia
gak akan minta persetujuan ku sebelum bertindak. Setelah berbulan-bulan gak
pulang dan gak ada kabar, dia kembali ke sini dengan seorang wanita yang aku
yakin hasil tangkapannya di bar. Wanita jalang. Brengsek ! kamu laki-laki
paling brengsek yang pernah ku temui. Bajingan ! Cipi bersuara meraung,
tangisan yang tersembunyi di balik bantalnya tak akan di ketahui oleh ayahnya.
Setelah puas menangis di balik
bantal. Cipi kemudian membersihkan dirinya, mengganti baju kemudian keluar
menemui ayahnya dan wanita itu. Sekedar ingin tahu bagaimana sosok ibu tirinya
yang ke delapan.
“ayah.” Tatapan ketir Cipi tajam menatap
ayahnya dan wanita itu sedang menonton tivi di ruang tengah.
“duduk-duduk” seru ayah Cipi.
Cipi menurut. Wanita itu menatapnya
dengan tatapan sinis sambil mengisap dalam rokoknya. Bisa anda bayangkan
sendiri bagaimana tatapan sinis seorang pelacur ? yaitulah wanita itu. Wanita
yang cukup mempunyai paras yang cantik sepertinya ia baru berusia 25 tahunan,
langsing, di balutkan dengan riasan yang menarik dari bibir, mata, hingga
pipinya, berambut ikal panjang tergerai yang hitam pirang, dan menggunakan tank
top pink dan blus hitam mengkilat yang matching dengan sepatu high hils
hitamnya yang mengkilat. Bagaimana ? persis seperti gaya
pelacur kan ?
wanita jalang desis Cipi di dalam
hatinya.
Seperti biasa, meja berhamburan
dengan kacang dan berbotol-botol gelas bir. Ayah Cipi sudah pasti dalam keadaan
mabuk. Ya dia selalu mabuk bagi Cipi, karena Cipi tak pernah menganggapnya
waras semenjak kepergian ibunya 3 tahun yang lalu.
“dia sekarang menjadi ibumu” kata
ayah Cipi memecah keheningan.
Cipi tidak terkejut, karena sudah
tujuh kali ia mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya dan ini yang ke
delapan. Kemana perginya para ibu tiri Cipi yang sebelumnya ?
Mereka kabur. Mereka tak akan mampu
hidup dengan suami yang jarang pulang ke rumah. Mereka tak akan mampu hidup
dengan seorang pria kasar yang berani memukul perempuan. Mereka tak akan mampu
hidup dengan sorang pria yang tak berperasaan. Dan mereka tak akan mampu hidup
dengan seorang pria yang tak mampu menjadi SUAMI yang baik.
Cipi hanya tersenyum sinis menatap
kearah wanita yang asik mengisap rokoknya itu sedari tadi. Seberapa kuat kamu bertahan ? batin Cipi terkekeh.
“kapan ayah menikahi dia ?”
“seminggu yang lalu” jawab ayahnya
santai dengan wajah memerah karena mabuk.
“dia akan sama seperti yang lainnya
yah, dia akan pergi, atau kalau ayah bosan ayah akan jual dia ke teman ayah !”
“diam kamu ! kamu bocah yang belum
ngerti apa-apa ! tugasmu hanya diam dan menurut saja ! ayah akan berusaha
menjadi ayah yang baik buatmu !”
“Dengan cara apa ? dengan cara ini
ayah menjadi ayah yang baik buatku ? dengan membawa wanita-wanita jalang ini
dan memperistrikannya kemudian ayah tinggal aku dan dia di rumah ini untuk
berjudi di luar sana
? gak yah ! aku bukan bocah lagi yah, aku seorang anak 15 tahun yang udah
ngerti apa yang ayah lakukan selama ini”
Plaakkkkk!!!!
Tamparan itu melayang di pipi kanan
Cipi dengan sukses. Bekas kelima jari itu memerah di pipinya. Wajah Cipi
seketika memerah, air matanya keluar. Wanita itu terkejut melihat hal yang di
lakukan oleh suaminya. Tapi wanita itu tetap berusaha bersikap datar melihat
yang terjadi di hadapannya.
“sebentar lagi kamu akan terbiasa
melihat segala kejadian yang akan terjadi di dalam rumah ini” kata Cipi
kemudian pergi meninggal ayahnya dan wanita itu. Wanita itu berhenti mengisap
rokoknya. Ia mungkin mencerna baik-baik apa yang di katakan Cipi kepadanya.
Wanita itu hanya diam. Mematung. Jauh di dalam keheningan dunia khayalnya.
***
Dan benar apa yang di bayangkan
Cipi. Ayahnya kembali pergi seperti biasanya. Sudah seminggu setelah kejadian
itu ayah Cipi belum kembali ke rumah. Ia meninggalkan wanita itu di rumah. Cipi
dan wanita itu tak pernah berbicara. Bahkan untuk memanggilnya ibu pun Cipi tak
akan pernah sudi. Mereka hanya tinggal berdua di dalam rumah sederhana itu. Rumah
yang tidak bisa di katakan mewah. Tapi juga tidak buruk untuk di tempati.
Sore itu, Cipi baru saja pulang dari
sekolah. Ia melihat wanita itu duduk di meja makan sambil membuka-buka lembar
demi lembar sebuah buku. Cipi diam. Ia berusaha mengingat buku itu. Tersadar,
Cipi berlari dan merampas buku itu dari tangan wanita itu.
“kembalikan bukuku!” teriak Cipi
merampas buku itu dari meja makan.
Wanita itu terkejut melihat Cipi.
Air mukanya memerah. “kenapa kamu ribut sekali hanya karena masalah buku ?”
“karena buku ini milikku. Dan jangan
pernah sentuh apapun milikku di rumah ini!” teriak Cipi bagai orang kesetanan.
Wanita itu terdiam.
Cipi berlari ke dapur. Kemudian
membuka laci di bawah kompor gasnya dan menyimpan buku itu di dalamnya, di sela
gelas-gelas di dalam laci itu. Kemudian ia pergi dan masuk ke kamar. Ia mampu
habiskan waktu berjam-jam di dalam kamar. Karena ia lebih nyaman berada di
kamarnya. Ia tinggalkan wanita itu di luar sendirian. Bahkan ia tak pernah tau
nama wanita itu siapa. Bisa anda bayangkan bagaimana hidup dengan seorang yang
tidak kita kenal sama sekali ?
***
“Evan sudah jadian dengan Diandra,
Cip” Lirih Leta di sela-sela jam pelajaran Fisika. Kata-kata itu bagaikan petir
di siang bolong. Leta sukses membuatnya hancur lebur dengan seketika. Seluruh
rumus Fisika yang sedari tadi dia hapalkan langsung berubah menjadi puing-puing
kecil di dalam otaknya. Tak berguna. Tak berarti.
“kamu serius ?” Tanya Cipi
memastikan.
“aku lihat mereka berdua gandengan
tangan tadi pagi waktu jalan di koridor”
Cipi menghela nafas panjang. Air
matanya mengucur di sela pipinya. Leta pasti gak akan tau hancurnya
perasaannya. Tapi ia bersukur Leta telah memberitahu hal itu kepadanya.
“a..ku..” Cipi tersendat-sendat untuk bicara.
“sampai kapan kamu kayak gini ?
mengharapkan seorang yang gak pasti akan kembali sama saja kamu bunuh diri”
“a..k..u.. sayang sama dia” Cipi
menghapus air matanya agar tidak kelihatan bu Lara di depan.
“aku tau. Tapi dia ? dia di luar sana bahagia tanpa kamu
Cip. Dia tertawa dengan riangnya dan hebatnya dia sukses membuat kamu jatuh
cinta sama dia kemudian dia pergi ninggalin kamu seenak jidatnya kemudian dia
pacaran sama Diandra. Kamu ingat gak ? dulu kamu jadian sama dia, kamu jadian
sama dia Cuma gara-gara kamu pengen main-main kan selama seminggu. Karna kamu perlu
seseorang yang harus kamu ajak ke pesta ulang tahun Diandra dan supaya kamu
bisa ngebuktiin ke Diandra kalau kamu bisa dapetin Evan yang notabene Evan
adalah orang yang di taksir Diandra saat itu. Dan selama seminggu dia nemenin
kamu. Tapi akhirnya setelah dia mau pergi dan bilang ‘makasih buat satu minggu’
kamu bilang ke dia ‘kalo aku gak mau putus gimana?’ iyakan ? kamu ingat ? ingat
gak gimana pertama kali kamu eneknya sama dia, ogahan pacaran sama dia ?” Leta
menjelaskan panjang lebar untuk membuat Cipi merasa lebih baik. Rasanya mulut
Leta saat itu sudah doer untuk menjelaskan semua hal itu pada Cipi.
“iya aku ingat.” Sahut Cipi singkat.
“kalo kamu ingat caranya, lakukan”
“aku gak bisa Let, kamu ingat gak
kejadian itu udah ketinggalan berapa tahun ? 2 tahun Leta. Aku gak akan mampu
melepas sebuah hubungan yang sudah ku jalani lama banget. Evan sudah membekas
di hatiku. Aku menulis namanya di hatiku sejak aku dan Evan pertama ketemu dan
gak akan mungkin terhapus apalagi terganti” Cipi terisak.
Leta membelai rambut panjang Cipi.
“kamu gak bisa karna kamu gak mau mencoba”
“seumur hidupku aku gak akan pernah
mengganti namanya di hatiku. Evan punya banyak cerita di kehidupanku. Ia sosok
pengganti ayah bagiku. Dia pernah punya peranan besar di hidupku.”
“aku tau. Tapi kalian memang gak
bisa lagi sama-sama. Relakan dia sama Diandra kalau kamu sayang dia. Itu yang
terbaik buatnya”
Cipi berhenti mengucurkan air mata.
Ia berdiri kemudian keluar dari kelas. Ia tak memerdulikan seluruh mata yang
menatapnya. Apalagi Bu Lara yang tentu saja geram dengannya yang nyelonong
keluar tanpa pamit kepadanya. Tapi Cipi tak perduli. Leta yang terkejut dengan
tingkah Cipi langsung menghampiri bu Lara dan mewakilkan Cipi untuk meminta
maaf kemudian menjelaskan apa yang terjadi dengan Cipi. Tentu saja dengan cara
berbohong.
Cipi melangkah ke toilet. Menuju ke
wastafel dan berkaca. Di lihatnya air mukanya. Seperti ini kah aku bila aku sedang hancur ? batinnya lirih. Ia
menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar hancur saat itu juga. Ia merasa telah
kehilangan segalanya. Ia merasa sangat miskin saat itu. Ia mengingat seluruh
canda tawa nya bersama Evan. Kenangan itu tak pernah mungkin terhapus dari memori
otaknya.
Ia
merasa sangat Jauh…
Jauh…
Jauh…
Jauh…
Dari
kehidupannya yang nyata. Angannya kali ini terbang mengangkat jiwanya. Cukup
sakit yang ia tanggung sendiri kali ini. Begitu menyiksanya. Petir bertubi-tubi
menimpanya.
Aaaarrrrrrrrrrrrrrgggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhh
!!!!!
Breeennngseekkkkkkkkkkk
kamu !!!! Bajingan kamuuu !!!!!!
teriaknya dari dalam toilet ia meraung, tangisannya mungkin terdengar sampai ke
thailand.
Tapi hanya keheningan yang menjawabnya. Tak ada yang perduli sehancur apa dia
sekarang karena orang lain punya kisahnya masing-masing dan tak akan perduli
bagaimana kisahnya.
***
Cipi membuka pintu rumah. Matanya
yang sembab tak ia tutupi. Ia melangkah dengan hampa, beranjak menuju kamarnya.
Tapi belum sampai ia ke kamarnya, ia melihat ibu tirinya itu sedang memegang
sebuah jarum suntik. Ingin menyuntikkan dirinya. Dan Cipi sangat tahu itu
adalah narkoba.
“Sialaannnn !” dengan sigap Cipi
merampas jarum suntik itu dari tangan ibu tirinya. Di lemparnya jarum suntik
itu jauh ke depan. “sialan !!! kamu adalah pecandu ! wanita hina !!! sekarang
kamu pergi dari sini ! pergiii !!!!” Teriak Cipi histeris.
“ini gak seperti yang kamu pikirkan”
lirih wanita itu. Wajahnya pucat. Berkeringat.
“tapi aku tahu yang kamu pikirkan !
sekarang kamu pergi !!! pergii !!!” teriak Cipi ke dua kalinya. Wajahnya
memerah. Sinar matanya berubah geram.
Wanita itu tak menyahut Cipi.
Perlahan wanita itu melemah. Kemudian tak bergerak. Wanita itu pingsan.
Cipi terdiam mematung melihat
kejadian itu.
***
“maafkan aku” kata wanita itu saat
berdiri di kasir sebuah supermarket.
Cipi hanya diam. Ia sedang membayar
beberapa belanjaan untuk keperluan bulan ini.
“tidak, buat apa aku minta maaf.
Kamu sudah membuang suntikan insulin ku” katanya lagi.
Cipi memandang ke arahnya. Tajam.
“ayo kita pulang” kata Cipi. Wanita itu kemudian menurut mengikuti Cipi.
Beberapa waktu kemudian mereka
berdua sampai di rumah. Cipi melepas jaketnya. Kemudian duduk di atas meja
makan, membuka laptopnya untuk sekedar online. Wanita itu duduk memojok di
ujung ruangan. Memeluk kakinya dengan wajah yang pucat. Ya, semenjak dia
tinggal di rumah dengan Cipi, sepertinya wanita itu sangat tertutup. Ia sangat
jarang berbicara. Seenaknya pergi dan kembali. Tapi kian hari dia kian kurus dan
pucat.
“Cepat pergi saja kamu dari sini.
Kamu hanya merepotkanku” Seru Cipi dengan mata memandang masih ke laptopnya. Ia
tak pernah menghilangkan kebiasaan itu. Berbicara dengan tak menatap lawan
bicaranya.
Wanita itu hanya diam. Masih memeluk
kakinya di bawah.
“kalau aku jadi kamu. Aku akan
pergi. Kemana saja. Dari pada aku merepotkan orang lain. Itu kalau jadi aku”
kata Cipi ke dua kalinya.
Wanita itu tetap diam mematung.
Sepertinya ia menahan rasa sakit.
“kamu bisa pergi ke tempat ibumu ?”
saran Cipi.
“aku gak punya ibu” jawabnya lirih.
Cipi berbalik menghadap wanita itu.
“gak mungkin, setiap orang mempunyai ibu. Ibu yang melahirkan kamu”
“dia yang melahirkanku. Tapi
keesokan harinya dia membuangku” jawabnya. Jawaban itu menggetarkan hati Cipi.
Cipi mulai iba melihat wanita itu.
“namamu siapa ?” Tanya Cipi. Khirnya cipi bertanya setelah dua minggu.
“angela, panggil saja aku angel”
“oh” Cipi kembali berbalik
melajutkan kegiatannya.
“kamu sudah sering di pukuli ayahmu
seperti waktu itu ?” tanyanya. Membuat Cipi terdiam.
“iya” jawabnya setelah beberapa saat
dengan tubuh yang membelakangi angel. “kamu akan terbiasa” sambung Cipi.
Bbrraakkkk
Suara pintu di buka dengan kasar.
Angel dan Cipi terkejut. Tapi Cipi tahu siapa yang datang. Ayahnya.
Ayah Cipi berjalan masuk dengan
sempoyongan. Wajahnya yang mulus putih, memerah karena mabuk. Cipi dan Angela
menatapnya tajam. Dia tersenyum “akhirnya aku bisa menjadi ayah yang baik”
katanya.
Ayah Cipi pulang dengan membawa uang
banyak. Ayahnya kemudian menelpon delivery dan memesan makanan yang banyak.
Mereka bertiga pun duduk di meja makan dan menyantap makanan hasil judi yang di
menangkan ayah Cipi.
“bagaimana ibu barumu ?” Tanya
ayahnya.
Cipi hanya diam. Terus memakan
makanannya.
“baik atau tidak ? atau kamu mau
ayah mengusirnya ?”
Cipi dan Angela saling tatap
sebentar. Kemudian kembali menyantap makanannya.
“oh baiklah, kita sedang makan.
Memang tidak boleh bicara kalau sedang makan.” Kata ayahnya lagi.
Angel dan Cipi terus makan tanpa
menghiraukan ayah Cipi. Ayah Cipi yang merasa gusar karena tidak di perhatikan
kemudian pergi ke dapur dengan niat mengambil minum. Ia membuka laci di bawah
kompor gas untuk mengambil gelas. Tapi ia menemukan sesuatu. Ia menemukan
sebuah buku cerita dari dalam sana.
Air mukanya langsung berubah geram saat melihat buku itu.
“Cipi !!!” teriaknya dari dalam
dapur.
Cipi diam sejenak mencerna teriakan
ayahnya.
“Cipi !!!” teriak ayahnya ke dua
kalinya.
Cipi menghela nafas panjang kemudian
beranjak dari tempat duduknya untuk menghampiri ayahnya di dapur. Angela hanya
menatap Cipi dengan perasaan tak enak.
“Sini kamu !” teriak ayahnya sambil
menarik rambut Cipi dengan kasar.
“auu, auuu ayah sakit” lirih Cipi.
“ini apa yang kamu simpan ini ? buat
apa kamu masih nyimpan-nyimpan ini !”
Cipi melihat buku cerita peninggalan
ibunya berada di tangan ayahnya. “ayah kembalikan” pinta Cipi.
“gak akan, buat apa kamu
nyimpan-nyimpan ini. Dia itu sudah mati ! ibu kandungmu itu sudah mati !”
teriak ayahnya makin keras menjambak rambut Cipi. Cipi hanya dapat mengeluarkan
air mata. Kemudian ayahnya melempar tubuh Cipi hingga jatuh mengenai lemari
yang ada di depannya. Cipi tersungkur tak berdaya, bibirnya mengeluarkan darah
dan mata kanan yang lebam membiru. Ayahnya kemudian menyalakan kompor kemudian
membakar foto ibu Cipi diatas kompor. Cipi tak sempat menyelamatkan foto
ibunya. Tapi ia berdiri ingin merampas buku cerita dari tangan ayahnya.
“tidak, semuanya harus lenyap ! ibu
kamu sudah meninggal !” teriak ayahnya.
“jangan yah, itu satu-satunya
kenang-kenangan dari mama yah !” Ringis Cipi, sambil menahan sakit. Ia mencoba
mengambil buku itu, tapi ia tak cukup kuat untuk melawan tubuh kekar ayahnya.
Ayahnya menangkisnya hingga tubuh nya terpental ke rak piring dan memecahkan
piring-piring diatasnya hingga melukai Cipi.
“gak yah, bagiku mama masih hidup !
mama masih ada, dan saat aku buka buku itu aku merasa mama dekat denganku !”
Mata ayah Cipi geram menatap tajam
ke arah Cipi. Dirobek-robek nya buku itu kemudian dijambaknya rambut Cipi
hingga Cipi berdiri. “katakan sekali lagi !” teriak ayahnya.
“mama masih hidup!” teriak Cipi
menangis.
“sialan kamu !” Ayah Cipi menampar
Cipi. “katakan kalau ibumu sudah mati !”
Cipi diam. Semakin dia diam ayahnya
makin menghujamnya dengan pukulan-pukulannya. Wajah Cipi lebam. Dengan darah
segar yang mengalir dari hidung dan bibirnya.
“katakan kalau ibumu sudah mati !”
teriak ayahnya kelima kalinya.
Cipi sudah terlalu lelah. “mama
sudah meninggal” lirih Cipi dengan isak tangisnya.
Tawa ayahnya membahana seisi rumah.
Angel hanya meringkuk di ujung ruangan mendengar perkelahian seorang anak dan
ayah di dapur.
“sekarang, pelacur itu yang menjadi
ibumu ! dialah ibu mu ! panggil pelacur itu ibu !” teriak ayahnya di depan Cipi
yang tersungkur tak berdaya di lantai.
Cipi hanya diam mengerang sakit.
“panggil pelacur itu ibu sekarang
juga !” ayahnya menjambak rambutnya kembali.
“mama” lirih Cipi. Ia benar-benar
tak mampu menahan sakit di sekujur tubuhnya yang babak belur akibat hantaman
ayahnya. Akhirnya ia berhenti melawan ayahnya. Ia turuti semua perkataan
ayahnya.
“sudah Cukup, brengsek ! bajingan !
jangan kamu sentuh dia lagi !” Angela menghambur ke dapur. Ia menghantam
suaminya itu. Tapi ia tak Cukup kuat untuk melawan suaminya. Akhirnya nasibnya
sama seperti Cipi. Tersungkur tak berdaya dengan wajah lebam dan darah segar
yang keluar.
***
“Dia pergi kemana ?” Tanya Cipi.
“judi lagi” jawab angel.
Cipi bergegas mengambil tas dan
kemudian melangkah keluar rumah dengan niat pergi sekolah.
“dengan wajah lebam seperti itu akan
sangat memalukan buat kamu untuk berangkat sekolah” Kata Angel Ketir.
“lebam ini tak akan bisa di tutupi
oleh make up apapun” sahut Cipi. Ia kemudian pergi meninggalkan Angel dengan
wajah yang lebam membiru di mata kanannya.
Angannya menerawang jauh selama
perjalanan. Aku orang yang paling
menyedihkan di dunia, batinnya bergejolak. Mulai dari ayah yang tak waras
dan Evan yang kini menyakitinya. Semua ini ia tanggung sendiri. dua masalah
yang sekaligus menerpa dunianya. Hidupnya tak tenang.
Tuhan
gak adil ! kenapa harus aku yang menanggungnya sendirian ? kenapa ? kenapa
harus aku ? teriaknya di hatinya.
Dan kejadian lain sukses membuat
hatinya hancur lebur. Evan dan Diandra sukses membuatnya makin dalam terpuruk
ke dunianya.
“aku sayang banget sama kamu” Evan
menatap mata Diandra di depan mobil Evan dengan tangan yang bergandengan. Mata
Cipi membelalak tak berkedip melihat kejadian itu di depan matanya. Hatinya
hancur seketika. Dia merasa sangat jauh.
Cipi berlari meninggalkan mereka.
Melangkah menjauh. Air matanya terus berlinang di sela-sela pipinya. Ia menyapu
air matanya itu sambil berlari di koridor sekolah. Ia tak memperdulikan seluruh
mata yang menatapnya dengan tatapan aneh. Leta di depan kelas menghadangnya
dengan wajah khawatir. Ia menghambur kearah Leta dengan isak tangis yang tak
mampu ia tahan lagi. Leta membelai rambut panjang Cipi.
“a..k..uu” isaknya dengan kata yang
tersendat.
“udah-udah, aku tau yang kamu lihat
apa” Leta berusaha menenangkan Cipi.
Cipi tak mampu lagi berkata-kata.
Hidupnya sukses hancur lebur. Evan sukses mengubah hidupnya menjadi serpihan
kepedihan yang membuatnya terduduk lemas di depan kelas. Mengenang kejadian itu
membuatnya mati rasa. Kini lebam di mata kanannya menjadi kian parah karena
isak tangisnya. Dunianya terasa sangat sempit. Ia bahkan tak mampu bernapas.
“maafkan aku” bisik seseorang lirih
di telinganya.
Cipi berbalik mencoba mencari arah
suara itu. Ia menatap mata coklat itu. Mata yang benar-benar menunjukan bahwa
Evan ada di sana
bersama Diandra.
Evan menatap Cipi dalam.
Cipi tersenyum “kecewa itu adalah
dimana saat seorang melihat orang yang ia sayangi mengingkari janjinya di depan
matanya sendiri, hancur itu adalah di mana saat aku melihat kamu dan dia
membuatku terduduk lemas di depan kelas. Sakit itu dimana saat seseorang
menyayangi seseorang yang menyayangi orang lain. Tapi pedih itu dimana aku
mengetahui kamu memperkenalkan rasa itu ke aku dan kemudian pergi seenaknya
seolah kamu gak pernah berkata apa-apa ke aku” Desis Cipi menghentikan isaknya.
Seluruh mata menatap kearah mereka.
Diandra tersenyum sinis menatap
Cipi. Itulah senyum kemenangan. Senyum yang ia tunjukan untuk Cipi. Ia
berhasil. Sangat berhasil.
“jaga cewekmu baik-baik, kalau gak
dia akan jadi mesin pembunuh masal” Cipi menatap tajam kearah Evan. Kemudian
Cipi berdiri dan mengambil tasnya. Ia melangkah meninggalkan Evan.
Evan hanya mematung melihat
kepergian Cipi. Ia tak menyangka, hidup Cipi lebih mengerikan daripada yang ia
kira. Hidup Cipi sangat hancur dan kali ini dialah yang menghancurkan Cipi. Air
mata Cipi sanggup menceritakan tentang hidup Cipi lebih banyak dari pada
penjelasannya.
“aku menyesal” Lirih Evan. Tapi Cipi
tak akan pernah mendengar. Karena ia tak pernah ada.
-The End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar