Cerpen horor pertama, yang gak ada serem-seremnya, maklum ya, masih amatir :"D
check this out!
Mataku menyapu
sekeliling sekolah sebelum aku melangkah masuk ke dalam gerbang sekolah ini.
Sekolah yang berdiri angkuh dengan tiang-tiang yang seperti tak akan pernah
rubuh walau di terpa angin badai tornado dari negeri antah berantah. Aku
menatap ke segala arah. Kemudian menarik nafasku dalam sambil berdoa di dalam
hati berharap aku akan baik-baik saja hari ini berada di sekolah ini. Aku
beragak seperti seorang anak baru, padahal aku sudah sekolah disini setahun
yang lalu. Aneh bagiku rasanya, aku tak merasa nyaman sekolah disini. Makanya
setiap hari aku merasa menjadi anak baru di sekolah ini.
Satpam
sekolah tersenyum lebar kepadaku saat aku memasuki gerbang sekolah. Aku hanya
menatapnya sinis, sama sekali tak membalas senyuman satpam sok charming itu.
Dia memang ramah, hampir setiap hari saat aku mau melangkah masuk ke sekolah
ini, dia selalu menyambutku dengan senyum manis yang memamerkan sederet gigi
mencilingnya. Mungkin gigi-gigi itu kian hari kian bertambah panjang. Tapi
entah kenapa ngilu sekali rasanya untuk menarik ujung bibirku dan tersenyum
kepada warga sekolah ini.
Aku
tidak tahu. Bagiku ini sebuah mimpi buruk. Kira kira setahun yang lalu aku
menginjakan kaki ku di sekolah ini sebagai seorang anak baru. Entah apa yang
membuatku memilih sekolah ini. Tapi inilah yang terjadi pada hidupku sejak setahun
lalu. Hidupku berantakan.
Wait,
tapi ada satu hal yang membuatku bertahan untuk tetap berada di sekolah ini …
Seorang
laki-laki berperawakan sedang dengan tubuh hitam manis melangkah melewati
lapangan basket dengan angkuhnya. Matanya tiba-tiba mengarah ke arahku kemudian
menyunggingkan senyum manisnya itu.
Dia…
Dialah hal yang
membuatku tetap bertahan disini. Hal yang lebih menarik dari segala hal di
sekolah ini. Hal yang lebih menarik dari ulangan. Hal yang lebih menarik dari
pelajaran bahasa inggris. Aku bahkan tak tau kenapa aku bisa sangat
menyayanginya.
“Tata
!” serunya membuyarkan ku dari lamunanku.
Aku
hanya tersenyum tipis kaku menatapnya. Ia melangkah mendekatiku. Seperti ingin
menyapaku. Aku selalu bersiap untuk menyambutnya dengan senyum semanis mungkin.
“ya” jawabku singkat padat jelas dan tentunya sangatlah berisi.
“tumben
pagi datangnya ?”
Aku
langsung melongo mendengar pertanyaan tolol itu keluar dari mulut laki-laki
semanis dia. Cowok bernama Edgar ini. Aku langsung menarik nafas dalam-dalam dan
panjang-panjang. “gak tidur” jawabku singkat. Perlukah di bahas aku hari ini
bangun pagi ? tanyaku dalam hati.
Dia tertawa. Mengacak-ngacak rambutku seperti
biasa. Dan satu lagi menarik hidungku. Dia selalu lakukan itu tiap pagi. Entah
ritual, atau apa. Dia tak pernah absen lakukan itu tiap menyapa ku pagi hari di
sekolah. Sepertinya hidungku semakin hari semakin mancung saja. “kenapa kamu
suka banget narik hidung ku !” pekik ku.
“ya…”
Aku
menatapnya tajam.
“ya
karna aku suka” dia tertawa lebar seperti lolongan ayam di pagi hari.
“sarap”
desis ku. Dia hanya tertawa.
***
Sekolah
ini bukannya sekolah satu-satunya yang ada di kotaku. Di kotaku masih ada
sepuluh sekolah ternama yang perlu ku catat untuk bisa di jadikan pilihan, tapi
tentu saja tidak termasuk sekolah ini. Entah hanya aku saja merasakan ini atau
masih ada teman-temanku yang lain merasakan hal ini, aku tidak perduli karna
itu bukan urusanku. Ya ku akui sekolah ini menyimpan pemandangan yang mungkin
cukup untuk membuat mata ini menambahkan vitamin A karena berada di tengah
sawah. Ya, tengah sawah. Bisa kalian bayangkan bagaimana setiap pagi kita melihat
sekeliling kita hanya sawah, hijau. Atau mungkin pada saatnya nanti menguning.
Di belakang sekolah ini terdapat hutan yang cukup lebat, aku selalu saja
membayangkan hal yang tidak-tidak jika menatap menghadap hutan itu saat menatap
keluar jendela kelasku. Yah, aku ini seorang yang sangat suka berkhayal, tapi
terkadang khayalan dan imajinasi ku itu bisa di luar batas kesadaranku dan aku
yakin ini bukan indra ke-enam. Ini hanya sebatas khayalan gadis remaja biasa,
aku selalu berfikir seperti itu karna aku adalah orang yang paling takut menghadapi
kenyataan dan masa depan.
Sekolah
ini mempunyai banyak perbedaan tidak seperti sepuluh sekolah yang perlu di
catat yang aku katakan tadi. SMA Bumi Prima 2, begitulah sekolah ini di sebut.
Sekolah ini berbentuk memanjang karena lahannya yang cukup luas, dan aku yakin
jika malam tiba sekolah tak mempunyai penerangan yang cukup, tapi untuk urusan
fasilitas sih ya masih bisa di katakan oke, karna saking luasnya sekolah ini
punya banyak ruangan dan lengkap tapi ini yang terkadang membuat ku cape jalan,
soalnya jauh. Berbicara soal sawah, tentunya sawah mempunyai satu hal yang
sering sekali kita lihat, benda ini di pasang untuk menakut-nakuti ular, tikus
atau hama apapun jenis dan spesiesnya yang akan mengganggu padi. Ya,
orang-orangan sawah. Tak ada bedanya dengan sawah-sawah yang lain, sawah modern
atau pun sawah primitif, sawah di sekolah ku pun sama adanya, berjejer berbagai
macam dan jenis orang-orangan sawah. Ini lah yang selalu mengganggu kenyamanan
hidupku berada di sekolah ini. Aku sangat takut dengan jenis boneka yang
menurutku sangat mirip dengan jenglot raksasa itu dan aku harus melihat jenglot
raksasa itu tiap hari, tiap pagi, siang sampai sore, selama tiga tahun aku
bertapa di sekolah ini. astaga! Ini mimpi buruk. Dan sebelum aku mendaftar di
sekolah ini, aku tidak tahu bahwa sekolah ini mengoleksi jenglot raksasa itu di
setiap sudut, tengah, samping kiri dan kanan sekolah itu. Akhirnya akulah yang
harus membiasakan diri untuk menyapa jenglot raksasa itu setiap hari, yang
benar saja ? Cukup, ku rasa ini Cuma perasaanku saja, mungkin saja Cuma aku
yang terlalu banyak berkhayal. Tapi, ya tetap saja aku takut dengan boneka !
“setelah
ini pasti mikirin kenapa jenglot raksasa itu gak terbang aja jadi malaikat di
surga dengan memakai sayap berbulu ? Hahaha” seseorang menyentak ku dari
lamunan panjangku di depan kelas. Sepertinya ia memang tahu apa yang sedang aku
pikirkan.
“Sotoy
sih” kataku menampik tebakan Edgar. terkadang cowok ini tahu dan mengerti apa
yang aku rasakan. Mungkin yang aku pikirkan juga. Ku kira cowok ini punya indra
ke enam, karna ia bisa saja tepat menebak isi kepalaku yang menghasilkan
kata-kata konyol dan seperti otak orang sakit jiwa.
Edgar
mengangkat alis kanannya. “bener kan ? hahaha” Edgar tertawa dengan tawa
khasnya sambil menarik-narik hidungku. Ia selalu lakukan itu, entah kenapa ?
Aku menatap
air muka Edgar. Tawa itu begitu manis. Sudah 2 hari aku tak melihat sederet
gigi-gigi menciling cowok ini. tawa ini yang selalu membuat ku bertahan untuk
tetap ada. Aku selalu saja mengelak dari tuduhan batinku. Mengingat Edgar saja
sudah cukup bagiku. Tapi kadang cowok ini hilang entah kemana, sesekali datang
menyapaku kemudian hilang entah kemana, kemaren datang memberikan sekotak kue
brownies lalu hilang lagi. Tapi ia selalu datang juga dengan sms-sms singkatnya
yang selalu membuatku tersenyum sendiri jika membacanya. Seperti beberapa hari
yang lalu, aku benar-benar tidak tahu Edgar berada dimana, tak ada kabar
seperti biasa, dering hapeku Cuma isinya broadcast message semua. Kemudian
ketika malam datang, aku ingat sekali itu jam 22.10 karna mataku saat itu belum
juga tertutup. “aku ada di bandung nih, ada urusan mendadak. Laporan selesai,
hehehe” aku tersenyum menatap layar hapeku. Singkat, tapi selalu bisa mengubah
agenda hidupku.
Tet-tet-tet
Bel
tanda masuk berbunyi. Sialan, desisku
dalam hati. Setelah ini kelas Kimia. Bagiku neraka akan di mulai beberapa saat
lagi.
Aku
gak pernah habis pikir kenapa kimia di masukan dalam materi kelompok belajar
IPA. Secara logika, apa gunanya menghitung atom-atom kecil yang gak bisa di
lihat oleh mata telanjang itu ? itu adalah satu hal yang menurutku bisa di
deskripsikan dengan kata “kurang kerjaan”. Rumus kimia itu pun bertele-tele
sekali, terlalu banyak peraturan dengan dinamika-dinamika yang di buat-buat
oleh para ilmuan “kurang kerjaan” itu. Seandainya para ilmuan itu tidak “kurang
kerjaan” pasti di jaman se-modern ini, jaman di mana semua hanya dipikirkan
melalui logika bukan hitung-hitungan atom sialan itu. pasti tidak akan ada yang
namanya Kimia. Sungguh sangat ku sesalkan hal ini sampai terjadi.
Aku menatap Nanar ke arah Lisa yang melangkah
ke arahku, entah dari mana anak itu, baru saja aku melihatnya.
“baru
kelihatan ?” tanyaku.
“habis
makan di kantin, kamu kan di kelas terus makanya gak liat kan ?” jawab Lisa
sembari duduk di bangku sebelahku.
“oh”
jawabku datar.
“this
is kimia class time, Ta” Lisa tergelak menatapku yang memanyun sedari tadi. Itu
wajar, karna dia sangat tahu aku sangat membenci pelajaran yang ku laknat dari
kehidupanku itu. Aku sangat goblok dalam pelajaran ini. seluruh hal yang di
jelaskan Bu Muria di depan dengan bahasa standar para guru kimia pun tetap
tidak bisa ku pahami. Seperti bahasa
alien, gerutu ku tiap pelajaran ini berlangsung. Ingin saja molekul-molekul
atom tak jelas itu ku musnahkan dari bumi ini, tapi itu tak mungkin ku lakukan.
“jam-jam
yang buruk” kataku pada Lisa sambil melihat Bu Muria masuk dan duduk di meja
guru bersiap menjelaskan pelajaran “kurang kerjaan”. Aku kemudian membuka catatan
kimia ku yang isinya hanya sketsa-sketsa dan gambar-gambar imajinasiku yang ku
tuangkan di dalam buku ini, mengisi kekosongan dan kebosanan dalam dua jam
pelajaran kimia. Ya, aku memang suka melukis. Aku bersyukur di berikan bakat
yang tidak semua orang bisa miliki ini, aku mampu melukis wajah seseorang
dengan hasil yang mirip sekali dengan aslinya. Terkadang aku hanya
mengimajinasikan wajah seseorang dan aku sudah mampu melukisnya di dalam
bayanganku itu. Tapi yang tahu aku bisa lakukan hal ini Cuma beberapa teman di
kelasku dan…Edgar..
Mataku
menatap keluar kelas yang menghadap ke sawah. Tiba-tiba Edgar melintas dengan
gaya khasnya yang membuat mataku seolah di halangi untuk berkedip. Aku kemudian
berhenti mencoret-coret buku catatan kimia ku, mataku menyapu ke depan kelas,
kemudian aku menopang daguku dengan tangan kananku dan tersenyum sendiri sambil
menatap bekas bayangan Edgar yang melempar senyumnya padaku sesaat yang lalu.
Wajah cowok manis ini yang selalu membuatku bertahan di sekolah ini. dia punya
perawakan yang sedang, dengan mata teduh yang indah dan selalu punya senyum
yang mengagumkan. Dia punya gaya sendiri. Tapi aku selalu saja menampik
perasaan ini. aku tak pernah mau berlalu dengan perasaan yang tak jelas seperti
ini. entah apa yang salah dengan ini semua ? sudah jelaskan ? sudah ku jelaskan
semua. Edgar memang bukanlah pacarku dan aku yakin ia hanya menganggap semua
ini biasa, sama seperti yang ia lakukan dengan perempuan lain. Bisa saja ? tapi
aku begitu merasa dekat dengannya. Berbeda. Tapi tetap ! aku tak mau berlalu
dengan perasaan ini. aku tak mau ke Ge-Eran dengan semua ini. aku selalu
berusaha.
“dari
soal tersebut tentukanlah elektron valensi-nya ? Tata !” sentak Bu Muria di
depan kelas membuyarkan seluruh lamunan ku.
Aku
terdiam menatap ke depan. Tubuhku mulai di tumbuhi keringat-keringat tak
beraturan. Sialan, guru ini sepertinya
tidak senang sekali melihat anak muridnya sedikit bahagia, atau hari ini aku
memang sedang sial sampai-sampai di berikan pertanyaan sialan ini, arggghhhh !
batinku berteriak dan meronta bahwa aku gak ngerti.
“ng…gak..gak
ngerti bu” jawabku getir setengah mati.
“terus
ngapain aja kamu dari tadi senyum-senyum sendiri ?”
Seluruh
mata di kelas menatapku seolah menertawaku. Pastilah mereka berfikir betapa
dongonya aku saat itu. Aku hanya menghela nafas panjang, aku tidak perduli lagi
dengan urat malu ku saat ini.
“gak
ada apa-apa bu”
“apa
kamu ngantuk ? kalau kamu ngantuk silahkan ke toilet sana mencuci mukamu dan
kalau perlu mencuci otakmu itu yang mungkin sudah berdebu karna pikiranmu yang
kotor sekali” tegas Bu Muria.
Guru “kurang kerjaan” sialan. Desisku
dalam hati.
Plaakkkkkkkkk ! aku memukul mejaku
dengan telapak tanganku dengan brutal. Seluruh mata menatap ke arahku dan aku
sudah tidak perduli.
Tanpa banyak bacot aku
berdiri dari tempat dudukku dan kemudian tanpa permisi aku langsung keluar dari
kelas. Aku yakin guru itu akan mengerti aku sangat tidak suka dengan
kata-katanya. Aku tak menyangka guru itu ternyata membenciku lebih dari yang aku
tahu. Aku menatap Bu Muria tajam, nanar mataku mengeluarkan tanda kebencian
dalam. Aku sudah tak perduli nilai ku akan di gencetnya atau tidak, yang aku
tahu dia adalah guru yang tak punya sopan santun dalam bicara. Padahal selama
ini Bu Muria terlihat baik-baik saja padaku, entah apa yang telah terjadi ?
hari ini membuat semuanya berubah bagiku. Aku makin membenci pelajaran laknat
itu.
Aku melangkah tanpa
arah kali ini, aku tak tahu ingin pergi kemana. Koridor sangat sepi karna jam pelajaran
masihlah berlangsung. Entah kenapa saat ini aku merasa koridor ini sangatlah
panjang dan aku sangat lelah untuk melangkah.
Plaakkkkkk !
Tiba-tiba seseorang
menepuk bahuku dengan kencang membuatku spontan menoleh dan langsung ingin
menyemburnya dengan makian ku yang tak berujung, karna mood ku sedang berada di
ujung jurang saat ini.
“Lisa ? ngapain
kamu disini ?” aliran darahku yang meninggi seketika turun dan berubah menjadi
perasaan dongo ketika melihat Lisa disini.
“aku keluar juga
dari kelas mau ngikutin kamu” katanya polos.
“bodoh ! gimana
caranya ?”
“aku minta izin ke
toilet, padahal aku gak bakal balik-balik lagi hehehe” jelasnya.
Uratku rasanya
kendor semua setelah mendengar penjelasan Lisa. Teman ku ini memang sangat baik
padaku, di saat-saat aku seperti ini dia selalu saja berusaha ada walaupun dia
mengorbankan semua waktunya. Lisa memang teman yang ku rasa satu-satunya
mengerti aku sekolah disini sejak pertama kali aku menginjakan kaki di sekolah
ini. aku sangat menyayanginya bagaimanapun dia.
Aku menatap Lisa
sangat dalam. Lebih dalam dari biasanya karna aku menangkap sesuatu tapi aku
tidak tahu apa yang ku tangkap.
“hey, jadi jadwal
kita bolos pertama kemana nih ?” Tanya Lisa melambai-lambaikan tangannya di
depan kedua mataku berusaha membuyarkan lamunanku.
“oh eh, kita ke
perpustakaan aja, sekarang kan masih jam pelajaran, pasti sepi, aku mau
nenangin pikiran” jelasku sedikit terkejut awalnya.
“jangan deh,
temenin ke wc duluan yah, aku kebelet pipis beneran nih Ta hehehe” pinta Lisa.
“iya deh, aku
temenin” padahal aku sangat malas.
Lisa kemudian
menggandeng tanganku melangkah melewati koridor yang samping-sampingnya di isi
oleh mading tak terurus yang sangat aku prihatinkan menuju ke bagian yang
menurutku ujung sekolah, ya, hebatkan ? toilet di letakkan di ujung sekolah.
Kami para warga sekolah sebenarnya ingin protes kenapa toilet harus di letakkan
paling ujung dekat dengan laboratorium biologi yang di ujung juga dan
ujung-ujung ini lah yang selalu membuatku parno, bukan aku saja setiap orang
parno untuk ke toilet sendiri, karna selain jalannya jauh tapi juga sepi dan
kami tidak punya pilihan toilet alternative lain di sekolah ini kecuali kami
semua bersedia membawa pispot masing-masing dari rumah dan itu sangatlah tidak
lucu untuk ukuran anak kelas dua esema.
Sepanjang koridor
benar-benar sepi kali ini, aku melihat sekelilingku tak ada orang, semua masih
belajar. Entah saja tiba-tiba aku merasa ada yang mengikutiku dan Lisa sedari
tadi tapi ku abaikan karna ku rasa itu hanya perasaanku saja.
“tungguin di luar
yah, ingat yah jangan lupain aku, aku di dalam” kata Lisa dengan seribu gaya
kepolosannya.
Aku hanya
mengangguk saja, tak merespon kata-katanya karna aku asik berkutat dengan
pikiranku yang sedang amburadul sekali saat ini. Lisa kemudian masuk dan mengunci
pintunya.
Aku duduk di bangku
panjang yang di letakkan di depan toilet sambil menunggu Lisa. Aku melihat
sekelilingku yang di penuhi tumbuhan kuning yang sebentar lagi sudah bisa di
panen itu menurutku.
Aku benar-benar
menjadi merasa sendirian saat duduk di depan toilet itu sendirian, aku tidak
habis pikir, sekolah ini seakan tak berpenghuni padahal ini baru menunjukan
pukul 10.30 di jam tanganku. Aku menatap sekelilingku dengan tatapan was-was,
perasaanku sungguh tak enak.
Mamaaa…
Suara berat itu
terdengar di gendang telingaku. Samar-samar.
Mamaa….
Makin jelas suara
samar-samar itu terdengar berubah. Semakin jelas merasuk ke dalam telingaku.
Aku menatap ke sekelilingku, dengan cepat aku menoleh ke toilet tempat Lisa
masuk barusan, tapi Lisa belum menampakkan tanda-tanda keluar toilet.
Mamaa…
Suara itu terdengar
lagi. Suara berat. Suara seorang gadis meneriakkan nama mama tapi terdengar
sangat berat seperti menahan tangis. Aku berdiri dari tempat dudukku kemudian
mencari-cari asal suara itu, mataku menyebar keseluruh penjuru. Tapi, benar.
Tak salah lagi. Tak ada siapapun disini kecuali aku dan Lisa yang berada dalam
toilet. Tapi aku yakin ini bukanlah halusinasi ku semata.
Mamaa…
Ini suara ke empat
yang di keluarkan gadis itu. Aku makin gelisah, telinga ku menuju ke
langit-langit koridor yang menghubungkan dengan toilet ini, suara itu berasal
dari situ, entah kenapa perasaanku berkata begitu. Aku menatap langit-langit
koridor itu, tapi setelah itu tak ada suara lagi, bulu kudukku merinding, aku benar-benar
takut kali ini, ini serius! Ini tidak main-main! Aku sungguh mendengarnya,
suara itu ada.
Kegelisahanku tak
berujung saat Lisa tak juga keluar dari dalam toilet. Ini sudah lebih dari 15
menit Lisa berada di dalam sana. Bagaimana bisa dia begitu betahnya bertahan di
dalam toilet yang menurutku, naujubilah harumnya semerbak itu.
Aku kemudian
melangkah menuju pintu toilet Lisa, dan berniat menggedor Lisa yang sangat
betah berada di dalam sana.
“Lisaa !” dordordor “Lisa!Lisa! lama banget sih
gak keluar-keluar, ngapain di dalam?” dordordor.
Aku terus saja
menggedor Lisa. Perasaanku benar-benar tak enak berada disini. Tapi Lisa tak
juga menyahut.
“Lisa! Lisa!”
pekikku makin menjadi. Aku benar-benar panik ingin segera berlari dari tempat
ini. tapi tetap tak ada sahutan dari Lisa.
“Lisa !” teriakku
makin panik. Tapi masih tak ada sahutan. Tak mungkin Lisa tak mendengar suaraku
yang sekeras ini, dan menurutku masih dalam frekuensi dan radius yang kurang
dari satu meter.
Brakkkkkkkk!! Aku mendobrak pintu toilet dengan kakiku.
Aaaaarrrrrrrrrrrrrrhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!
Aku berteriak
sejadi-jadinya. Air mataku tak sanggup ku bendung lagi. Aku benar-benar takut.
Apa yang barusan ku lihat ? apa ? apa ! tidak ada. Lisa tidak ada !
“Lissaaaaa !!!!!!”
Lisa dimana ? Lisa
dimana ? jawab aku !
Lisa tidak ada di
dalam toilet dan toilet masih terkunci. Dari mana Lisa keluar ? aku benar-benar
tak habis pikir apa yang sedang terjadi padaku. Sekarang yang aku pikirkan aku
hanya berharap aku hanya sedang bermimpi buruk dan sebentar lagi terbangun. Aku
sangat yakin, 15 menit yang lalu Lisa masuk ke dalam sini dan sekarang Lisa
tidak ada dengan pintu toilet yang masih terkunci. Ini ternyata bukan mimpi
burukku, ini kenyataanku.
Aku berlari secepat
mungkin meninggalkan toilet, melewati koridor yang sangat sepi itu sekarang
sendirian tanpa Lisa. Aku menangis sejadi-jadinya karna ketakutanku, otakku
buntu tak terarah sekarang, sukses!
Seluruh mata
menatapku yang sedang menangis sambil berlari saat melewati kelas-kelas yang
berada di koridor belakang. Mereka semua berdiri. Aku berteriak sejadi-jadinya,
melewati koridor, aku tak tahu harus berlari hingga mana. Tak hentinya mataku
mengeluarkan air mata. Bahkan sekarang seluruh sekolah sukses ku buat terperangah
karena ulahku.
Brraaakkkkk !
Aku menubruk
sesuatu hingga aku terpental mundur di depan kantin.
“kamu kenapa ?”
Tanya seseorang dengan sedikit nada panik menanyaiku sambil memegang kedua
bahuku.
Aku lemas. Aku tak
tahu lagi harus mengatakan apa. Semua kata-kataku telah ku keluarkan saat
berteriak sepanjang koridor tadi. Aku mengusap mataku yang di penuhi air mata.
Aku sangat lemas.
“kamu kenapa ?”
tanyanya lagi.
Aku terdiam
kemudian mencoba menatap kearah matanya. Ternyata orang itu adalah Edgar. Aku sangat
bersyukur Edgar ada sekarang tapi .. “Lisa hilang di toilet dan aku gak bisa
nemuin dia..” jawabku lemas dengan sedikit penjelasan agar semua orang mengerti
kenapa aku sampai bisa seperti ini, kemudian semua gelap.
***
“dimana kamu
ninggalin Lisa ?” Tanya pak Munir sesaat aku membuka mataku. Samar-samar ku
lihat raut wajah pria berumur menatap kearah ku. Mataku menyapu pandangan dan
aku langsung tahu bahwa aku di UKS, dan aku teringat sesuatu.
“mana Lisa ! mana
Lisa ! aku harus ke toilet !” aku menghardik seluruh orang yang memegang tangan
dan kakiku di ranjang UKS itu. Aku ingin langsung berlari menuju toilet dan
mencari Lisa. Akhirnya aku menyadari, kejadian tadi bukanlah mimpiku di siang
bolong, itu benar-benar nyata. Lisa benar-benar hilang, dari mataku dan dari
mata semua orang. Semua orang menahan ku agar aku tak berlari ke toilet lagi.
Tapi aku terus saja menjerit memanggil-manggil nama Lisa. Aku tak bisa terima,
sahabatku hilang begitu saja, tanpa sepengetahuanku dan dengan cara yang sangat
JANGGAL.
“tenang ta, tenang,
kita hadapi ini sama-sama” kata suara seseorang yang aku kenal dan aku tahu itu
Edgar.
“enggak ! Lisa
hilang gar, Lisa hilang ! aku harus cari dia !” aku menghambur keluar tapi
tenaga ku kalah kuat dengan seluruh teman-temanku yang menahanku dan berusaha
menenangkanku.
“kasih dia minum
dulu” kata pak Munir dengan nada suara khas prianya yang berat.
Edgar memberikanku
segelas air putih. Aku kemudian terduduk di kursi atas paksaan tenaga Edgar
yang terus saja merangkulku dan memaksaku duduk dan akhirnya menuruti semua
kemauan mereka yang berada disini.
“bagaimana
ceritanya ?” Tanya pak Munir lagi padaku. Guru bahasa inggris ini terlihat
sangat serius bertanya padaku. Padahal aku sangat tahu selera humor guru ini
sangat bagus, ia bahkan sangat mengenalku dan sekarang selera humor itu sangat
hilang saat mendapati situasiku yang seperti ini.
“aku nganterin Lisa
ke toilet. Dia suruh aku nunggu di luar kaya biasa. Tapi Lisa lama banget gak
keluar-keluar pak. Terus gara-gara ku panggil-panggil dia gak nyahut nekat aja
ku dobrak pintunya, ternyata Lisa gak ada disana” aku kemudian menangis setelah
menceritakan kejadian itu pada semua orang disini. Dan semua orang yang
menatapku penuh tanda Tanya di luar sana yang membuat UKS sesak dan serasa
pengap karna kepenuhan tampungan mereka yang penasaran dengan ceritaku.
Mereka menatapku
seolah tak percaya. Aku terus saja terisak karena sampai sekarang perasaan
takutku tak kunjung hilang. Aku sangat khawatir pada Lisa yang menghilang
begitu saja di dalam toilet sekolah.
“Lisa benar-benar
hilang ?” tanyaku sontak membuat semua orang di UKS terperangah. Aku masih saja
tidak percaya dan berharap ini mimpi burukku saja dan sebentar lagi aku
terbangun.
Semua mata menatap
ke arahku. “bilang padaku ini Cuma mimpi gar?” pintaku pada Edgar. Aku makin
terisak menatap muka Edgar yang beku menatapku. Ia hanya berkedip.
“ini bukan mimpi
buruk ta, Lisa benar-benar hilang di toilet” Lirih Edgar menjelaskan padaku.
“kasus ini kita
serahkan ke polisi, polisi sedang memprosesnya dan sekarang sedang melakukan
penyidikan” jelas pak Munir kemudian.
Aku menangis
memeluk Edgar. Aku benar-benar tak kuasa mendengar semua ini. Lisa, sahabatku
sekarang hilang dengan JANGGAL di balik mataku.
***
Kabut pagi ini di
sekolah membuat ku sangat enggan melangkah dari depan gerbang menuju kelas yang
berada di ujung kulon itu. Ini sudah hari ketujuh dimana menghilangnya Lisa
dari penglihatanku dengan JANGGAL. Aku tetap tidak percaya Lisa menghilang
begitu saja. Aku masih saja mencari-cari dimana Lisa. Karna aku yakin, ini
bukan hal yang wajar.
Kehidupanku sungguh
berubah selama tujuh hari ini. semenjak kepergian Lisa membuat segalanya
berubah. Polisi pun belum menunjukan tanda-tanda bahwa telah mengusut tuntas
kasus ini. Orang tua Lisa syok berat mendengar kabar menghilangnya Lisa sejak
hari pertama. Ibu Lisa nyaris saja menjadi gila karna kejadian ini.
Lisa, dimana kamu ?
sial. Aku sangat rindu pada Lisa.
Bunyi tapak kaki ku
yang menggema di seluruh koridor di pagi buta seperti ini membuat bulu kudukku
sendiri merinding. Padahal itu suara tapak kakiku sendiri. koridor sangatlah
sepi karna jam masih menunjukan pukul 6.10. Terlalu pagi memang untuk sekolah
karna kami masuk pukul 7.15 tapi entah mengapa pagi ini aku ingin sekali berangkat
sekolah sepagi ini.
Aku mulai melangkah
melewati sawah-sawah dan menatapi satu-satu boneka mengerikan yang bertengger dengan angkuhnya yang sering
ku sebut-sebut jenglot raksasa itu. Aku mulai menatap boneka itu satu persatu
dan merasa merinding di seluruh tubuhku.
Kurasakan tangan
seseorang menggapai-gapai dari bawah lantai. Tangan yang mulai sedikit demi
sedikit menampakan anggota tubuh lainnya. Tangan kurus kering yang keriput dan
pucat lengkap dengan kuku panjangnya yang sangat menjijikan. Aku dengan spontan
melocat menghindari tangan misterius yang keluar dari bawah kolong lantai
koridor itu. Aku melihat sekelilingku. Mataku menyapu seluruh sawah yang
menghampar di sekolah ini. melihat kelas-kelas yang berada di depanku.
Brengsek, pagi buta
begini mana ada orang disini.
Tapi, bagaimana pun
aku harus tetap menyelamatkan diri dari makluk ini. Aku memekik memecah
keheningan pagi dengan suara ku yang melengking mirip tante-tante yang di
jambret tasnya. Aku tersandar keras di dinding kelas, melihat tangan itu
menampakan wajah yang benar-benar tak pernah ku duga, akupun tak pernah ingin
membayangkan bentuk rupa dan muka seperti itu berhadapan dengan ku. Ini
benar-benar mengerikan. Wajah hancur dengan bola mata yang hampir saja keluar,
hidung yang berlumuran darah, bibir yang sisinya melebar akibat robekan yang
terlihat sangat jelas, rambut compang camping seperti habis di siksa
habis-habisan dengan baju yang benar-benar tak beraturan. Dan satu hal
kesimpulan yang ku ambil, bahwa dia adalah wanita.
Wanita itu
menggapai naik ke atas lantai koridor dengan susah payah, aku terus saja
berteriak dengan posisi yang masih sama dan tak ku duga wanita itu berhasil
menggapai naik. Aku melangkah mejauh darinya, kemudian mencoba berlari
meninggalkannya sambil terus saja berteriak syok, mataku mengeluarkan air mata,
aku sangat ketakutan, wanita itu berjalan pincang mengejarku. Aku sangat
ketakutan, aku meraung sekeras mungkin ingin kembali menuju gerbang sekolah,
sambil terus menghadap kebelakang memastikan aku benar-benar meninggalkannya.
Brraaakkkkk!
Aku menubruk
sesuatu hingga aku terpental jatuh ke bawah di depan perpustakaan tua yang
menurutku sudah layak di hancurkan dengan traktor itu. Ketika ku sadari wanita
itu kini berada di depanku dengan jarak kurang dari 50 centi. Aku menjerit
sekuat tenaga berharap akan ada yang menolongku. Tapi tak ada yang menjawabku.
Tangan wanita itu mulai menggapai leherku berusaha mencekikku. Aku
menarik-narik tangannya dan berusaha mengambil nafas sebaik mungkin.
Ini kah saat-saat
terakhirku. Apakah aku akan menghilang mengikuti jejak Lisa. Aku tidak mau
berakhir disini. Aku tidak akan sudi meninggal dengan keadaan seperti ini,
dengan wajah jelek yang melet-melet seperti itu. Aku tidak akan mau.
“apa maumu ?”
kataku sebisa mungkin sambil terus menghalau tangannya dan mengambil nafas
sebaik-baiknya. Tangan wanita itu cukup tangguh, bagaikan tangan kuli bangunan
yang keras, kuat dan kekar. Mustahil aku akan menang melawan wanita ini.
matanya menatapku tajam mendekatiku yang terbaring dan mulai kewalahan
menghadapi tangannya yang terus saja berusaha mencekikku.
“aarrgghhhh”
raungnya sambil terus saja makin mencekikku dengan kedua tangannya dengan
bibirnya yang robek meluber kesana kemari saat mengatakan kalimat itu, aku
yakin tangan ini telah menimbulkan bekas di leherku. Aku mulai kehabisan nafas.
Aku mulai tak memerdulikan kengerian yang menghantam diriku saat ini.
Kukumpulkan semua
kekuatan ku. “arrgghhhhhhh enyah dari sini brengsek!” teriakku sambil
memberontaknya, aku mulai membanggakan diriku sendiri. aku tau aku ini layak
untuk ikut kejuaraan silat, bengisku. Akibatku, wanita itu terpental. Tapi dia
tak menyerah, dia berdiri dan kembali menyerangku. Aku menahan tangannya, tapi
ternyata tenagaku kalah kuat dari tenaganya. Baiklah dengan berat hati ku tarik
lagi kata-kataku. Aku memang tak layak mengikuti kejuaraan silat.
Aku menghantam
keras dinding selasar perpustakaan. Megap-megap mengambil nafas, wanita itu
makin mengerikan saja, matanya memerah mengeluarkan darah, aku takut sekali.
Aku takut darah. Kakiku melayang ke atas menggapai-gapai lantai, wanita ini
benar-benar kuat sekali, akhirnya..
Brookkkkkkkk!
Aku menendang
dadanya dengan semua tenaga yang sekarang tersisa didiriku. Benar saja, wanita
itu melepaskan tangannya dari leherku, dengan tenaga yang masih ku punya,
dengan baju yang sekarang yang sangat kotor dan sukses sekali merobek rokku
yang sudah sangat pendek itu aku berlari meninggalkannya sebisa mungkin seperti
tujuan awal, ke gerbang sekolah.
Aku berlari sambil
menjerit ketakutan, keringat yang mengucur deras di sela dahiku tidak
menghambatku berlari meninggalkan setan keparat yang sangat SKSD itu. Bagaimana
bisa dia ingin mencekikku dan mematikanku seperti menepuk nyamuk di sekolah ini
sedangkan aku tak mengenalnya.
Braakkkk!
Bravo! Kali ini aku
menabrak apalagi ?
“Ta, kamu kenapa ?”
Tanya suara seseorang yang sangat ku kenal.
“Edgar”
Aku
akhirnya menangis sejadi-jadinya, aku memeluk Edgar kuat-kuat. Aku sangat
takut, bahkan saat Edgar ada pun ketakutan ini tak juga sirna.
Edgar
melepaskan diri dari pelukanku dan menatapku tajam. Dia melihat sekujur tubuhku
yang tampak sangat jelas seperti gembel itu dan tak luput dari penglihatannya
leherku yang membiru dan membekaskan tanda tangan orang.
“kamu
kenapa Ta ?” tanyanya mulai panik.
Suara
ku tercekat. Aku sama sekali tak sanggup menjelaskan apapun pada Edgar saat
ini.
“Ta!”
Edgar mengguncang-guncang tubuhku yang lemas. Aku hanya menatapnya sendu sambil
terus menangis.
“aku
di kejar-kejar” lirihku pada Edgar.
Kemudian
semuanya gelap ..
***
“kamu
kenapa, Ta ?” suara itu yang paling pertama ku dengar saat aku membuka kedua
mataku dan aku tahu itu suara Edgar.
Aku
hanya menatap Edgar sambil tersenyum. “terimakasih sudah ada” jawabku pada
Edgar pelan.
Edgar
mengangguk, membelai rambutku yang jelas sekali aku berada di ruang UKS lagi.
“certain sama aku, kamu ngalamin apa ?”
“ini
jam berapa ?”
“jam
6.30”
“masih
pagi banget ya ? berarti orang-orang masih belum ada pada yang datang ya ?”
Edgar
sekali lagi mengangguk dengan wajahnya yang penasaran sekaligus khawatir
menatapku yang terkulai lemas.
“udah,
aku gak apa-apa” jawabku.
“gak
apa-apa gimana ? lihat bekas di leher mu itu membiru, itu bekas cekikkan orang
kan ? tadi kamu bilang kamu di kejar-kejar, kamu di kejar-kejar siapa ?”
Goblok.
Dalam keadaan genting kayak gini cowok ini masih aja bisa bawel padaku.
“hantu”
jawabku singkat padat tapi kurang jelas.
“hantu
?”
“iya,
kamu ngapain pagi banget datengnya, padahal biasanya telat ?”
“aku
mikirin kamu” katanya.
Aduh,
gobloknya. Ini bukan saat-saatnya buat ngegombal bego! Kemaren-kemaren waktu
aku sehat walafiat kelihatannya cowok bertampang bejat ini gak ada niat sama
sekali buat ngegombal, dan sekarang dengan keadaan yang super-ultra genting ini
dia masih nyempetin ngegombal. Dasar cowok gak romantis.
“apa
hubungannya mikirin aku dengan dateng pagi ?” delikku.
“aku
yakin kamu disekolah, makanya aku cepet-cepet juga kesekolah. Aku khawatir kamu
kenapa-kenapa dan kenyataannya bener kan ? kamu emang kenapa-kenapa ?”
Yah.
Edgar telat banget tapi Setelah perjuanganku habis-habis meregang nyawa di
depan perpustakaan tadi kata-kata cowok ini barusan bagaikan salju yang
mendinginkan otakku. Lututku bergetar mendengarnya.
“makasih
dan aku selamat” kataku tersenyum tipis.
“jelasin
sama aku, kamu kenapa ?”
“aku
gak tau, aku mau kekelas, tapi wanita itu mengejarku lalu mencekikku” jelasku
sedikit pada Edgar. Tenaga ku tak memungkinkanku untuk berkoceh panjang lebar
pada cowok ini.
“wanita
itu siapa ?”
“sejauh
ini yang ku sadari dia bukan manusia, tapi makluk halus”
Mata
Edgar membelalak mendengar penuturanku.
“gak
usah lebay deh !”
“aku
kan kaget”
“ya
gak usah kaget kenapa !” bentakku.
“ya
urusanku dong !”
Saat-saat
seperti ini masih saja bisa memperdebatkan hal konyol seperti ini.
“yasudah”
“terus
?”
“terus
apa ?”
“terusin
ceritanya ?”
“udah
tamat” balasku.
Cowok
ini sepertinya benar-benar tak mengerti rasa takut yang barusan ku alami
menghadapi makluk keparat itu sendirian.
“kita
hadapi ini sama-sama” katanya lembut meatapku.
Aku
terkejut mendengar penuturan cowok ini, ku kira dia gak akan percaya ceritaku
dan menganggap semua ini halusinasiku saja seperti orang-orang lain. Tapi
ternyata tebakkanku salah.
Aku
bangkit kemudian meraih tubuh Edgar dan merengkuhnya dalam-dalam “terimakasih”
***
Kejadian
yang membuatku trouma sekolah kepagian beberapa waktu lalu itu dan menyebabkan
bekas biru yang hilangnya sangat lama sekali itu di leherku dan kututupi dengan
gips leher yang ku beli di rumah sakit terdekat itu tidak pernah aku dan Edgar
ceritakan pada orang lain. Aku takut makin mengacaukan keadaan di sekolah ini
dengan ceritaku itu. Bisa-bisa tidak akan ada murid yang masuk sekolah
gara-gara ketakutan mendengar cerita wanita keparat itu ada di sekolah ini.
Aku
sangat risih menggunakan gips ini padahal baru saja dua hari. Banyak yang
bertanya kenapa sampai bisa aku menggunakannya, aku hanya menyawab, jatuh dari
tangga. Alasan yang super goblok itu ku temukan ketika sedang memperhatikan
muka Edgar yang sedang bermain basket siang itu di halaman basket.
“lehermu
kenapa ?” Tanya Dian selidik menatapku.
“ng..
gak papa jatuh dari tangga” jawabku.
Dian
mengkutiku menatap ke arah lapangan basket.
“dia
manis kan ?” kata Dian berbisik di telingaku sambil cekikikan meledek.
Aku
menatapnya dalam.
“hahaha, sorry. Aku liat kamu betah banget
nongkrong disini sendirian, jadi aku temenin aja, aku takut kamu di kirain
temen-temen yang lain kena penyakit jiwa terus suka sendirian semenjak
kepergian Lisa” jelasnya blak-blakan, sepertinya dia tahu apa yang ku pikirkan.
Sial.
Kenapa cewek ini ? aku gak akan sedramatisir itu membuat kehidupanku makin
menderita seperti itu. Yang benar saja. “ya gak lah” ketusku.
“kamu
suka kan sama Edgar ?” tanyanya lagi.
Yatuhan,
wanita ini kenapa sih ? Tanya-tanya melulu dari tadi, kepo banget. Padahal
selama ini aku gak pernah ngomong se intens ini sama temen cewekku yang lain.
Kecuali, Lisa. Aku benar-benar rindu pada Lisa. Tapi, Lisa tak ada sekarang.
Tentu memang beda rasanya.
“gak
kok, dia cuman temen baik aja, sama kaya Lisa” jawabku singkat. Aku memang
tidak terlalu pandai beradaptasi dengan baik dengan orang lain kecuali Lisa dan
Edgar. Aku bahkan tak bisa menerima orang lain. Tapi cewek ini, cewek yang
hanya ku kenal di kelas saja bahkan tempat duduknya pun jauh dariku dan Lisa
ini mempunyai watak yang ku rasa ada miripnya dengan Lisa. Mungkin, karna aku
terlalu kangen pada Lisa saja semua jadi seperti ini.
“aku
bisa liat kok dari mata kamu liat dia tadi main basket, dia manis, dan
pengertian” kata Dian lagi tak jera.
Aku
menyunggingkan senyum tipis. “tapi dia pandai menghilang”
Dian
tersenyum. “hilang bukan berarti dia gak ingat kamu Ta, ingat dia seperti dia
ingat kamu”
“aku
gak suka menghayal terlalu tinggi, sebagaimanapun baiknya dia padaku aku tetap
akan berusaha gak ke ge-eran”
“usaha
sekuatmu” Dian tersenyum dan beringsut melangkah pergi meninggalkanku di bangku
itu.
Cewek aneh. Pikirku.
Aku
kembali menatap lapangan basket dan masih melihat Edgar dan teman-temannya
bermain disana. Dian benar, dia memang sangat manis.
***
Langkah
kakiku terdengar jelas di koridor. Aku hampir sampai, kataku dengan nafas
ngos-ngosan. Gila. Sekolah ini luar biasa panjangnya. Sepertinya pihak sekolah
mesti mempertimbangkan dengan serius tentang membelikan secara Cuma-Cuma
sketboard dan memberikannya gratis pada tiap anak di sekolah ini. Mimpi.
Aku
duduk di bangku ku dengan keringat yang mulai keluar dari sela-sela dahiku dan
menanti kelas setelah ini.
“this
is Kimia class time, ta” aku mendelik mendengar kata-kata itu. Menjulingkan
kedua mataku dan mencari asal suara itu. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu
aku rindukan akhir-akhir ini. tapi aku yakin ini kata-kata imitasi.
“this
is Kimia class time, Ta” kata orang itu sekali lagi. Aku mendapatkan arah suara
itu, di sini. Di belakang sini ..
“diem
gak!” rutuk ku pada cowok itu.
“kenapa
? takut di hantuin Lisa ya ?” cowok itu meledekku.
Sial.
Kenapa hari ini banyak banget kayaknya yang bikin moodku di tepi jurang. Cowok
ini benar-benar kurang kerjaan.
“diem
bisa, Lisa belum mati, Dimas Prayoga ?” aku memasang tampang kuda-kuda pengen
nonjok muka nih cowok.
Dimas
Prayoga. Catat dengan baik di otak kalian namanya D-i-m-a-s P-r-a-y-o-g-a. Dari seluruh cowok di dalam
kelas ini dialah yang paling sering ingin sekali ku injak-injak mukanya. Cowok
perawakan sedang dengan wajah oriental yang sepertinya keturunan arab itu. Alis
yang tebal yang membuat matanya terlihat indah dan gayanya yang di adaptasi
dari gaya cowok-cowok i-Carly di nickelodeon itu bisa saja membuat cewek-cewek
yang melihatnya berteriak “bajingan!” itu, arrghhh lupakan. Aku benci harus
mengatakan ini, oke aku akui kali ini saja wanita-wanita bisa berteriak
histeris “arrghhhh” melihat wajahnya yang sok kegantengan itu tapi tetap aku
tak akan sudi mengakuinya di hadapan hidung cowok menjengkelkan ini. cowok ini
punya segudang masalah denganku karna 6 bulan belakangan ini dia berpindah
duduk di belakang tempat dudukku dan Lisa semenjak di minta wali kelasku, ingin
sekali ku tendang jauh-jauh meja dan kursi Dimas—Prayoga ini hingga ke ujung
sekolah dan membiarkannya bermain dengan jenglot-jenglot raksasa mengerikan
itu, tapi aku tak mungkin lakukan itu karna aku tak akan punya kekuatan sekuat
tenaga kingkong seperti itu.
“gak”
jawabnya masih dengan wajah meledek dan sumpah asli minta di tendang.
Aku
melotot.
“wuihh,
galak juga ya ?”
“jangan
pernah ikut campur urusan gue !” aku makin bengis saja menghadapi laki-laki tolol
ini.
“gue
gak ikut campur, gue Cuma mau ngobatin rasa kangen lo sama Lisa. Bener kan ?
kamu kangen sama Lisa ?”
Aku
membuang wajah keluar kelas. Aku tidak ingin keparat ini melihat mataku yang
mulai mengacai dirinya akibat kata-kata cowok ini.
“sudah
lah, seluruh umat di kelas ini pun sudah tau. Gak perlu gengsi sama sahabat
sendiri.”
“gue
bilang gak usah ikut campur, bisa ?”
“oke,
gue diem, tapi ku rasa lo emang lagi ada dalam masalah besar”
“nyumpahin
gue ya lo !” bentakku mengencang pada cowok sialan ini.
Dimas
terperanjat kaget. Aku sudah tau, aku punya pesona yang sangat mengerikan dalam
keadaan seperti ini. Hah.
“ng..
gak”
“makanya
diem brengsek!”
“apa
lo bilang ?”
“brengsek”
ulangku lagi.
“kenapa
ngatain gue brengsek ?”
“bukan
urusan lo !” aku memasang tampang sangat pongah kali ini.
“sewot
melulu jadi cewek” Dimas sepertinya kesal berat. Dia langsung berdiri
meninggalkan aku setelah mengucapkan kalimat itu.
Apa
aku sejahat itu ya ? sampai ngebuat cowok ini marah. Aku mulai merasa bersalah.
Tapi aku tak akan sudi meminta maaf padanya. Aku terperangah melihat Dimas
memasang tampang benci menatapku. Biarkan sajalah, mungkin lebih baik, dia
tidak akan mengganggu ku lagi dalam keadaan seperti ini.
Kesurupan!Kesurupan!Kesurupan!
Teriak
riuh orang-orang diluar sana. Astaga, apa lagi ini ? semua orang di kelasku
berhamburan keluar mendengar teriakan riuh itu. Tersisalah aku sendiri disini
menatap di balik jendela kelas. Aku sangat takut keluar, perasaanku tiba-tiba
tak enak. Kejadian-kejadian seminggu terakhir ini membuatku nyaris seperti
orang sakit jiwa.
Kelas
ini sangat sepi. Kosong melompong. Padahal saat ini pelajaran Kimia seharusnya
sedang berlangsung, tapi sepertinya jadwal itu akan di ganti dengan penyadaran
para siswa kesurupan di luar sana karna bu Muria tak kunjung masuk kelas juga.
Terdengar bunyi
derit pintu lemari terbuka. Aku terdiam. Bukannya di kelas ini tak ada
siapa-siapa ? jadi siapa yang menyebabkan derit pintu itu. Aku menggapai-gapai
leherku merasakan bulu kudukku yang sepertinya sukses berdiri semua itu. Ku
beranikan diri menoleh kearah lemari tua yang di letakan di pojok kelas itu.
Aku terkesiap
melihat apa yang baru saja ku lihat.
“Lisa …” Lirihku
melihat Lisa berdiri di depan lemari itu. Masih lengkap dengan baju SMA nya.
Matanya nanar menatapku dengan wajahnya yang pucat.
“Astaga” aku
menutup mulutku dengan tanganku. Apa yang barusan ku lihat ? nyata atau mimpi ?
Lisa ada, Lisa ada. Aku tak kuasa menahan derai air mataku dan langsung
menghambur kearahnya tanpa memikirkan logikaku lagi. aku memeluknya dalam. Tapi
..
Aaarrrrggggghhhh!
Lisa menarik gips
yang terikat di leherku hingga terlepas. Dia menggapai leherku yang belum
sembuh dari sakitnya itu. Mencekikku dengan penuh nafsu. Dan aku baru tersadar
kalau yang ku hadapi bukanlah Lisa.
“siapa kamu, apa
yang kamu mau ?” pekikku berharap ada yang menolongku. Tapi wajah Lisa berubah
pelan menjadi wanita keparat dua hari yang lalu itu. Masih sama, masih dengan
bibirnya yang robek mengerikan itu.
Wanita itu
melemparku dengan keras hingga aku tersandar di lemari. Aku berusaha bertahan
dari serangan ini dengan daya semampuku. Seluruh tubuhku rasanya rontok akibat
hal ini. wanita itu menghampiriku kemudian mencekikku lagi hingga tubuhku
melayang keudara. Dia benar-benar tak pernah di ajarkan tentang
perikemanusiaan. Aku megap-megap menarik nafas berharap masih ada oksigen yang
tersisa yang mampu menyambung sisa waktu hidupku saat ini. kemudian ..
Brrakkkkkk!
Dia melemparku
membumbung hingga menghantam pintu kelas dengan keras. Terdengar sayup-sayup
suara seseorang memanggilku dari luar kelas. Ku kumpulkan semua sisa tenaga ku
dan berdiri membuka pintu kelas.
“Tata !” teriak
Edgar memelukku di depan kelas. Mataku berkunang-kunang.
***
Aku tak pernah
mengerti dan habis pikir apa yang di inginkan wanita itu dariku. Mengapa dia
ingin sekali membunuhku. Aku tak mengerti dengan semua yang sekarang terjadi
pada kehidupanku ? semuanya tersusun menjadi leretan-leretan seperti mimpi
buruk dan kutukan yang menimpa kehidupanku dan parahnya aku tak tau semua itu
datangnya dari mana.
“aku takut
Gar” di ruang UKS. aku akhirnya duduk
dan menangis di hadapan Edgar sejadi-jadinya. Entah ini kesekian berapa kalikah
aku masuk UKS gara-gara hal ini. Aku benar-benar tak sanggup menanggung semua
ini sendirian.
Edgar menatapku
prihatin. Ia kemudian membelai rambutku lembut. “aku disini, kamu tenang aja”
“tapi aku takut,
wanita itu terus mengejarku, aku gak tau apa yang di carinya dariku, dia terus
mencekikku” aku menunjuk pada leherku yang makin membiru saja bekas cekikkan
kedua kalinya wanita hantu itu.
“apa semua ini ada
hubungannya sama Lisa ?”
“kenapa kamu bisa
ngomong kayak gitu”
“kamu ngalamin ini
semua semenjak kejadian Lisa itu kan ? sebelum itu hidupmu tenang-tenang saja,
kamu gak pernah teriak histeris sendirian”
“apa maksudmu
teriak histeris sendirian ? dia ada, dia wanita” sergahku.
“kamu akhir-akhir
ini aneh Ta, semenjak kepergian Lisa. Kamu sering teriak-teriak sendirian dan
bekas cekikkan itu, kesurupan yang terjadi di sekolah ini. kenapa kamu selalu
nyakitin diri kamu sendiri ?”
Nanar mataku
berkilau mendengar penuturan Edgar kali ini. “jadi kamu gak percaya sama aku ?”
“bukannya gak
percaya, ini semua di luar kendali logika aku, semua ini rasanya gak masuk
akal, Lisa hilang dengan misterius, kamu punya bekas cekikkan misterius, semua
ini serba misterius”
Aku mendelik keluar
jendela ruang UKS yang menghadap ke sawah itu. Aku merasakan sepasang mata
mengawasiku dan Edgar dari sana. Mataku langsung menyelidik.
“kamu bisa liatin
gak di jendela sana ada siapa ?” pintaku pada Edgar.
“emang ada siapa ?”
Air muka Edgar berubah.
“kamu liatin ya,
aku takut” biar bagaimanapun juga situasi seperti ini membuatku getir juga
menghadapinya.
Edgar beranjak
mendekati jendela UKS, kemudian menilik keluar jendela yang di depannya hanya
terlihat hamparan sawah itu. “gak ada siapa-siapa, Ta”
Aku menarik nafas
panjang. “mungkin Cuma perasaanku aja”
“tuh kan, kamu jadi
banyak ngayal akhir-akhir ini” Edgar kembali menghampiriku.
“aku gak tahu gar,
kurasa ini bukan khayalan?”
Krraacckkk!
Terdengar bunyi
ranting patah yang seperti baru saja di injak oleh seseorang. Edgar langsung
mendekati jendela UKS lagi dan melihat seseorang lenyap dari pandangannya
melesat dengan cepat.
“ada orang barusan”
“tuh kan, itu bukan
perasaan, dari tadi ada orang yang ngintipin kita”
“tapi aku gak tau
siapa ?”
“ku rasa emang ada
hubungannya dengan Lisa. Aku harus cari Lisa. Aku yakin Lisa di culik dan
sekarang dia mau nyelakain kita, kita semua. Kita gak berurusan sama manusia,
tapi makluk halus gar”
Edgar sedikit
terkejut mendengar kata-kata yang spontan keluar dari mulutku itu.
“kita lalui
sama-sama” kata Edgar tegas menenangkan pikiranku.
Aku tetap tak
mengerti akan perasaan serta sikap Edgar kepadaku. Kami hampir setiap hari
bersama. Hampir setiap hari berbagi cerita. Saling berbagi suka maupun duka.
Tapi, sejauh itu tidak juga terucap dari mulut Edgar kalau dia menyukaiku.
Sepertinya cowok tampan ini Cuma menganggapku sebagai sahabatnya. Aku selalu berusaha
tidak mau ke ge-eran dengan sikap manisnya terhadapku. Selalu. Tapi anehnya,
aku terus menunggu dan menunggu. Walau aku tau banyak sekali cowok lain yang
berusaha mendekatiku dan berharap mendapat cinta dari ku, anehnya aku tak bisa.
Karna yang ku harapkan adalah Edgar. Bahkan saat pagi hari terbangun dari
tidurku, orang pertama yang ku pikirkan adalah Edgar. Bahkan, sampai cowok ini
hampir menyelesaikan sekolah-nya di SMA Bumi Prima, Edgar tetap menganggapku
sebagai seorang sahabat. Sahabat yang baik, sahabat yang penuh perhatian,
sahabat tempat berbagi cerita, baik suka maupun duka. Sekeras apapun upaya ku
menghilangkan Edgar dari ingatanku, aku tetap tak bisa. Yang ku lakukakan
hanyalah bersabar, menunggu sampai Edgar
mengungkapkan perasaannya padaku. Itupun kalau aku tidak hanya sekedar
berkhayal. Biarlah, untuk selama ini aku akan berusaha menerimanya dengan sabar
kalau Edgar masih menganggapku sebagai seorang sahabat. Aku cukup bahagia
dengan kedekatanku dan Edgar saat ini, karna Edgar adalah seorang sahabat yang
senantiasa berusaha melindungiku dari apapun. Dimataku cowok ini punya banyak
kelebihan di banding yang lainnya. Sehingga meski sampai hampir selesai
sekolahnya Edgar tak juga mengutarakan perasaan cintanya hingga akhirnya aku
berubah pikiran dan menganggap cinta hanya sebuah permainan belaka. Semenjak saat itu aku tak pernah mempercayai
orang-orang yang menyukaiku.
Teoriku mengenai
cinta merupakan permainan berawal
dari berbagai macam permainan yang ku lihat beberapa waktu lalu di sekolah.
Entah mengapa sampai aku bisa berpikiran seperti itu. Cinta itu permainan,
setiap orang saling menipu didalamnya, menggunakan cara licik dan picik untuk
menang. Aku bisa membuat orang yang berada disisiku menyukaiku, dan ketika
orang itu sudah menyukaiku aku merasakan permainan sudah tidak seru lagi. Aku
kemudian berlalu dan meninggalkan mereka.
“hey, kenapa ?”
Edgar melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. Membuyarkan lamunan
panjangku.
“ng.. gak apa-apa.
Eh kamu mau aku kenalin satu permainan ?” tawarku pada Edgar.
“permainan apa ?”
“permainan tombol.
Nih aku tunjukin caranya. Kalau kamu megang bahu aku anggap aja kamu lagi
mencet tombol. Kalo kamu megang bahu kanan kamu tandanya aku bakalan jadi batu.
Nah kalau kamu pegang bahu kiri aku, tandanya aku bakalan jadi transparan” aku
menjelaskan pada Edgar sambil memperlihatkan gerakan-gerakan yang aku jelaskan.
“seru juga, aku
pencet tombol kanan, sekarang kamu jadi batu” katanya sambil memegang bahu
kananku. “biar kamu gak bawel lagi, hehe”
Aku hanya diam
mengikuti permainan.
“oiya, aku mau
kasih tau satuhal sama kamu mumpung kamu lagi jadi batu, kamu gak boleh protes
ya. ‘kalau kamu gak percaya sama cinta, kamu gak akan ketemu cinta sejati’”
Aku terperangah
menatap Edgar. Mencerna kalimat yang barusan di katakannya. Cowok ini selalu
bisa menebak pikiranku.
Aku tersenyum manis
menatapnya. Aku tak tahu harus berkata seperti apa lagi.
***
SAD TO THE MAX.
Itu yang sedang ku
gencar-gencarnya. Semua kebrutalan yang terjadi pada dirinku saat ini membuatku
hampir tidak bisa menghirup oksigen segar seperti biasa. Aku berkaca menatap
leherku. Bekas cekikan itu mulai menghilang dan sekarang hampir tak tampak
lagi.
“sampai kapan semua
ini berkahir ?” Aku menghempaskan tubuhku ke kasur empuk yang ada di dalam
kamarku. Ini adalah tempat paling kurasa aman untuk saat ini. Bergidik aku
menerima kenyataan pahit seperti ini. Mending aku berantem saja dengan manusia,
dari pada harus berurusan dengan hal absurd seperti ini. Aku merasa di hinakan.
Benar-benar di kerjai habis-habisan. Tanpa sadar air mataku menetes. Aku jadi
super—cengeng akhir-akhir ini. semenjak kepergian Lisa. Aku memutar otakku,
memikirkan bagaimana cara mengakhiri semua kutukan ini.
Aku hanya menarik
nafas panjang.
***
Aku menatap nanar
keluar kelas dengan mata sendu. Jam istirahat kali ini tidak seramai biasanya,
pikirku. Hanya ada beberapa orang di kelas ini. aku duduk sambil memangku
daguku di atas meja. Aku sangat merindukan Lisa.
Lisa, kamu dimana ? apa kamu baik-baik saja ? tanyaku pada diri
sendiri.
Tiba-tiba datanglah
si cowok tengil ini mengganggu pemandanganku saja. Dengan keringat yang
bercucuran membuatnya terlihat lebih dekil dari biasanya dia melangkah menuju
bangkunya. Ya tepat sekali, di belakang tempat dudukku.
Aku menatapnya
tajam, seperti menuntut pertanggung jawaban karena ia telah menghamiliku. Gila.
Dimas membalas
tatapanku tajam. “apa liat-liat ? kaget baru liat cowok ganteng keringatan kaya
gini ?” katanya.
“najis !”
“najisin gue ? suka
sama gue baru tau rasa !”
Aku melotot. “najis
banget!” pekikku.
Dimas menatapku
dengan alis yang terangkat sambil mengelap keringatnya dengan kaosnya di
samping mejanya. Ya, tepat satu jengkal di samping kanan belakangku.
“apa lo liat-liat?”
“mata-mata gue”
ketusku.
Aku dan Dimas terdiam
cukup lama.
“gimana kalau gue
tau satu hal?”
Aku
diam. Mencerna perkataan yang baru saja dengan lancar keluar dari mulut Dimas.
“apa
maksud lo ?” tanyaku sedikit penuh selidik. Tapi aku takkan mau menunjukan
tampang penasaran ku pada keparat ini, nanti dia bakal seenaknya padaku.
“secara
gak langsung gue udah terlibat dalam kasus elo, dan dengan cara yang terpaksa”
“gue
gak pernah maksa. Dan ingat gue gak pernah ngajak-ngajak lo ya! Catet”
“iye
gue tau, gak usah sewot kenapah ? sehari aja gak judesin gue bisa gak sih ?”
“gak”
“whatever”
Dimas melangkah menjauh ingin pergi meninggalkan kelas, tapi demi tuhan, dengan
sangat terpaksa aku harus minta penjelasan sama dia, dan kalau dia ngambek aku
gak akan dapatin apa-apa. Jadi, baiklah ..
“Dimas,
tunggu, elo jangan keluar dulu” aku berdiri dari tempat dudukku.
Langkah
Dimas di ambang pintu terhenti. “apa lagi ? bukannya elo gak perluin gue juga
?” ketusnya tanpa menoleh.
“iya
sorry. Jelasin apa yang barusan lo bilang ?” dengan nada yang tercekat dan
berat hati, perasaan, jiwa dan raga aku harus mengatakan ‘sorry’ pada keparat
ini.
Dimas
berbalik melangkah masuk kemudian memilih kursi di depanku dan duduk menghadap
ke arahku.
“gue
lihat ada yang nguntitin elo terus dari 4 hari yang lalu”
Aku
melongo menatap dalam mata Dimas. Pikiran ku mengawang jauh. Ku tatap wajah
cowok ini tajam. Ternyata jika di lihat secara baik dan benar cowok ini manis
juga. Aku pernah melihatnya tidur saat jam pelajaran matematika, saat itu Lisa
masih ada. Lisa berbisik padaku, coba
lihat tampang Dimas waktu bobo, manis kan Ta ?, aku masih mengingat hal itu
dengan jelas. Pikiranku mulai tak karuan saja. Bagaimana bisa dengan keadaan
seperti ini aku bisa mengatakan tampang keparat ini so sweet. Gila.
Dimas
melambaikan tangannya di depan mataku “hello, elo dengerin gue gak sih Ta ?”
“oh
eh, denger kok, apaan tadi ?” aku tersentak dari lamunanku.
Dimas
menarik nafas panjang. “itu tandanya elo gak dengerin gue”
“gue
lihat ada yang nguntitin elo beberapa hari ini” jelas Dimas lagi.
“siapa
?”
“gue
gak tahu, karna orang itu sama sekali gak jelas tampangnya, gue juga liatnya
Cuma sekilas-sekilas”
Aku
sudah menduga. Ada yang niat mencelakaiku.
“kenapa
? takut ?” Tanya Dimas sedikit meledek. “preman kok takut” sambungnya lagi.
Aku
melotot ke arahnya.
Dimas
menarik nafas panjang. “gue kasih tau ya, mending lo hati-hati aja. Apalagi
nanti waktu acara ulang tahun sekolah kita” jelas Dimas.
Aku
baru ingat besok adalah hari ulang tahun sekolah. Seperti biasa tradisi sekolah
ini akan di jalankan. Entah kenapa. Semua murid sekolah ini harus ikut bermalam
di sekolah ini menikmati satu malam bersama bahkan bersama guru-guru. Ya memang
kita pasti akan bersenang-senang selama 1 hari 1 malam penuh bersama di sekolah
ini. Biasanya acara ini lah yang sangat aku dan Lisa tunggu-tunggu, tapi
sekarang sudah berbeda, Lisa tak lagi ada disini.
“bukannya
kasus Lisa belum tuntas, apa masih di laksanakan?” Tanya ku pada Dimas.
“Osis
akan tetap melaksanakan atas perintah kepala sekolah” kata Dimas.
“tau
darimana ? gue yang osis aja gak tau”
“apa
sih yang Dimas gak tau ?” dengan gaya sok cool nya, ia meninggalkan aku
sendirian.
Sialan.
Apa mungkin tebakan Dimas akan jadi kenyataan ?
***
Sore
itu semua murid telah berkumpul di lapangan sekolah, dengan semua perlengkapan
yang mereka bawa secukupnya untuk bermalam di sekolah hari ini hingga besok
sore.
Pak
Sanjaya telah siap berdiri di atas mimbar khotbahnya ingin memberikan arahan
untuk acara hari ini sampai besok sore.
Aku
menatap langit yang kian menguning. Aku menarik nafas panjang. Rasanya telinga
ini tersumbat oleh kacang jika mendengar khotbah pak Sanjaya. Kalian tahu, aku
kadang tertawa jika mengingat hal ini. pak Sanjaya, sebagai kepala sekolah
tentunya haruslah selalu siap untuk berceriwis ria dan dalam keadaan apapun dia
haruslah siap untuk berpidato di depan semua anak muridnya, dan setiap pak
Sanjaya berpidato pastilah akan memakan korban jiwa. Eits, bukan mati ya, lebih
tepatnya tumbang langgang alias pingsan. Itu hal yang sangat aneh sekaligus
lucu buatku, karna setiap pak Sanjaya di beri kesempatan berpidato pastilah ada
anak murid yang pingsan dan itu selalu terjadi. Entah ada apa dengan pidato pak
Sanjaya, sukurlah akn tak pernah jadi korbannya. Dan sore ini, siapakah yang
akan jadi target berikutnya ? aku tak mau ambil pusing tentang masalah ini.
Aku
kemudian melangkah menuju toilet. Sebenarnya berat sekali melangkah menuju
toilet nan jauh di mata ini. tapi mau bagaimana lagi, rasa ingin pipis
mengalahkan segalanya.
Aku
berkaca di kaca wastafel toilet setelah menyelesaikan niatku. Ku tatap wajahku,
seandainya ada Lisa malam ini pasti akan
lebih baik—pikirku. Aku hanya bisa menarik nafas panjang.
Jleb—
Serasa
ada sesuatu yang menangkap kaki ku. Bulu kudukku serasa berdiri semuanya. Aku
melirik ke bawah wastafel tapi tak ada apa-apa. Perasaanku mulai tak enak, ku
langkahkan kakiku menuju luar toilet mengerumbungi keramaian semua murid diluar
sana.
Entah
kenapa ketika aku keluar cuaca telah berubah. Langit tiba-tiba saja menjadi
mendung. Aku heran, bukannya tadi langit tidak separah ini. titik-titik air
mulai jatuh dari langit menyentuh atap-atap kelas menghasilkan bunyi
titik-titik kecil.
Sepertinya
khotbah pak Sanjaya telah selesai. Semua anak riuh berteduh di koridor sambil
membawa barang-barang mereka yang bagaikan mau kemping setahun di gunung
Himalaya itu. Aku melirik ke jam tanganku. Jam sudah menunjukan pukul 5.30
sore. Sebentar lagi waktunya makan malam. Aku bergegas melangkah ke ruangan
osis. Aku kebagian dalam seksi konsumsi pada acara ini padahal aku sudah
berjuang keras setengah mati agar tidak kebagian tugas yang hanya merepotkan ku
saja tapi tetap aku di ajak ikut dalam mengkoordinasi acara ini dan sebentar
lagi waktunya makan malam dengan mengandalkan profesionalisme terpaksa didalam
diriku akhirnya dengan berat ku jalankan tugasku.
“akhirnya
elo dateng juga” Kata Dimas seraya berdiri dari duduknya.
Aku
melongo melihat Dimas berada disitu—ngapain si tengil ini ada disini ? dia kan
buka osis, jangan bilang..
“ngapain
elo disini ?” ketusku. Semua mata di ruang osis hanya melirikku sebentar
kemudian kembali asik dengan kegiatannya masing-masing dan tidak memperdulikan
percakapanku dengan Dimas yang mungkin saja bisa berujung menjadi perang irak.
“gue
seksi konsumsi” jelasnya singkat.
Mataku
melotot mendengar penuturan Dimas, jadi ? apa ? whaaattttttttttttttttttttt ?
“sejak
kapan ?” aku memekik terkejut.
“wey
santai dong mbak bro, hahaha sejak kemaren sih sebenernya, soalnya seksi
konsumsi kekurangan anggota dan Yulia nawarin gue. Ya menurut gue gak ada
salahnya kan bantuin elo ?”
Aku
menarik nafas dalam. “Ada Dian”
“ya
kan Cuma elo berdua doang, bertiga lebih baik kan dari dua ?”
“terserah
lo deh” jawabku seadanya.
“emang
terserah gue”
Aku
menatap keparat ini tajam. Sumpah itu muka pengen banget gue lindes pake truk
sampah. Sok kecakepan banget sih.
“apa
liat-liat, naksir ya sama gue ?”
“najis”
Dimas
hanya membuang mukanya.
“oke
sekarang udah jam setengah enam. Jam makan malam di mulai jam 7 dan tugas kita
disini mengkoordinasi semua rakyat jelata disana untuk bantuin kita buat makan
malam. Elo kan cowok satu-satunya disini, tentunya gue akan ngandelin elo buat
ngatur para alien itu. Dan Dian ?” aku melirik ke sebelahku tapi Dian tak ada
di sampingku “Dian mana Dian, bukannya tuh cewek tadi di sebelah gue ?”
“kayanya
ke toilet deh”
“kenapa
sih semua orang hobi banget ngilang” aku menarik rambutku frustasi.
“itu
tuh dia disana” Tunjuk Dimas ke arah koridor yang jalannya menuju ke toilet
itu. Dian berlari dengan rambut yang awut-awutan ke arah aku dan Dimas. Seperti
biasa—cewek aneh—pikirku.
“dari
mana aja kamu ?”
“dari
toilet” jawab Dian gugup sedikit lembut menjawab pertanyaanku yang seakan
memvonisnya jatuhan hukuman mati.
“weits,
sama dia kok elo manggil aku-kamu coba aja sama gue kok manggil elo-gue sih ?”
protes Dimas padaku.
Aku
memanyun. “jadi gue harus ngomong semanis itu sama elo ? heh ? siape elo ?”
“yakan
biar so sweet sedikit”
“sepik
mulu lo. Udah ah bisa diem gak. Sekarang balik ke pokok bahasan kita tadi”
Dimas
memanyun mendengar aku tak merespon kata-katanya sama sekali.
“gak
usah sok ngambek gitu deh,” ketusku lagi.
“iya
bawel” gerutunya.
“sekarang
koordinasi semua alien itu terus setelah makanan selesai di masak di kumpulin
aja di atas terpal di tengah lapangan. Baru deh kita bagi-bagiin” jelasku
singkat tidak mau ambil pusing.
“kaya
ngebagiin makanan buat fakir miskin” bisik Dimas mencibir.
“banyak
bacot lo ya” aku berdiri sembari menggebrak meja, Dimas yang melihat ku seperti
itu langsung ngacir ngebirit ke kerumunan anak-anak di lapangan. Dian hanya
tertawa melihat tingkah ku dan Dimas kemudian ia beringsut pergi meninggalkan
aku untuk ikut membantu Dimas mengatur anak-anak.
Sekolah
terlihat sangat ramai jika sedang acara seperti ini. lagu-lagu yang di mainkan
di sound system sekolah makin membuat acara tambah seru. Andai saja ada Lisa
pasti aku tidak akan merasa sesendiri ini. tapi tunggu dulu, sepertinya ada
yang lupa. Edgar mana ya ? kok aku gak ngeliat dia sama sekali ya dari kemarin.
Iya dari kemarin. Aku kok bisa sampai lupa ya sama cowok satu itu, mungkin
karena terlalu sibuk memikirkan Lisa—mungkin.
Aku
kemudian mengambil ranselku kemudian menggendongnya. Niatku sih pengen pergi ke
UKS untuk meletakkan semua barangku ini tentunya sambil mencari Edgar kemudian
barulah aku membantu Dimas dan Dian.
Aku
berjalan sambil mencari-cari di mana keberadaan cowok satu itu. Tapi sepertinya
tidak kelihatan. Aku sudah berkeliling sekolah ini sedari tadi tapi tak juga ku
temukan batang hidung cowok itu. Aneh.
Jam
sudah menunjukan pukul 7 malam, syukurlah hujan telah reda hanya meninggalkan
bau tanah basah dan lapangan yang sedikit berair. Seluruh makan malam telah
siap di letakkan di atas terpal. Aku, Dian dan Dimas telah stand by untuk
membagikan makanan-makanan itu pada rakyat jelata yang kelaparan ini.
“makanan
ini gue kasih racun barusan, elo masih mau ?” aku menyodorkan sekotak makanan
pada seorang seorang adik kelas di depanku ini. tangannya yang sedikit lagi
mengambil kotak itu dari tanganku sedetik kemudian berubah menarik tangannya.
dia tampak terkejut mendengar perkataanku barusan dengan tampang sok serius
(padahal aku hanya menggodanya saja).
Dimas
mengambil kotak makanan itu dari tanganku, kemudian menyerahkannya pada adik
kelas tadi. “sudahlah, Tata Cuma bercanda kali. Cepet ambil deh” kata Dimas.
Kemudian di sambut senyum manis dari anak itu, seperti anak kecil yang baru
dapat permen.
Aku
menatap mata Dimas sinis.
“seneng
banget sih liat orang lain menderita ?”
“hiburan
buat gue” jawabku tanpa menatap Dimas lagi sambil terus saja membagi-bagikan
kotak-kotak makanan itu.
“buat
apa ?”
Aku
menatap Dimas heran. Ya heran, karena ku rasa pertanyaan sama jawaban gue tadi
gak ada nyambung-nyambungnya. “buat beli sepatu sama tas kali ?” akhirnya ku
jawab juga dengan jawaban yang lebih ngawur lagi. ayolah ta, plis deh. Hahaha.
“heh?”
Dimas menaikkan alis kanannya pertanda heran dengan jawabanku.
“elo
sih ngawur, ya gue jawab ngawur juga deh”
“coba
kalo elo mau jadi pacar gue, pasti gue beliin tas ama sepatu”
Aku
melotot mendengar penuturan Dimas. Gak salah denger nih. Apa yang barusan cowok
ini bilang ? sudah gila apa ?
“ih
lo kira semua cewek matre apa. Jadi pacar lo terus mau-mauan aja gitu di beliin
tas ama sepatu. Idih, setres”
“hahaha.
Gue Cuma becanda kali. Idih kok dianggap serius sih ?”
“ya
abisnya, tampang lo datar gitu”
“terus
gue harus gimana lagi ?”
“terserah
elo deh” aku menyerahkan kotak terakhir pada seorang cowok. Mataku kemudian
tertuju pada sosok yang sedari tadi selalu ku cari. Cowok yang selalu menghiasi
hari-hariku. Cowok yang selalu membawa ku melayang tinggi hingga ke batas
pelangi. Cowok yang selalu.. kenapa jadi lebay begini sih ?
Aku
berdiri di pinggir lapangan melihat sosok yang sedang bermain basket, sosok
yang tak sadar tentang keberadaanku di sisi lapangan memperhatikannya. Semua
anak makan di lapangan belakang. Hanya ada beberapa anak yang ada di lapangan
basket. Disini cukup gelap. Hanya ada satu lampu taman sebagai penerangan.
Sedangkan di tengah lapangan hanya terbagi cahaya kecil dari lampu taman di
pinggir lapangan.
“gak
pengen makan sama yang lain ?” teriakku kecil yang cukup untuk Edgar dengar
saja.
Sepasang
mata menatapku lekat. Menatapku tajam. Tak pernah aku melihat Edgar menatapku
selekat itu. Sedetik kemudian aku merasa takut. Entah kenapa aku takut saat
Edgar menatapku seperti itu. Itu seperti bukan mata Edgar bagiku. Semua uratku
menegang saat Edgar melempar bola basket itu ke ring dan yap. Tepat sasaran.
Hah ? –aku melotot. Sejak kapan Edgar menjadi sejago itu ?
Aku
mulai berkeringat saat Edgar mendekatiku dengan tatapan tajamnya itu. Aku
benar-benar takut. Ingin sekali aku berteriak, Edgar kenapaaa ?????????????
Edgar
makin mendekat saja. Mulutku komat kamit mengatakan semua doa yang mungkin bisa
membantuku untuk mendapat keajaiban—ya tuhan keluarkan jin dari tubuh cowok
ini, yatuhan jangan biarkan dia kerasukan ya tuhan, ya tuhan pukul aja ya tuhan
supaya jinnya keluar, yatuhan, mata Edgar mau copot ya tuhan jangan sampai
copot ya tuhannn—aku menggigit bibirku saat Edgar makin mendekatkan wajahnya ke
wajahku. Apa ? apa yang ingin di lakukan cowok ini ? jangan-jangan ingin
menciumku. Wajah Edgar makin mendekat saja, mataku menyipit sambil menggigit
bibirku keras…
“waaaaaa
!” Edgar menghambur ke arahku sambil tertawa cengengesan. Sialan.
“Edgar
! gak lucu !” pekikku meneriaki telinga Edgar.
Edgar
menutup telinganya. “gue Cuma becanda kali Ta. Hhahahahaha”
“gak
lucu kali gar !”
“lucu
Ta liat kamu panik kaya tadi, makin manis aja”
Aku
mencopot sendalku dan siap menyerang Edgar dengan sandal mahalku itu. “mau gue
tampol pake sandal ?”
“iya-iya
ampun, maaf deh hahaha cieee yang ketakutan, maaf ya” Edgar menarik-narik
hidungku. Seperti biasa.
Aku
hanya memanyun menatap Edgar kemudian ngelonyor pergi meninggalkannya saking
kesalnya pada cowok ini.
“kemana
Ta ?” teriak Edgar menahan langkah kakiku. Sedetik kemudian aku menoleh pada
Edgar.
“keruang
UKS mau ngambil baju buat ganti baju” jawabku datar.
“gak
pengen liat pangeran main basket lagi nih ?” goda Edgar.
“badanku
udah bau keringat, nanti disambung yak” teriakku berlari tanpa menatap kearah
Edgar yang menatapku dari belakang tanpa ku sadari.
Pletak
pletuk suara kakiku menggema di koridor menuju UKS. Hanya ada beberapa anak
yang lalu lalang kemari karna ini juga jalan menuju toilet sekolah. Aku membuka
pintu UKS yang tertutup untuk mengambil bajuku di dalam tasku, tidak ada orang
disini ternyata. Seketika aku melongo melihat Tasku yang isinya berhamburan
keluar. Aku berlari mendekati tasku dengan cepat. Apa yang terjadi pada tasku ?
siapa yang sangat kurang ajar sekali membongkar-bongkar tasku. Aku tidak
memikirkan uangku yang akan hilang, karena uangku ku letakkan di kantung
bajuku, hanya ada uang dua puluh ribu rupiah yang ku selipkan di kantung depan
tasku dan dompetku yang berisi KTP dan SIMku, dengan cepat aku memeriksa
kantung itu—kosong—hanya tertinggal dompetku, syukurlah isi dompetku masih
lengkap.
“sial!
Dua puluh ribu doang di embat juga” rutukku kesal.
Aku
kemudian menghambur keluar UKS dan kemudian berteriak sekuat tenaga hingga
seluruh mata di luar sana menatap kearahku.
“Siapa
yang kurang ajar banget ngebongkar-bongkar tas gue !!!” teriakku kesal.
Semua
mata di luar UKS yang hanya beberapa itu menatap ke arahku dengan tatapan
bingung, aku sudah tidak perduli apa yang mereka pikirkan tentangku, entah
mereka menganggapku kurang waras atau hanya mencari perhatian yang ku inginkan
sekarang hanyalah pertanggung jawaban dari para pengurus keamanan acara ini.
Aku
berlari mencari Tiyo yang bertugas sebagai keamanan acara ini, ku dapati ia
sedang asik duduk mojok di bawah pohon dengan Niar—pacarnya.
“sini
lo !” aku menepuk punggung Tiyo dengan keras hingga membuat Tiyo yang sedari
tadi berkonsentrasi menatap wajah Niar yang sok cantik itu melonjak kaget.
“ada
apa ?” jawab Tiyo bingung.
“elo
seksi keamanan kan ?” ketusku pada cowok yang sudah kuanggap tidak punya
tanggung jawab ini.
“iya,
kenapa memang ?”
“sini
lo !” aku menyeret Tiyo ke ruang UKS dengan paksa dan dengan paksa pula ia
meninggalkan belahan jiwanya itu.
Tiyo
menurut saja mengikuti langkahku, ku seret ia dengan wajah yang benar-benar
marah. Harusnya dia punya tanggung jawab atas tugasnya bukannya mojok di bawah
pohon saja bisanya sampai tas yang di bongkar aja dia gak tau.
“lo
liat tas gue noh ! liat !” aku menunjuk ke arah tasku yang isi perutnya
berhamburan keluar itu. “liat kan ? tas gue di bongkar orang. Gimana bisa ada
orang yang bisa-bisanya ngebongkar tas gue ? sedangkan coba liat, ada tas
beberapa anak lain juga disini, dan tas mereka gak apa-apa, Cuma gue doang yang
di bongkar, gue minta penjelasan dan pertanggung jawaban atas semua ini sama
elo, jangan Cuma bisanya mojok doang !” sambungku geram. Orang-orang yang dari
tadi ada di sekitar UKS sekarang berubah menjadi mengerumungi ruangan UKS
mencari tahu apa yang terjadi.
“ng….ng…
gue gak tau, gue gak ada liatin ruang UKS” Tiyo terlihat gugup mengatasi aku.
“makanya
! lo seksi keamanan, harusnya punya tanggung jawab dong ! profesionalisme elo
mana sih ? sampe yang kaya beginian aja… argghhhh !”
“emang
uang lo ada yang ilang ?”
“iya
uang gue ilang, dua puluh ribu !” teriakku.
“halahhhh
Cuma dua puluh ribu doang paniknya udah kaya kebakaran utan aja” cibir Tiyo
padaku.
Aku
melotot memandang Tiyo. Aku bukannya marah karena uang dua puluh ribu yang
hilang Cuma aku sangat tidak suka dengan ketidak adaan tanggung jawab cowok
letoy ini pada keadaan. Harusnya ia lebih bisa diandalkan. “ini bukan soal uang
bego ! gue Cuma minta pertanggung jawaban keadaan sama elo, harusnya elo bisa
lebih bisa ngawasin, apalagi pada saat
acara kaya gini !”
“Cuma
tinggal beresin itu doang kan beres, gak perlu di perpanjang lagi, Cuma
kayaginian doang” Tiyo sepertinya benar-benar lepas tangan, dengan ringan ia
melangkah pergi meninggalkan aku di UKS.
Kurang
ajar banget sih nih cowok, dasar laki-laki gak ada tanggung jawabnya. Ku lepas
kepergian Tiyo dengan tatapan geram, ingin sekali muka cowok itu ku lempar
dengan batu. Aku kemudian membereskan tasku yang isinya berserakan itu, dan aku
makin di buat terperangah dengan kenyataan yang membuatku sangat terkejut—semua
underwearku hilang—aku mengacak-ngacak rambutku sesaat kemudian. Aku
benar-benar tak menyangka. Ini benar-benar sudah masuk dalam kasus ranah
psikopat. Apa ? apa yang di inginkan orang ini ?—pikirku. Aku kemudian berlari
mencegat Tiyo yang melangkah ingin menghampiri Niar di tengah lapangan.
“dan
elo harus tau, semua daleman gue ilang di ambil tuh orang !” teriak gue di
tengah lapangan tanpa kontrol lagi. semua orang di lapangan menatap kearah ku
termasuk Edgar yang sedang makan—terdiam—aku tak tau apa yang mereka pikirkan
tentang ku, entah kaget, aneh, jijik, kagum atau malah takjub dengan apa yang
barusan saja ku katakan, aku sudah tak perduli.
Tiyo
melotot kaget menatap kearahku. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya
dan semua orang yang ada disini, hanya ada bisikan-bisikan kecil dari beberapa
anak sedetik kemudian.
Aku
menatap kesekelilingku kemudian menutup wajahku dan terduduk di sana—aku
menangis—aku merasa benar-benar malu, aku merasa sangat di permalukan, di
hinakan. Aku sudah tidak tahu apa yang mesti ku lakukan. Rasanya semua harga
diriku telah di rampas dengan paksa keluar dari jiwaku. Bulir-bulir Kristal itu
meluncur deras di pipiku. Apa salahku ? kenapa aku di permalukan seperti ini ?
isakku dalam hati.
Ku
rasakan tangan seseorang memegang bahuku. Membantuku untuk berdiri dan
membawaku pergi meninggalkan lapangan. aku mengira itu pasti Edgar ternyata
tebakan ku salah dia Dimas bukan Edgar. Dimas kemudian membawaku pergi ke UKS
lagi untuk menenangkan diriku. Aku kali ini menurut saja karna aku benar-benar
sudah tak berdaya, semua urat ku mengendur sejak aku mengetahui kenyataan ini.
“gue
malu, Dim” aku melipat kakiku menutup wajahku di lantai. Aku tidak cukup berani
untuk menatap wajah Dimas.
“gue
tau perasaan elo kok,”
Aku
hanya terisak mendengarkan Dimas. Tak ku sangka ternyata aku secengeng ini.
“udahlah,
sekarang elo beresin semua pakaian elo, taroh tas lagi, dan inget ya pesen gue
hati-hati. Malam ini gue bakalan jagain lo”
Aku
hanya diam menatap Dimas. Tak ingin merespon apapun dengan apa yang baru ia
katakan. Aku hanya berharap Edgar yang berkata seperti itu saat ini.
Sekarang
Edgar dimana ???
***
Setelah
kejadian itu sesuai janjinya Dimas selalu ada di sampingku untuk menjagaku.
Anehnya aku cukup risih dengan apa yang ia lakukan ini. sangat berlebihan
menurutku. Masa aku mau ke toilet saja dia harus ikut ? dan akhirnya secara
terpaksa daripada di ngomel-ngomel sepanjang jalan kenangan dan aku dianggap
tidak tahu terimakasih akhirnya ku turuti saja.
Aku
celingak celinguk mencari keberadaan Edgar. Terakhir ku lihat ia tadi menatapku
di lapangan saat kejadian memalukan itu, tapi kok sekarang dia hilang lagi ?
Setelah
7 kali memutari sekolah yang panjangnya kaya jalan ke negeri antah berantah ini
akhirnya aku mendapati Edgar sedang duduk mematung sambil melempar batu di
kolam di belakang sekolah—ngapain dia disitu ?—pikirku.
Kebetulan
Dimas sedang membelikanku minum di kantin yang akhirnya menjadi kesempatan ku
untuk menghampiri Edgar.
“ngapain
disini ?”
Edgar
menoleh kemudian tersenyum kearahku “sini duduk sini” Edgar menepuk-nepuk batu
di sebelahnya supaya aku duduk di sampingnya.
“kenapa
gak ada sama aku tadi ?” tanyaku.
“aku
takut ganggu kamu” katanya.
“lho
kok ?” aku kaget.
Edgar
hanya menunduk diam sambil sesekali melempar batu ke kolam.
“katanya
gak pengen aku kenapa-kenapa, kok ninggalin aku sendiri ?” tanyaku lagi.
“maaf”
jawab Edgar singkat.
Aku
hanya menatap Edgar dari samping. Ku rasa Edgar tampak lucu kalau ku perhatikan
dari sudut ini. mataku menatapnya jauh mendalam, membongkar lagi semua
kenangan-kenangan yang pernah ku lalui bersama Edgar. Semua kenangan-kenangan
indah yang pernah ia torehkan padaku. Semua kata-kata yang ku rekam menjadi
satu cerita dongeng indah dalam hidupku. Semua senyuman yang ku museum kan di
dalam sudut-sudut hatiku. Hanya satu yang membuat ku bertahan semenjak
kepergian Lisa, senyuman Edgar. Terlalu naïf memang dengan artian kata-kata
yang kubutuhkan hanyalah “senyuman Edgar” tapi bagiku itulah kenyataanya.
Itulah yang bisa membuatku ikut tertawa jika melihat sederet gigi mencilingnya
itu menyapaku di tiap pagiku. Itulah dongeng indahku.
“ikut
aku” Edgar menggenggam tanganku kemudian membawaku melangkah menelusuri koridor
sekolah.
Aku
hanya menurut saja mengikuti Edgar yang sangat erat menggenggam tanganku. Aku
dan Edgar semakin berjalan menuju kegelapan di belakang sekolah, aku mulai
merasa aneh. Edgar tak pernah membawaku ke tempat kayak beginian, apalagi
semenjak kepergian Lisa, Edgar lebih suka mengajakku ke tengah banyak orang.
Aku
tak menatap wajah Edgar sedari tadi, aku hanya mengikutinya dari belakang karna
wajahnya hanya menghadap kedepan dan aku tertinggal di belakang punggungnya.
“kita
mau kemana gar ?” akhirnya aku berani angkat bicara soal keadaan ini.
Edgar
hanya diam dan terus menggandeng tanganku melewati koridor ini menuju belakang
sekolah. Sepertinya arahnya menuju ke kelasku. Hah kelasku ? untuk apa ?
Perasaanku
mulai tak enak. Sedangkan langkah kakiku semakin mendekati area belakang
sekolah, benar-benar tak ada orang disini. Hanya aku dan Edgar. Ya, kami
berdua. Karna semua anak berada di lapangan saat ini.
Edgar
memberhentikan langkah tepat di depan kelasku. Aku benar-benar bingung apa yang
ingin dia lakukan. Sesaat sebelum ia membuka pintu kelas..
“gar,
mau ngapain ?” sergahku sekali lagi pada Edgar agar ia mau menjawab
pertanyaanku.
Edgar
melepaskan tangannya dari ganggang pintu kelas dan berbalik kearahku tanpa
melepaskan tangannya dari tanganku. Matanya menampakan keteduhan yang sama,
keteduhan yang selalu aku rindukan di tiap hariku. Wajah itu, wajah itulah yang
mampu membuatku terbuai. Ku tatap lekat wajah Edgar tetap dengan seribu tanda
Tanya yang menggunung yang berjejer di kepalaku.
Edgar
menatapku lekat dan semakin dalam. Mau apa ? mau mesum disini ? Ah gila,
becanda terus ! yang benar saja ?
Dan
ku lihat senyum itu merekah dari bibir Edgar. Senyum yang selalu ku nantikan
menemani hari-hariku. senyum yang akan ku ingat selalu sepanjang sisa hidupku.
senyum itu…
Brraakkkkkkkkkk!!!
Aku
terpental jauh menabrak kursi yang ada di depan kelas 3 IPS 3. Ku rasakan
seluruh badanku hancur karena menubruk kayu itu. Ku rasakan sakit luar biasa di
kepala ku dan sekitar bibirku. Ku sentuh bibirku dengan punggung
tanganku—darah—aku menatap ke arah di mana Edgar tadi berdiri.
Edgar
berdiri dengan senyuman, ya masih dengan senyuman. Tapi aku tak mengenal
senyuman itu kali ini.
“Gar”
lirihku pada Edgar sambil meringis kesakitan. Ku tatap dalam wajah Edgar.
Kenapa Edgar lakukan ini.
Edgar
tersenyum sumringah melihat kearah ku. Ia melangkah mendekatiku.
Aku
menatapnya getir. Aku sangat ketakutan saat ini. suara ku tercekat. Aku tak
mampu berteriak memanggil siapapun. Hatiku hanya dapat menjerit. Tapi, sekuat
apapun aku menjerit tak akan ada seorang pun yang mendengar sebuah—jeritan
hati.
Edgar
mengangkat daguku. Memaksaku untuk berdiri dari sela-sela bangku kayu yang
hancur karna tertimpaku.
“Gar,
kamu kenapa ?” aku menangis.
Brakkkkkkkk!!!
Sekali
lagi Edgar melemparku, kali ini ke tengah sawah di depan selasar kelas belakang
ini. syukurlah sekarang sedang musim kemarau, jadi sawah disini kering sekali.
Edgar melemparku tepat ke bawah sebuah orang-orangan sawah. Aku menatap ke arah
orang-orangan sawah itu—Aaaaaaaaaaaaaaaaaa—aku menjerit sekuat-kuatnya menjauhi
orang-orangan sawah yang bisa berjalan itu. Jenglot sialan itu mengejarku. Aku
berusaha naik ke selasar untuk menyelamatkan diri tapi Edgar menghadangku di
atas. Tanganku yang jadikan tumpuan di tendangnya keras, ku rasa sedikit lagi
tanganku akan patah. Ya tuhan, apa yang terjadi, siapapun tolong aku. Aku
berlari mencari arah lain tapi semua jenglot-jenglot itu mengejarku. Aku
berlari menuju toilet menyelamatkan diri dari pasukan keparat itu.
Tapi
Edgar menarik tanganku, menyeretku tanpa belas kasihan di lantai sepanjang
koridor kemudian melemparku masuk ke dalam kelasku. Tuhan, aku benar-benar tak
sanggup lagi. samar-samar aku menatap Edgar yang kemudian berubah seketika
menjadi wanita keparat itu lagi ! oh tuhan, jadi yang sedari tadi bersama ku
bukanlah Edgar. Lalu Edgar dimana ?
AAAHHHHHH—jeritku
setengah sadar. Aku benar-benar sudah tak berdaya lagi. aku berlari menjauhi
perempuan itu, keluar kelas dan lari sekuatku. Tapi wanita itu kembali
mendapatkanku, dengan wajahnya yang penuh dengan darah dan kuku-kukunya yang
panjang ia menyeretku menuju toilet. Aku berontak sekeras mungkin, tapi tenaga
wanita ini benar-benar tenaga kingkong. Aku benar-benar tak kuasa melawan
perempuan ini. aku menangis sekuat mungkin sambil diseret-seret. Semua badanku
serasa mati rasa. Luka ada dimana-mana. Dan…
Braaaaakkkkkkkkkkkk!
AAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH
LISAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!
Ku
temukan Lisa tergolek lemas di bawah wastafel dengan hanya mengenakan tank-top
dan rok SMA yang sudah lusuh. Wajahnya begitu pucat. Lisa tak sadarkan diri.
“sa,
bangun sa” aku menepuk-nepuk pipi Lisa berharap Lisa bangun.
Tiba-tiba
ku dengar ember yang jatuh di dalam kamar mandi, dengan sisa tenaga yang ada
aku membuka pintu kamar mandi..
Ku
temukan seorang laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan
tutup kepala hitam sedang menggapai-gapai menaiki jendela kecil yang ada di
atas kamar mandi, ku kira ia ingin melarikan diri. Seorang pria separuh baya.
Ia menoleh kearahku dengan tatapan tajam. Di urungkannya niatnya untuk keluar
melalui jendela itu, ia kemudian turun kemudian menghambur ke arahku.
Pria
ini mencekikku kuat hingga aku tersandar di dinding toilet. Aku megap-megap
mengambil sisa oksigen. Ku tatap Lisa yang berada tepat terduduk lemas di
sampingku, belum juga sadar.
“kamu
harus mati” suara berat itu menggema. Aku terus saja menarik nafas dalam-dalam
agar bisa menyambung sisa hidupku.
“ke..
kenapa gue?” suara ku tercekat cekikan lelaki ini. tapi dengan sisa tenaga ku,
akhirnya ku tarik penutup kepala lelaki ini.
Aku
tercengang dengan apa yang berada di depan ku. Laki-laki ini aku sangat
mengenalnya. Aku sangat tahu siapa dia. aku bahkan setiap hari melihatnya.
“pak
warno” aku tak menyangka satpam ini begitu tega terhadapku dan terhadap Lisa.
aku belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi ini.
Pak
Warno hanya menatapku lekat dengan tatapan yan sangat abstrak. Tak tersirat di
matanya bahwa ia bersalah. Apa ? apa yang sedang ku hadapi ?
Braaakkkkkkk!!!
Pak
Warno tersungkur di bawah kakiku. Setelah punggungnya di hantam sesuatu oleh
seseorang.
“Dian?”
lirihku penuh tanda Tanya. Ia menghantam pak Warno dengan sebilah kayu.
Bagaimana ia tahu aku ada disini ?
“cepat,
seret Lisa menjauh dari sini. Lisa masih hidup” serunya. Aku menurut saja. Ku
gendong Lisa keluar toilet dengan semua sisa tenaga ku.
Dian
berjalan tepat di depan ku yang sedang membawa Lisa. aku benar-benar tak
mecerna kata-kata Dian barusan, setelah sesaat kemudian aku menyadarinya—dari
mana dia tahu Lisa masih hidup ?
“Ta!
Menjauh!” seseorang di depan sana menyerukanku. Aku benar-benar tak mengerti.
Aku tahu itu suara Dimas. Bagaimana Dimas tahu aku ada disini ?
Aku
menatap nanar ke arah Dian dengan wajah yang sangat bingung. Sesaat aku
bertatapan dengan Dian, aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba
Dian tersenyum sumringah, memamerkan gigi-giginya yang rapi. Aku tak mengerti
arti senyuman Dian.
Braaakkkkkkk!!!
Lisaaaaaaaaaaaaa!!!
Aku
memekik memecah keheningan malam itu. Entah lah sekarang sudah jam berapa aku
benar-benar tak perduli aku berteriak sekeras mungkin, melihat Lisa yang di
lempar Dian ke tengah sawah. Lisa benar-benar tak sadarkan diri. Aku melompat
ke kerumunan sawah, menghampiri Lisa.
“Sa,
bangun sa” aku mencoba membangunkan Lisa. ku lihat kepala Lisa berdarah,
sepertinya akibat hantaman kayu berpaku yang menjadi penyangga orang-orangan
sawah. Jantungku berdegup kencang melihat keadaan yang menghimpitku saat ini.
aku tak mengerti apa-apa ? aku dan Lisa bahkan tak tahu apa-apa ? Pak Warno ?
Dian ? Arrrgggghhhhhhhhhhhhh
Aku
menatap tajam ke arah Dian yang berdiri diatas selasar. Sinar mataku tak bisa
menutupi betapa marahnya aku saat ini. Dengan yakin aku naik ke atas selasar
menghadapi Dian. aku harus tau dan Dian harus punya tanggung jawab atas semua
ini…
“apa
? apa yang elo mau !” teriakku geram pada keparat sialan ini yang sudah
menghancurkan seluruh kehidupan ku.
Dian
hanya tersenyum. Tersenyum penuh misteri.
“Sialann
lo ! Arrrrgggggg” ku tendang Dian hingga terseret mundur kebelakang. Aku
benar-benar marah saat ini. ku hampiri Dian kemudian ku tarik dan ku lempar ke
tengah sawah tepat di samping Lisa. “Lo liat kan ? itu temen gue ! apa yang
udah lo lakuin ? apa ?” teriakku geram. Dimas hanya memandangku di ujung
koridor, bahkan Dimas pun tak berani bicara saat melihatku marah seperti ini.
“gue
gak suka liat lo bareng-bareng Edgar terus ! gue gak suka !” Teriak Dian di
bawah sana.
Hah?
Apa ? semua ini ? semua yang aku lewati, semua hal yang aku alami ? semua
kutukan ini ? Cuma gara-gara Edgar ?
Taaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrr!!
Suara
petir menggelegar. Tiba-tiba saja dengan waktu yang singkat hujan kembali turun
dan entah kenapa hujan ini begitu deras mengiringi kenyataan yang baru saja ku
terima. Mengiringi jawaban yang ku cari selama ini. aku benar-benar tak
menyangka. Hanya karna Edgar, seluruh nyawaku terancam. Maut hampir saja
memisahkan aku dan Lisa ? perempuan sialan ini benar-benar GILA!
Aku
melompat turun menghardik Dian yang terkulai lemah di bawah sana. Ku lihat
sahabatku itu masih tak sadarkan diri walaupun di guyur hujan seperti ini. Dian
harus membayar semua ini—batinku.
“bangun
lo keparat ! elo harus membayar ini semua !” teriakku memekik di telinganya,
kali ini berada di tengah jenglot-jenglot ini pun tak mampu menepis niatku
untuk menghabisi wanita sialan ini.
“Hahahahahaha”
tawa Dian menggema di tengah guyuran hujan malam ini. Dian memang tak banyak
bacot, tapi sepatah kata yang keluar dari mulut pelacur ini mampu membuat
hatiku makin ingin memotong lehernya.
“gue
minta penjelasan atas kedatangan dewa maut yang hampir aja ngacurin gue dan
Lisa. apa maksud lo?”
“apa
kurang jelas yang barusan gue teriakkin ? gue gak suka lo deket-deket sama
Edgar!”
“gila
apa lo ? Cuma gara-gara Edgar semua kayak gini ?”
“iya
kenapa ? elo gak tau kan derita apa yang gue rasain selama ini ??? 4 tahun Ta, 4
tahun ! 4 tahun gue nunggu Edgar, tapi apa ? semua yang gue lakuin tetep NOL
dimata Edgar, bahkan sejak 3 tahun belakangan ini, semenjak kedatangan lo di
kehidupan Edgar gue jadi apa ? gue jadi transparan ! kenapa harus elo Ta ?
kenapa bukan gue yang bisa sedeket itu sama Edgar. Gue, gue yang slalu ada di
balik tirai saat ngeliat elo dan Edgar berdua. Gue yang slalu baik sama dia
bahkan Cuma dia anggap apa ? gak ada apa-apa. Cuma elo yang terus-terusan dia
cari Ta. Bahkan saat Edgar sakit, gue yang naroh coklat sama kue di depan
rumahnya, dan gue tau Edgar ngira elo yang nganterin itu semua !” Dian menagis.
Aku
terenyuh melihat Dian yang pendiam, Dian yang bahkan sangat tertutup bisa
seliar ini. aku benar-benar tak tahu. Aku menatap mata Dian tajam, tak tampak
sinar kebohongan disana. Dia benar-benar sangat mencintai Edgar sama sepertiku.
Tapi aku benar-benar tak menyangka semua berakhir seperti ini. aku membongkar
lagi semua kenangan, semua memori yang ku simpan.
Waktu itu…
“hai
Ta, morning” Edgar menyapaku pagi ini di depan kelas dengan senyum yang
sumringah sambil menarik-narik hidungku seperti biasa.
“iya,
morning” aku memegang hidungku bekas tarikan Edgar sambil tersenyum.
“hahaha,
itu idung makin mancung aja”
“mulai
deh, aku tau aku pesek. Eh, Edgar udah sembuh ya” aku tersenyum menggoda-goda
Edgar.
“iya
dong, gak betah lama-lama sakit dirumah. Soalnya jarang ketemu Tuan Putri ini
nih” Edgar mengacak-ngacak rambutku.
“aahhh,
gombal mulu nih”
“idih
serius. Eh, makasih ya coklat sama kuenya”
Aku
melotot mendengar penuturan Edgar barusan—coklat?kue?kapan gue
ngasihnya—batinku. Aku hanya menatap Edgar dengan tatapan bingung.
“kenapa
?” tanya Edgar.
“gak,
gak papa” aku tersenyum getir memandang Edgar.
Pikiranku
melesat kembali ke masa lampau. Aku benar-benar tak menyangka ada orang yang
begitu sakit hati saat melihat kebersamaanku dengan Edgar.
“gi..gimana
elo bisa tau ?” tanyaku getir pada Dian sambil menyapu rintikan hujan yang
membasahi wajahku.
“jelas!
Karna gue waktu itu di belakang elo dan Edgar ! lo gak tau kan betapa sakitnya
gue ? gak Ta !”
“tapi
kenapa elo gak pernah ngomong ?”
“penting
ya ngomong-ngomong sama orang lain ?”
“terus
apa hubungannya dengan pak Warno ?”
“Hahaha
Pak Warno ? dia yang menolongku! Aku yang harus banyak berterimakasih sama dia.
karna Dia lah aku bisa melumpuhkan kekuatan kamu. Lisa.”
“apa
?”
“iya,
sebenarnya aku ingin sekali menghabisi sahabat mu itu dan menyuruh pak Warno
menggantungnya menjadi orang-orangan sawah di tengah sawah ini. tapi menurutku
Lisa gak penting, seharusnya elo yang bergelantungan menjadi orang-orangan
sawah disini. Sama seperti mereka semua !”
“apa
? mereka ?”
“Iya,
mereka. Mereka adalah orang-orang yang mati ku bunuh untuk tumbalku agar aku
bisa hidup abadi!” teriak seseorang yang muncul dari kegelapan malam di ujung
sekolah. Pak Warno.
Aku
menatap pak Warno dan Dian yang sekarang berdiri berjajar berhadapan denganku.
“apa ? jadi ?”
“iya
mereka semua manusia. Sebenarnya Lisa hampir saja ku jadikan tumbal, tapi karna
Dian meminta kamu yang mati, jadi dengan sabar aku menunggunya. Lisa hanya ku
sembunyikan di atap gudang sampai malam ini dia ku kembalikan lagi”
“kenapa
Dian ?”
“karna
Dian adalah anakku, dialah yang membantuku mencari tumbal-tumbal ini, dan saat
ia menawarkan kamu jelas aku tidak akan menolak dan sekarang aku lah yang harus
membantunya”
Air
mataku mengalir begitu saja menerima kenyataan malam ini. otakku tak habis
pikir memikirkan semuanya. Bahkan tak ada yang tahu kalau Dian adalah anak dari
pak Warno. Jadi benar, semua jenglot-jenglot itu ? mereka pernah hidup ? mereka
pernah ada ? itu ternyata bukan hanya khayalan. Mereka khayalanku yang nyata. Air
mataku semakin menjadi, ya tuhan kutukan apa ini ?—batinku menjerit.
“Dan
sekarang elo harus tau gimana sakit yang gue rasa !” teriak Dian geram sambil
mengeluarkan sebilah belati dari kantong jeansnya. Dian melangkah mendekatiku.
Aku
mundur saat ku lihat belati tajam itu mengincarku. “Dian!” teriakku. Tapi Dian
tak memerdulikan teriakkanku. Sinar matanya berubah tajam sama seperti tajamnya
belati yang berkilau mengincarku itu. Langkah kakiku terus mundur.
Braakkkkkk!!!
Kakiku
tersagkut di sebatang kayu yang terhampar tepat di bawah selasar, aku terjatuh
hingga kepalaku membentur rongga kayu selasar kelas. Ku rasakan sakit yang luar
biasa di kepalaku, aku tak mampu lagi untuk bangun. Samar-samar di tengah
guyuran hujan ku lihat Dian bersama belatinya tertawa dan semakin mendekatiku.
Ya tuhan, jika ini saat terakhirku maka ku iklaskan seluruh sisa ragaku. Aku
tak mungkin bisa melawan lagi. aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, ku
pasrahkan hidupku malam ini.
“menjauh dari Tata
!” teriak seseorang melompat dari atas selasar.
“Dimas!”
teriakku. Ku lihat Dimas menghardik Dian yang akhirnya tersungkur ke tanah. “Dimas
awas!” teriakku lagi. tapi aku terlambat, ku lihat pak Warno menghantam
punggung Dimas dengan kayu hingga Dimas tersungkur ke tanah. Aku benar-benar
tak mampu berdiri untuk menolong Dimas. Aku hanya bisa menangis melihat suasana
mencekam ini. ku perhatikan Lisa yang terguyur hujan dan Dimas yang ikut tidak
berdaya lagi. siapa lagi ? sekarang hanya ada aku disini. Tak ada yang bisa
menolongku lagi. menggerakan tubuhku saja aku tidak mampu. Suara ku tercekat.
Aku tak bisa berteriak lagi. takkan mungkin ada yang mampu mendengar aku
berteriak di belakang sini.
Hujan
semakin deras. Ku lihat Dian tertawa menatap ke arahku. Sesaat kemudian kembali
melangkah menghampiriku dengan belatinya. Aku hanya bisa menarik nafas dalam.
Menyerahkan semuanya. Aku menangis sekuat mungkin.
“elo
harus ngerasain sakit yang gue rasain, dan elo tau sakitnya sama kaya belati
ini waktu nancap di perut lo !! Arrgggghhhhhhhhh” tanpa basa basi lagi Dian
melayangkan belati itu menuju kearahku.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!
“EDGAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
“matipun
aku harus kembali sama kamu”
***
Seluruh
hidupku telah berhenti. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Semua yang sudah ku perjuangkan.
Semua memori yang telah ku rekam sekarang semuanya telah hancur berantakan. Dan
sampai saat ini ketidak mengertianku akan sikap yang di tunjukan oleh Edgar
selama ini padaku terus menggema dalam hatiku. Akupun tak bisa berbuat apa-apa
saat melihat kenyataan ini. Kadang memang ada keinginan untuk mendahului
menyatakan perasaanku pada cowok itu, tapi mengingat rasanya kurang etis kalau
cewek yang memulai, akhirnya aku mengurungkan niatku. Hingga akhirnya, aku
menyesal. Aku tak sempat mengatakan apapun pada Edgar Dan pada akhirnya
kembali, aku hanya bisa menunggu dengan hati yang senantiasa di penuhi oleh
harapan dan tanda Tanya.
Hingga
saat aku melihat jasad Edgar terbujur kaku di dalam peti mati aku tak bisa lagi
menunggu. Semua yang ku lewati, berakhir seperti ini ?
Kembali
terbongkar semua tawa yang pernah di torehkan Edgar padaku. Ingin sekali aku
memutar kembali waktu. Tapi andai saja semudah itu.
“Gar,
kamu belum sempet Gar. Kenapa kamu ninggalin aku secepet ini. seharusnya kamu
gak perlu ada waktu itu” aku menangis memeluk jasad Edgar. “aku sayang sama
kamu, seharusnya kamu tau perasaanku”
Edgar
meninggalkan aku dengan jasanya yang sangat berarti di hidupku. Dia meregang
nyawanya untukku sampai dia harus pergi. Aku merasa sangat gagal membahagiakan
Edgar. Semua mata yang hujan menatapku menangis saat aku bersimpuh di sebelah
Edgar. Aku berharap ini mimpi, tapi tuhan ternyata tidak mengijinkan kenyataan
ini menjadi dongeng tidurku.
“Ta,
udah Ta. Biarin Edgar pergi dengan tenang” Dimas mencoba menenangkan aku.
“Dia
ninggalin gue dengan beribu beban Dim”
“iya
gue tau, tapi kalo elo gini, dia gak akan bahagia”
“gue
gak bisa bahagia tanpa dia Dim!” aku menangis sejadi-jadinya.
“Hey-hey coba lihat
cowok itu, dia ninggalin elo dengan semua kenangan indah, cowok ini yang pernah
ada ngehias hari-hari lo, dia juga sayang banget Ta sama elo, asal elo tau aja.
Sulit nyari orang yang sama kaya edgar yang mau meregang nyawanya buat orang
yang dia sayang, coba liat dia. jangan bikin dia sedih Ta, dia pasti gak pengen
lo kaya gini terus.” Dimas memelukku erat mencoba menenangkan aku.
matipun aku harus kembali sama kamu
EDGAR!!!!!!!!!!
***
Semenjak kejadian
itu. Seluruh hidupku berubah 180 derajat. Dian dan Pak Warno kini mendekam di
penjara. Lisa mampu sadar setelah 2 hari di rawat di rumah sakit dan Dimas
sekolah dengan menggunakan perban di kepalanya akibat terbentur kayu di sawah
tempo hari. Tapi sekarang tak ada lagi yang menarik-narik hidungku setiap pagi.
Takkan ada lagi yang menyapaku dengan mengacak-acak rambutku. takkan ada lagi yang
melambaikan tangan saat ku perhatikan sedang bermain basket. Takkan ada lagi
cowok yang selalu kadang datang dan kadang enggak. Takkan ada lagi cowok yang
mengirim pesan yang sangat pendek untukku tapi mengubah seluruh agenda hidupku.
Takkan ada lagi .. Sekarang… Edgar sudah tak ada. Edgar pergi selama-lamanya
tanpa sempat memberitahukanku sesuatu yang dari dulu ku tunggu. Hingga pada
akhirnya aku hanya bisa menunggu untuk selamanya. Aku hanya bisa berharap,
kiranya suatu saat nanti, aku akan mendapatkan kepastian cinta dari cowok idola
dan pujaan hatiku itu, Edgar.
Semua kejadian ini
telah merangkai kehidupanku. Kutukan dan malapetaka ini membuat ku mengerti
tentang arti waktu dan seseorang, penantian dan perjuangan. Hidup ini bukan
hanya tentang kebahagiaanku saja, tapi juga kebahagiaan orang lain.
Edgar, terimakasih.
Terimakasih atas waktu yang pernah kamu berikan, terimakasih atas senyuman yang
selalu mewarnai hariku bagaikan pelangi. Terimakasih atas semua pengorbanan
yang kamu lakukan. Berjanjilah padaku untuk terus hidup dengan baik, Edgar.
***
Aku menatap nanar
keluar kelas.
Semua jenglot itu sekarang sudah di cabut Gar, sekarang
gak akan ada lagi harapan untuk jenglot raksasa itu terbang ke surga memakai
sayap berbulu Gar. Sekarang aku gak akan takut lagi datang kesekolah. Edgar
jangan khawatir sama Tata lagi—batinku bicara.
Aku
berdiri dan meninggalkan kelas yang sudah sangat sepi. Sekolah sudah sangat
sepi, Karena sudah sejam yang lalu bubaran. Aku melangkah melewati koridor dan
melihat ke leretan sawah tempat dimana malam itu aku mempertaruhkan nyawa.
Tata…
Suara
berat itu samar-samar terdengar masuk dalam rongga telingaku. Seseorang
memanggil namaku. Suara berat seorang wanita. Aku memutar tubuhku mencari arah
suara itu menggema. Ku lihat wanita itu berdiri di ujung koridor dekat toilet,
berdiri dengan tatapan tajam kearahku, masih dengan wajah yang berdarah dan
mulut yang hampir robek.
Aku
hanya menatap wanita itu. Perasaan takutku yang mencuat sekarang kembali
menciut. Wanita itu sekuat tenaga berusaha tersenyum kearahku.
Entah
siapa wanita itu, aku tak ingin menetahuinya. Sedetik kemudian wanita itu
menghilang dari pandanganku. Aku hanya tersenyum. Kemudian kembali melanjutkan
perjalananku menuju luar sekolah.
Terimakasih…
Suara
itu kembali menggema di seluruh koridor dengan jelas. Aku hanya tersenyum entah
pada siapa pun itu.
***
“kemana
Ta ?” Lisa meneriakki ku.
“jenguk
Edgar” jawabku pada Lisa tersenyum.
“kemarin
kan udah ?”
“tiap
hari dong, aku gak akan absen jenguk dia tiap hari” aku berlari meninggalkan
Lisa sambil tertawa.
SEKIAN
(Dedicated To My Beloved Friends)
Aidha Aprilyza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar