Selasa, 10 Desember 2013

Cerpen : Orang-orangan sawah ditengah sekolah



 Cerpen horor pertama, yang gak ada serem-seremnya, maklum ya, masih amatir :"D
 check this out!

Mataku menyapu sekeliling sekolah sebelum aku melangkah masuk ke dalam gerbang sekolah ini. Sekolah yang berdiri angkuh dengan tiang-tiang yang seperti tak akan pernah rubuh walau di terpa angin badai tornado dari negeri antah berantah. Aku menatap ke segala arah. Kemudian menarik nafasku dalam sambil berdoa di dalam hati berharap aku akan baik-baik saja hari ini berada di sekolah ini. Aku beragak seperti seorang anak baru, padahal aku sudah sekolah disini setahun yang lalu. Aneh bagiku rasanya, aku tak merasa nyaman sekolah disini. Makanya setiap hari aku merasa menjadi anak baru di sekolah ini.
                Satpam sekolah tersenyum lebar kepadaku saat aku memasuki gerbang sekolah. Aku hanya menatapnya sinis, sama sekali tak membalas senyuman satpam sok charming itu. Dia memang ramah, hampir setiap hari saat aku mau melangkah masuk ke sekolah ini, dia selalu menyambutku dengan senyum manis yang memamerkan sederet gigi mencilingnya. Mungkin gigi-gigi itu kian hari kian bertambah panjang. Tapi entah kenapa ngilu sekali rasanya untuk menarik ujung bibirku dan tersenyum kepada warga sekolah ini.
                Aku tidak tahu. Bagiku ini sebuah mimpi buruk. Kira kira setahun yang lalu aku menginjakan kaki ku di sekolah ini sebagai seorang anak baru. Entah apa yang membuatku memilih sekolah ini. Tapi inilah yang terjadi pada hidupku sejak setahun lalu. Hidupku berantakan.
                Wait, tapi ada satu hal yang membuatku bertahan untuk tetap berada di sekolah ini …
                Seorang laki-laki berperawakan sedang dengan tubuh hitam manis melangkah melewati lapangan basket dengan angkuhnya. Matanya tiba-tiba mengarah ke arahku kemudian menyunggingkan senyum manisnya itu.
Dia…
Dialah hal yang membuatku tetap bertahan disini. Hal yang lebih menarik dari segala hal di sekolah ini. Hal yang lebih menarik dari ulangan. Hal yang lebih menarik dari pelajaran bahasa inggris. Aku bahkan tak tau kenapa aku bisa sangat menyayanginya.
                “Tata !” serunya membuyarkan ku dari lamunanku.
                Aku hanya tersenyum tipis kaku menatapnya. Ia melangkah mendekatiku. Seperti ingin menyapaku. Aku selalu bersiap untuk menyambutnya dengan senyum semanis mungkin. “ya” jawabku singkat padat jelas dan tentunya sangatlah berisi.
                “tumben pagi datangnya ?”
                Aku langsung melongo mendengar pertanyaan tolol itu keluar dari mulut laki-laki semanis dia. Cowok bernama Edgar ini.  Aku langsung menarik nafas dalam-dalam dan panjang-panjang. “gak tidur” jawabku singkat. Perlukah di bahas aku hari ini bangun pagi ? tanyaku dalam hati.
                 Dia tertawa. Mengacak-ngacak rambutku seperti biasa. Dan satu lagi menarik hidungku. Dia selalu lakukan itu tiap pagi. Entah ritual, atau apa. Dia tak pernah absen lakukan itu tiap menyapa ku pagi hari di sekolah. Sepertinya hidungku semakin hari semakin mancung saja. “kenapa kamu suka banget narik hidung ku !” pekik ku.
                “ya…”
                Aku menatapnya tajam.
                “ya karna aku suka” dia tertawa lebar seperti lolongan ayam di pagi hari.
                “sarap” desis ku. Dia hanya tertawa.
***
                Sekolah ini bukannya sekolah satu-satunya yang ada di kotaku. Di kotaku masih ada sepuluh sekolah ternama yang perlu ku catat untuk bisa di jadikan pilihan, tapi tentu saja tidak termasuk sekolah ini. Entah hanya aku saja merasakan ini atau masih ada teman-temanku yang lain merasakan hal ini, aku tidak perduli karna itu bukan urusanku. Ya ku akui sekolah ini menyimpan pemandangan yang mungkin cukup untuk membuat mata ini menambahkan vitamin A karena berada di tengah sawah. Ya, tengah sawah. Bisa kalian bayangkan bagaimana setiap pagi kita melihat sekeliling kita hanya sawah, hijau. Atau mungkin pada saatnya nanti menguning. Di belakang sekolah ini terdapat hutan yang cukup lebat, aku selalu saja membayangkan hal yang tidak-tidak jika menatap menghadap hutan itu saat menatap keluar jendela kelasku. Yah, aku ini seorang yang sangat suka berkhayal, tapi terkadang khayalan dan imajinasi ku itu bisa di luar batas kesadaranku dan aku yakin ini bukan indra ke-enam. Ini hanya sebatas khayalan gadis remaja biasa, aku selalu berfikir seperti itu karna aku adalah orang yang paling takut menghadapi kenyataan dan masa depan.
                Sekolah ini mempunyai banyak perbedaan tidak seperti sepuluh sekolah yang perlu di catat yang aku katakan tadi. SMA Bumi Prima 2, begitulah sekolah ini di sebut. Sekolah ini berbentuk memanjang karena lahannya yang cukup luas, dan aku yakin jika malam tiba sekolah tak mempunyai penerangan yang cukup, tapi untuk urusan fasilitas sih ya masih bisa di katakan oke, karna saking luasnya sekolah ini punya banyak ruangan dan lengkap tapi ini yang terkadang membuat ku cape jalan, soalnya jauh. Berbicara soal sawah, tentunya sawah mempunyai satu hal yang sering sekali kita lihat, benda ini di pasang untuk menakut-nakuti ular, tikus atau hama apapun jenis dan spesiesnya yang akan mengganggu padi. Ya, orang-orangan sawah. Tak ada bedanya dengan sawah-sawah yang lain, sawah modern atau pun sawah primitif, sawah di sekolah ku pun sama adanya, berjejer berbagai macam dan jenis orang-orangan sawah. Ini lah yang selalu mengganggu kenyamanan hidupku berada di sekolah ini. Aku sangat takut dengan jenis boneka yang menurutku sangat mirip dengan jenglot raksasa itu dan aku harus melihat jenglot raksasa itu tiap hari, tiap pagi, siang sampai sore, selama tiga tahun aku bertapa di sekolah ini. astaga! Ini mimpi buruk. Dan sebelum aku mendaftar di sekolah ini, aku tidak tahu bahwa sekolah ini mengoleksi jenglot raksasa itu di setiap sudut, tengah, samping kiri dan kanan sekolah itu. Akhirnya akulah yang harus membiasakan diri untuk menyapa jenglot raksasa itu setiap hari, yang benar saja ? Cukup, ku rasa ini Cuma perasaanku saja, mungkin saja Cuma aku yang terlalu banyak berkhayal. Tapi, ya tetap saja aku takut dengan boneka !
                 
                “setelah ini pasti mikirin kenapa jenglot raksasa itu gak terbang aja jadi malaikat di surga dengan memakai sayap berbulu ? Hahaha” seseorang menyentak ku dari lamunan panjangku di depan kelas. Sepertinya ia memang tahu apa yang sedang aku pikirkan.
                “Sotoy sih” kataku menampik tebakan Edgar. terkadang cowok ini tahu dan mengerti apa yang aku rasakan. Mungkin yang aku pikirkan juga. Ku kira cowok ini punya indra ke enam, karna ia bisa saja tepat menebak isi kepalaku yang menghasilkan kata-kata konyol dan seperti otak orang sakit jiwa.
                Edgar mengangkat alis kanannya. “bener kan ? hahaha” Edgar tertawa dengan tawa khasnya sambil menarik-narik hidungku. Ia selalu lakukan itu, entah kenapa ?
                Aku menatap air muka Edgar. Tawa itu begitu manis. Sudah 2 hari aku tak melihat sederet gigi-gigi menciling cowok ini. tawa ini yang selalu membuat ku bertahan untuk tetap ada. Aku selalu saja mengelak dari tuduhan batinku. Mengingat Edgar saja sudah cukup bagiku. Tapi kadang cowok ini hilang entah kemana, sesekali datang menyapaku kemudian hilang entah kemana, kemaren datang memberikan sekotak kue brownies lalu hilang lagi. Tapi ia selalu datang juga dengan sms-sms singkatnya yang selalu membuatku tersenyum sendiri jika membacanya. Seperti beberapa hari yang lalu, aku benar-benar tidak tahu Edgar berada dimana, tak ada kabar seperti biasa, dering hapeku Cuma isinya broadcast message semua. Kemudian ketika malam datang, aku ingat sekali itu jam 22.10 karna mataku saat itu belum juga tertutup. “aku ada di bandung nih, ada urusan mendadak. Laporan selesai, hehehe” aku tersenyum menatap layar hapeku. Singkat, tapi selalu bisa mengubah agenda hidupku.

                Tet-tet-tet
                Bel tanda masuk berbunyi. Sialan, desisku dalam hati. Setelah ini kelas Kimia. Bagiku neraka akan di mulai beberapa saat lagi.
                Aku gak pernah habis pikir kenapa kimia di masukan dalam materi kelompok belajar IPA. Secara logika, apa gunanya menghitung atom-atom kecil yang gak bisa di lihat oleh mata telanjang itu ? itu adalah satu hal yang menurutku bisa di deskripsikan dengan kata “kurang kerjaan”. Rumus kimia itu pun bertele-tele sekali, terlalu banyak peraturan dengan dinamika-dinamika yang di buat-buat oleh para ilmuan “kurang kerjaan” itu. Seandainya para ilmuan itu tidak “kurang kerjaan” pasti di jaman se-modern ini, jaman di mana semua hanya dipikirkan melalui logika bukan hitung-hitungan atom sialan itu. pasti tidak akan ada yang namanya Kimia. Sungguh sangat ku sesalkan hal ini sampai terjadi.
                 Aku menatap Nanar ke arah Lisa yang melangkah ke arahku, entah dari mana anak itu, baru saja aku melihatnya.
                “baru kelihatan ?” tanyaku.
                “habis makan di kantin, kamu kan di kelas terus makanya gak liat kan ?” jawab Lisa sembari duduk di bangku sebelahku.
                “oh” jawabku datar.
                “this is kimia class time, Ta” Lisa tergelak menatapku yang memanyun sedari tadi. Itu wajar, karna dia sangat tahu aku sangat membenci pelajaran yang ku laknat dari kehidupanku itu. Aku sangat goblok dalam pelajaran ini. seluruh hal yang di jelaskan Bu Muria di depan dengan bahasa standar para guru kimia pun tetap tidak bisa ku pahami. Seperti bahasa alien, gerutu ku tiap pelajaran ini berlangsung. Ingin saja molekul-molekul atom tak jelas itu ku musnahkan dari bumi ini, tapi itu tak mungkin ku lakukan.
                “jam-jam yang buruk” kataku pada Lisa sambil melihat Bu Muria masuk dan duduk di meja guru bersiap menjelaskan pelajaran “kurang kerjaan”. Aku kemudian membuka catatan kimia ku yang isinya hanya sketsa-sketsa dan gambar-gambar imajinasiku yang ku tuangkan di dalam buku ini, mengisi kekosongan dan kebosanan dalam dua jam pelajaran kimia. Ya, aku memang suka melukis. Aku bersyukur di berikan bakat yang tidak semua orang bisa miliki ini, aku mampu melukis wajah seseorang dengan hasil yang mirip sekali dengan aslinya. Terkadang aku hanya mengimajinasikan wajah seseorang dan aku sudah mampu melukisnya di dalam bayanganku itu. Tapi yang tahu aku bisa lakukan hal ini Cuma beberapa teman di kelasku dan…Edgar..
                Mataku menatap keluar kelas yang menghadap ke sawah. Tiba-tiba Edgar melintas dengan gaya khasnya yang membuat mataku seolah di halangi untuk berkedip. Aku kemudian berhenti mencoret-coret buku catatan kimia ku, mataku menyapu ke depan kelas, kemudian aku menopang daguku dengan tangan kananku dan tersenyum sendiri sambil menatap bekas bayangan Edgar yang melempar senyumnya padaku sesaat yang lalu. Wajah cowok manis ini yang selalu membuatku bertahan di sekolah ini. dia punya perawakan yang sedang, dengan mata teduh yang indah dan selalu punya senyum yang mengagumkan. Dia punya gaya sendiri. Tapi aku selalu saja menampik perasaan ini. aku tak pernah mau berlalu dengan perasaan yang tak jelas seperti ini. entah apa yang salah dengan ini semua ? sudah jelaskan ? sudah ku jelaskan semua. Edgar memang bukanlah pacarku dan aku yakin ia hanya menganggap semua ini biasa, sama seperti yang ia lakukan dengan perempuan lain. Bisa saja ? tapi aku begitu merasa dekat dengannya. Berbeda. Tapi tetap ! aku tak mau berlalu dengan perasaan ini. aku tak mau ke Ge-Eran dengan semua ini. aku selalu berusaha.
                “dari soal tersebut tentukanlah elektron valensi-nya ? Tata !” sentak Bu Muria di depan kelas membuyarkan seluruh lamunan ku.
                Aku terdiam menatap ke depan. Tubuhku mulai di tumbuhi keringat-keringat tak beraturan. Sialan, guru ini sepertinya tidak senang sekali melihat anak muridnya sedikit bahagia, atau hari ini aku memang sedang sial sampai-sampai di berikan pertanyaan sialan ini, arggghhhh ! batinku berteriak dan meronta bahwa aku gak ngerti.
                “ng…gak..gak ngerti bu” jawabku getir setengah mati.
                “terus ngapain aja kamu dari tadi senyum-senyum sendiri ?”
                Seluruh mata di kelas menatapku seolah menertawaku. Pastilah mereka berfikir betapa dongonya aku saat itu. Aku hanya menghela nafas panjang, aku tidak perduli lagi dengan urat malu ku saat ini.
                “gak ada apa-apa bu”
                “apa kamu ngantuk ? kalau kamu ngantuk silahkan ke toilet sana mencuci mukamu dan kalau perlu mencuci otakmu itu yang mungkin sudah berdebu karna pikiranmu yang kotor sekali” tegas Bu Muria.
                Guru “kurang kerjaan” sialan. Desisku dalam hati.
                Plaakkkkkkkkk ! aku memukul mejaku dengan telapak tanganku dengan brutal. Seluruh mata menatap ke arahku dan aku sudah tidak perduli.
Tanpa banyak bacot aku berdiri dari tempat dudukku dan kemudian tanpa permisi aku langsung keluar dari kelas. Aku yakin guru itu akan mengerti aku sangat tidak suka dengan kata-katanya. Aku tak menyangka guru itu ternyata membenciku lebih dari yang aku tahu. Aku menatap Bu Muria tajam, nanar mataku mengeluarkan tanda kebencian dalam. Aku sudah tak perduli nilai ku akan di gencetnya atau tidak, yang aku tahu dia adalah guru yang tak punya sopan santun dalam bicara. Padahal selama ini Bu Muria terlihat baik-baik saja padaku, entah apa yang telah terjadi ? hari ini membuat semuanya berubah bagiku. Aku makin membenci pelajaran laknat itu.
Aku melangkah tanpa arah kali ini, aku tak tahu ingin pergi kemana. Koridor sangat sepi karna jam pelajaran masihlah berlangsung. Entah kenapa saat ini aku merasa koridor ini sangatlah panjang dan aku sangat lelah untuk melangkah.
Plaakkkkkk !
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan kencang membuatku spontan menoleh dan langsung ingin menyemburnya dengan makian ku yang tak berujung, karna mood ku sedang berada di ujung jurang saat ini.
“Lisa ? ngapain kamu disini ?” aliran darahku yang meninggi seketika turun dan berubah menjadi perasaan dongo ketika melihat Lisa disini.
“aku keluar juga dari kelas mau ngikutin kamu” katanya polos.
“bodoh ! gimana caranya ?”
“aku minta izin ke toilet, padahal aku gak bakal balik-balik lagi hehehe” jelasnya.
Uratku rasanya kendor semua setelah mendengar penjelasan Lisa. Teman ku ini memang sangat baik padaku, di saat-saat aku seperti ini dia selalu saja berusaha ada walaupun dia mengorbankan semua waktunya. Lisa memang teman yang ku rasa satu-satunya mengerti aku sekolah disini sejak pertama kali aku menginjakan kaki di sekolah ini. aku sangat menyayanginya bagaimanapun dia.
Aku menatap Lisa sangat dalam. Lebih dalam dari biasanya karna aku menangkap sesuatu tapi aku tidak tahu apa yang ku tangkap.
“hey, jadi jadwal kita bolos pertama kemana nih ?” Tanya Lisa melambai-lambaikan tangannya di depan kedua mataku berusaha membuyarkan lamunanku.
“oh eh, kita ke perpustakaan aja, sekarang kan masih jam pelajaran, pasti sepi, aku mau nenangin pikiran” jelasku sedikit terkejut awalnya.
“jangan deh, temenin ke wc duluan yah, aku kebelet pipis beneran nih Ta hehehe” pinta Lisa.
“iya deh, aku temenin” padahal aku sangat malas.
Lisa kemudian menggandeng tanganku melangkah melewati koridor yang samping-sampingnya di isi oleh mading tak terurus yang sangat aku prihatinkan menuju ke bagian yang menurutku ujung sekolah, ya, hebatkan ? toilet di letakkan di ujung sekolah. Kami para warga sekolah sebenarnya ingin protes kenapa toilet harus di letakkan paling ujung dekat dengan laboratorium biologi yang di ujung juga dan ujung-ujung ini lah yang selalu membuatku parno, bukan aku saja setiap orang parno untuk ke toilet sendiri, karna selain jalannya jauh tapi juga sepi dan kami tidak punya pilihan toilet alternative lain di sekolah ini kecuali kami semua bersedia membawa pispot masing-masing dari rumah dan itu sangatlah tidak lucu untuk ukuran anak kelas dua esema.
Sepanjang koridor benar-benar sepi kali ini, aku melihat sekelilingku tak ada orang, semua masih belajar. Entah saja tiba-tiba aku merasa ada yang mengikutiku dan Lisa sedari tadi tapi ku abaikan karna ku rasa itu hanya perasaanku saja.
“tungguin di luar yah, ingat yah jangan lupain aku, aku di dalam” kata Lisa dengan seribu gaya kepolosannya.
Aku hanya mengangguk saja, tak merespon kata-katanya karna aku asik berkutat dengan pikiranku yang sedang amburadul sekali saat ini. Lisa kemudian masuk dan mengunci pintunya.
Aku duduk di bangku panjang yang di letakkan di depan toilet sambil menunggu Lisa. Aku melihat sekelilingku yang di penuhi tumbuhan kuning yang sebentar lagi sudah bisa di panen itu menurutku.
Aku benar-benar menjadi merasa sendirian saat duduk di depan toilet itu sendirian, aku tidak habis pikir, sekolah ini seakan tak berpenghuni padahal ini baru menunjukan pukul 10.30 di jam tanganku. Aku menatap sekelilingku dengan tatapan was-was, perasaanku sungguh tak enak.
Mamaaa…
Suara berat itu terdengar di gendang telingaku. Samar-samar.
Mamaa….
Makin jelas suara samar-samar itu terdengar berubah. Semakin jelas merasuk ke dalam telingaku. Aku menatap ke sekelilingku, dengan cepat aku menoleh ke toilet tempat Lisa masuk barusan, tapi Lisa belum menampakkan tanda-tanda keluar toilet.
Mamaa…
Suara itu terdengar lagi. Suara berat. Suara seorang gadis meneriakkan nama mama tapi terdengar sangat berat seperti menahan tangis. Aku berdiri dari tempat dudukku kemudian mencari-cari asal suara itu, mataku menyebar keseluruh penjuru. Tapi, benar. Tak salah lagi. Tak ada siapapun disini kecuali aku dan Lisa yang berada dalam toilet. Tapi aku yakin ini bukanlah halusinasi ku semata.

Mamaa…
Ini suara ke empat yang di keluarkan gadis itu. Aku makin gelisah, telinga ku menuju ke langit-langit koridor yang menghubungkan dengan toilet ini, suara itu berasal dari situ, entah kenapa perasaanku berkata begitu. Aku menatap langit-langit koridor itu, tapi setelah itu tak ada suara lagi, bulu kudukku merinding, aku benar-benar takut kali ini, ini serius! Ini tidak main-main! Aku sungguh mendengarnya, suara itu ada.
Kegelisahanku tak berujung saat Lisa tak juga keluar dari dalam toilet. Ini sudah lebih dari 15 menit Lisa berada di dalam sana. Bagaimana bisa dia begitu betahnya bertahan di dalam toilet yang menurutku, naujubilah harumnya semerbak itu.
Aku kemudian melangkah menuju pintu toilet Lisa, dan berniat menggedor Lisa yang sangat betah berada di dalam sana.
“Lisaa !” dordordor “Lisa!Lisa! lama banget sih gak keluar-keluar, ngapain di dalam?” dordordor.
Aku terus saja menggedor Lisa. Perasaanku benar-benar tak enak berada disini. Tapi Lisa tak juga menyahut.
“Lisa! Lisa!” pekikku makin menjadi. Aku benar-benar panik ingin segera berlari dari tempat ini. tapi tetap tak ada sahutan dari Lisa.
“Lisa !” teriakku makin panik. Tapi masih tak ada sahutan. Tak mungkin Lisa tak mendengar suaraku yang sekeras ini, dan menurutku masih dalam frekuensi dan radius yang kurang dari satu meter.


Brakkkkkkkk!! Aku mendobrak pintu toilet dengan kakiku.
Aaaaarrrrrrrrrrrrrrhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!
Aku berteriak sejadi-jadinya. Air mataku tak sanggup ku bendung lagi. Aku benar-benar takut. Apa yang barusan ku lihat ? apa ? apa ! tidak ada. Lisa tidak ada !
“Lissaaaaa !!!!!!”
Lisa dimana ? Lisa dimana ? jawab aku !
Lisa tidak ada di dalam toilet dan toilet masih terkunci. Dari mana Lisa keluar ? aku benar-benar tak habis pikir apa yang sedang terjadi padaku. Sekarang yang aku pikirkan aku hanya berharap aku hanya sedang bermimpi buruk dan sebentar lagi terbangun. Aku sangat yakin, 15 menit yang lalu Lisa masuk ke dalam sini dan sekarang Lisa tidak ada dengan pintu toilet yang masih terkunci. Ini ternyata bukan mimpi burukku, ini kenyataanku.
Aku berlari secepat mungkin meninggalkan toilet, melewati koridor yang sangat sepi itu sekarang sendirian tanpa Lisa. Aku menangis sejadi-jadinya karna ketakutanku, otakku buntu tak terarah sekarang, sukses!
Seluruh mata menatapku yang sedang menangis sambil berlari saat melewati kelas-kelas yang berada di koridor belakang. Mereka semua berdiri. Aku berteriak sejadi-jadinya, melewati koridor, aku tak tahu harus berlari hingga mana. Tak hentinya mataku mengeluarkan air mata. Bahkan sekarang seluruh sekolah sukses ku buat terperangah karena ulahku.

Brraaakkkkk !
Aku menubruk sesuatu hingga aku terpental mundur di depan kantin.
“kamu kenapa ?” Tanya seseorang dengan sedikit nada panik menanyaiku sambil memegang kedua bahuku.
Aku lemas. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa. Semua kata-kataku telah ku keluarkan saat berteriak sepanjang koridor tadi. Aku mengusap mataku yang di penuhi air mata. Aku sangat lemas.
“kamu kenapa ?” tanyanya lagi.
Aku terdiam kemudian mencoba menatap kearah matanya. Ternyata orang itu adalah Edgar. Aku sangat bersyukur Edgar ada sekarang tapi .. “Lisa hilang di toilet dan aku gak bisa nemuin dia..” jawabku lemas dengan sedikit penjelasan agar semua orang mengerti kenapa aku sampai bisa seperti ini, kemudian semua gelap.

***
“dimana kamu ninggalin Lisa ?” Tanya pak Munir sesaat aku membuka mataku. Samar-samar ku lihat raut wajah pria berumur menatap kearah ku. Mataku menyapu pandangan dan aku langsung tahu bahwa aku di UKS, dan aku teringat sesuatu.
“mana Lisa ! mana Lisa ! aku harus ke toilet !” aku menghardik seluruh orang yang memegang tangan dan kakiku di ranjang UKS itu. Aku ingin langsung berlari menuju toilet dan mencari Lisa. Akhirnya aku menyadari, kejadian tadi bukanlah mimpiku di siang bolong, itu benar-benar nyata. Lisa benar-benar hilang, dari mataku dan dari mata semua orang. Semua orang menahan ku agar aku tak berlari ke toilet lagi. Tapi aku terus saja menjerit memanggil-manggil nama Lisa. Aku tak bisa terima, sahabatku hilang begitu saja, tanpa sepengetahuanku dan dengan cara yang sangat JANGGAL.
“tenang ta, tenang, kita hadapi ini sama-sama” kata suara seseorang yang aku kenal dan aku tahu itu Edgar.
“enggak ! Lisa hilang gar, Lisa hilang ! aku harus cari dia !” aku menghambur keluar tapi tenaga ku kalah kuat dengan seluruh teman-temanku yang menahanku dan berusaha menenangkanku.
“kasih dia minum dulu” kata pak Munir dengan nada suara khas prianya yang berat.
Edgar memberikanku segelas air putih. Aku kemudian terduduk di kursi atas paksaan tenaga Edgar yang terus saja merangkulku dan memaksaku duduk dan akhirnya menuruti semua kemauan mereka yang berada disini.
“bagaimana ceritanya ?” Tanya pak Munir lagi padaku. Guru bahasa inggris ini terlihat sangat serius bertanya padaku. Padahal aku sangat tahu selera humor guru ini sangat bagus, ia bahkan sangat mengenalku dan sekarang selera humor itu sangat hilang saat mendapati situasiku yang seperti ini.
“aku nganterin Lisa ke toilet. Dia suruh aku nunggu di luar kaya biasa. Tapi Lisa lama banget gak keluar-keluar pak. Terus gara-gara ku panggil-panggil dia gak nyahut nekat aja ku dobrak pintunya, ternyata Lisa gak ada disana” aku kemudian menangis setelah menceritakan kejadian itu pada semua orang disini. Dan semua orang yang menatapku penuh tanda Tanya di luar sana yang membuat UKS sesak dan serasa pengap karna kepenuhan tampungan mereka yang penasaran dengan ceritaku.
Mereka menatapku seolah tak percaya. Aku terus saja terisak karena sampai sekarang perasaan takutku tak kunjung hilang. Aku sangat khawatir pada Lisa yang menghilang begitu saja di dalam toilet sekolah.
“Lisa benar-benar hilang ?” tanyaku sontak membuat semua orang di UKS terperangah. Aku masih saja tidak percaya dan berharap ini mimpi burukku saja dan sebentar lagi aku terbangun.
Semua mata menatap ke arahku. “bilang padaku ini Cuma mimpi gar?” pintaku pada Edgar. Aku makin terisak menatap muka Edgar yang beku menatapku. Ia hanya berkedip.
“ini bukan mimpi buruk ta, Lisa benar-benar hilang di toilet” Lirih Edgar menjelaskan padaku.
“kasus ini kita serahkan ke polisi, polisi sedang memprosesnya dan sekarang sedang melakukan penyidikan” jelas pak Munir kemudian.
Aku menangis memeluk Edgar. Aku benar-benar tak kuasa mendengar semua ini. Lisa, sahabatku sekarang hilang dengan JANGGAL di balik mataku.

***
Kabut pagi ini di sekolah membuat ku sangat enggan melangkah dari depan gerbang menuju kelas yang berada di ujung kulon itu. Ini sudah hari ketujuh dimana menghilangnya Lisa dari penglihatanku dengan JANGGAL. Aku tetap tidak percaya Lisa menghilang begitu saja. Aku masih saja mencari-cari dimana Lisa. Karna aku yakin, ini bukan hal yang wajar.
Kehidupanku sungguh berubah selama tujuh hari ini. semenjak kepergian Lisa membuat segalanya berubah. Polisi pun belum menunjukan tanda-tanda bahwa telah mengusut tuntas kasus ini. Orang tua Lisa syok berat mendengar kabar menghilangnya Lisa sejak hari pertama. Ibu Lisa nyaris saja menjadi gila karna kejadian ini.
Lisa, dimana kamu ? sial. Aku sangat rindu pada Lisa.
Bunyi tapak kaki ku yang menggema di seluruh koridor di pagi buta seperti ini membuat bulu kudukku sendiri merinding. Padahal itu suara tapak kakiku sendiri. koridor sangatlah sepi karna jam masih menunjukan pukul 6.10. Terlalu pagi memang untuk sekolah karna kami masuk pukul 7.15 tapi entah mengapa pagi ini aku ingin sekali berangkat sekolah sepagi ini.
Aku mulai melangkah melewati sawah-sawah dan menatapi satu-satu boneka mengerikan  yang bertengger dengan angkuhnya yang sering ku sebut-sebut jenglot raksasa itu. Aku mulai menatap boneka itu satu persatu dan merasa merinding di seluruh tubuhku.
Kurasakan tangan seseorang menggapai-gapai dari bawah lantai. Tangan yang mulai sedikit demi sedikit menampakan anggota tubuh lainnya. Tangan kurus kering yang keriput dan pucat lengkap dengan kuku panjangnya yang sangat menjijikan. Aku dengan spontan melocat menghindari tangan misterius yang keluar dari bawah kolong lantai koridor itu. Aku melihat sekelilingku. Mataku menyapu seluruh sawah yang menghampar di sekolah ini. melihat kelas-kelas yang berada di depanku.
Brengsek, pagi buta begini mana ada orang disini.
Tapi, bagaimana pun aku harus tetap menyelamatkan diri dari makluk ini. Aku memekik memecah keheningan pagi dengan suara ku yang melengking mirip tante-tante yang di jambret tasnya. Aku tersandar keras di dinding kelas, melihat tangan itu menampakan wajah yang benar-benar tak pernah ku duga, akupun tak pernah ingin membayangkan bentuk rupa dan muka seperti itu berhadapan dengan ku. Ini benar-benar mengerikan. Wajah hancur dengan bola mata yang hampir saja keluar, hidung yang berlumuran darah, bibir yang sisinya melebar akibat robekan yang terlihat sangat jelas, rambut compang camping seperti habis di siksa habis-habisan dengan baju yang benar-benar tak beraturan. Dan satu hal kesimpulan yang ku ambil, bahwa dia adalah wanita.
Wanita itu menggapai naik ke atas lantai koridor dengan susah payah, aku terus saja berteriak dengan posisi yang masih sama dan tak ku duga wanita itu berhasil menggapai naik. Aku melangkah mejauh darinya, kemudian mencoba berlari meninggalkannya sambil terus saja berteriak syok, mataku mengeluarkan air mata, aku sangat ketakutan, wanita itu berjalan pincang mengejarku. Aku sangat ketakutan, aku meraung sekeras mungkin ingin kembali menuju gerbang sekolah, sambil terus menghadap kebelakang memastikan aku benar-benar meninggalkannya.
Brraaakkkkk!
Aku menubruk sesuatu hingga aku terpental jatuh ke bawah di depan perpustakaan tua yang menurutku sudah layak di hancurkan dengan traktor itu. Ketika ku sadari wanita itu kini berada di depanku dengan jarak kurang dari 50 centi. Aku menjerit sekuat tenaga berharap akan ada yang menolongku. Tapi tak ada yang menjawabku. Tangan wanita itu mulai menggapai leherku berusaha mencekikku. Aku menarik-narik tangannya dan berusaha mengambil nafas sebaik mungkin.
Ini kah saat-saat terakhirku. Apakah aku akan menghilang mengikuti jejak Lisa. Aku tidak mau berakhir disini. Aku tidak akan sudi meninggal dengan keadaan seperti ini, dengan wajah jelek yang melet-melet seperti itu. Aku tidak akan mau.
“apa maumu ?” kataku sebisa mungkin sambil terus menghalau tangannya dan mengambil nafas sebaik-baiknya. Tangan wanita itu cukup tangguh, bagaikan tangan kuli bangunan yang keras, kuat dan kekar. Mustahil aku akan menang melawan wanita ini. matanya menatapku tajam mendekatiku yang terbaring dan mulai kewalahan menghadapi tangannya yang terus saja berusaha mencekikku.
“aarrgghhhh” raungnya sambil terus saja makin mencekikku dengan kedua tangannya dengan bibirnya yang robek meluber kesana kemari saat mengatakan kalimat itu, aku yakin tangan ini telah menimbulkan bekas di leherku. Aku mulai kehabisan nafas. Aku mulai tak memerdulikan kengerian yang menghantam diriku saat ini.
Kukumpulkan semua kekuatan ku. “arrgghhhhhhh enyah dari sini brengsek!” teriakku sambil memberontaknya, aku mulai membanggakan diriku sendiri. aku tau aku ini layak untuk ikut kejuaraan silat, bengisku. Akibatku, wanita itu terpental. Tapi dia tak menyerah, dia berdiri dan kembali menyerangku. Aku menahan tangannya, tapi ternyata tenagaku kalah kuat dari tenaganya. Baiklah dengan berat hati ku tarik lagi kata-kataku. Aku memang tak layak mengikuti kejuaraan silat.
Aku menghantam keras dinding selasar perpustakaan. Megap-megap mengambil nafas, wanita itu makin mengerikan saja, matanya memerah mengeluarkan darah, aku takut sekali. Aku takut darah. Kakiku melayang ke atas menggapai-gapai lantai, wanita ini benar-benar kuat sekali, akhirnya..
Brookkkkkkkk!
Aku menendang dadanya dengan semua tenaga yang sekarang tersisa didiriku. Benar saja, wanita itu melepaskan tangannya dari leherku, dengan tenaga yang masih ku punya, dengan baju yang sekarang yang sangat kotor dan sukses sekali merobek rokku yang sudah sangat pendek itu aku berlari meninggalkannya sebisa mungkin seperti tujuan awal, ke gerbang sekolah.
Aku berlari sambil menjerit ketakutan, keringat yang mengucur deras di sela dahiku tidak menghambatku berlari meninggalkan setan keparat yang sangat SKSD itu. Bagaimana bisa dia ingin mencekikku dan mematikanku seperti menepuk nyamuk di sekolah ini sedangkan aku tak mengenalnya.
Braakkkk!
Bravo! Kali ini aku menabrak apalagi ?
“Ta, kamu kenapa ?” Tanya suara seseorang yang sangat ku kenal.
                “Edgar”
                Aku akhirnya menangis sejadi-jadinya, aku memeluk Edgar kuat-kuat. Aku sangat takut, bahkan saat Edgar ada pun ketakutan ini tak juga sirna.
                Edgar melepaskan diri dari pelukanku dan menatapku tajam. Dia melihat sekujur tubuhku yang tampak sangat jelas seperti gembel itu dan tak luput dari penglihatannya leherku yang membiru dan membekaskan tanda tangan orang.
                “kamu kenapa Ta ?” tanyanya mulai panik.
                Suara ku tercekat. Aku sama sekali tak sanggup menjelaskan apapun pada Edgar saat ini.
                “Ta!” Edgar mengguncang-guncang tubuhku yang lemas. Aku hanya menatapnya sendu sambil terus menangis.
                “aku di kejar-kejar” lirihku pada Edgar.
                Kemudian semuanya gelap ..

***
                “kamu kenapa, Ta ?” suara itu yang paling pertama ku dengar saat aku membuka kedua mataku dan aku tahu itu suara Edgar.
                Aku hanya menatap Edgar sambil tersenyum. “terimakasih sudah ada” jawabku pada Edgar pelan.
                Edgar mengangguk, membelai rambutku yang jelas sekali aku berada di ruang UKS lagi. “certain sama aku, kamu ngalamin apa ?”
                “ini jam berapa ?”
                “jam 6.30”
                “masih pagi banget ya ? berarti orang-orang masih belum ada pada yang datang ya ?”
                Edgar sekali lagi mengangguk dengan wajahnya yang penasaran sekaligus khawatir menatapku yang terkulai lemas.
                “udah, aku gak apa-apa” jawabku.
                “gak apa-apa gimana ? lihat bekas di leher mu itu membiru, itu bekas cekikkan orang kan ? tadi kamu bilang kamu di kejar-kejar, kamu di kejar-kejar siapa ?”
                Goblok. Dalam keadaan genting kayak gini cowok ini masih aja bisa bawel padaku.
                “hantu” jawabku singkat padat tapi kurang jelas.
                “hantu ?”
                “iya, kamu ngapain pagi banget datengnya, padahal biasanya telat ?”
                “aku mikirin kamu” katanya.
                Aduh, gobloknya. Ini bukan saat-saatnya buat ngegombal bego! Kemaren-kemaren waktu aku sehat walafiat kelihatannya cowok bertampang bejat ini gak ada niat sama sekali buat ngegombal, dan sekarang dengan keadaan yang super-ultra genting ini dia masih nyempetin ngegombal. Dasar cowok gak romantis.
                “apa hubungannya mikirin aku dengan dateng pagi ?” delikku.
                “aku yakin kamu disekolah, makanya aku cepet-cepet juga kesekolah. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa dan kenyataannya bener kan ? kamu emang kenapa-kenapa ?”
                Yah. Edgar telat banget tapi Setelah perjuanganku habis-habis meregang nyawa di depan perpustakaan tadi kata-kata cowok ini barusan bagaikan salju yang mendinginkan otakku. Lututku bergetar mendengarnya.
                “makasih dan aku selamat” kataku tersenyum tipis.
                “jelasin sama aku, kamu kenapa ?”
                “aku gak tau, aku mau kekelas, tapi wanita itu mengejarku lalu mencekikku” jelasku sedikit pada Edgar. Tenaga ku tak memungkinkanku untuk berkoceh panjang lebar pada cowok ini.
                “wanita itu siapa ?”
                “sejauh ini yang ku sadari dia bukan manusia, tapi makluk halus”
                Mata Edgar membelalak mendengar penuturanku.
                “gak usah lebay deh !”
                “aku kan kaget”
                “ya gak usah kaget kenapa !” bentakku.
                “ya urusanku dong !”
                Saat-saat seperti ini masih saja bisa memperdebatkan hal konyol seperti ini.
                “yasudah”
                “terus ?”
                “terus apa ?”
                “terusin ceritanya ?”
                “udah tamat” balasku.
                Cowok ini sepertinya benar-benar tak mengerti rasa takut yang barusan ku alami menghadapi makluk keparat itu sendirian.
                “kita hadapi ini sama-sama” katanya lembut meatapku.
                Aku terkejut mendengar penuturan cowok ini, ku kira dia gak akan percaya ceritaku dan menganggap semua ini halusinasiku saja seperti orang-orang lain. Tapi ternyata tebakkanku salah.
                Aku bangkit kemudian meraih tubuh Edgar dan merengkuhnya dalam-dalam “terimakasih”

***
                Kejadian yang membuatku trouma sekolah kepagian beberapa waktu lalu itu dan menyebabkan bekas biru yang hilangnya sangat lama sekali itu di leherku dan kututupi dengan gips leher yang ku beli di rumah sakit terdekat itu tidak pernah aku dan Edgar ceritakan pada orang lain. Aku takut makin mengacaukan keadaan di sekolah ini dengan ceritaku itu. Bisa-bisa tidak akan ada murid yang masuk sekolah gara-gara ketakutan mendengar cerita wanita keparat itu ada di sekolah ini.
                Aku sangat risih menggunakan gips ini padahal baru saja dua hari. Banyak yang bertanya kenapa sampai bisa aku menggunakannya, aku hanya menyawab, jatuh dari tangga. Alasan yang super goblok itu ku temukan ketika sedang memperhatikan muka Edgar yang sedang bermain basket siang itu di halaman basket.
                “lehermu kenapa ?” Tanya Dian selidik menatapku.
                “ng.. gak papa jatuh dari tangga” jawabku.
                Dian mengkutiku menatap ke arah lapangan basket. 
                “dia manis kan ?” kata Dian berbisik di telingaku sambil cekikikan meledek.
                Aku menatapnya dalam.
                 “hahaha, sorry. Aku liat kamu betah banget nongkrong disini sendirian, jadi aku temenin aja, aku takut kamu di kirain temen-temen yang lain kena penyakit jiwa terus suka sendirian semenjak kepergian Lisa” jelasnya blak-blakan, sepertinya dia tahu apa yang ku pikirkan.
                Sial. Kenapa cewek ini ? aku gak akan sedramatisir itu membuat kehidupanku makin menderita seperti itu. Yang benar saja. “ya gak lah” ketusku.
                “kamu suka kan sama Edgar ?” tanyanya lagi.
                Yatuhan, wanita ini kenapa sih ? Tanya-tanya melulu dari tadi, kepo banget. Padahal selama ini aku gak pernah ngomong se intens ini sama temen cewekku yang lain. Kecuali, Lisa. Aku benar-benar rindu pada Lisa. Tapi, Lisa tak ada sekarang. Tentu memang beda rasanya.
                “gak kok, dia cuman temen baik aja, sama kaya Lisa” jawabku singkat. Aku memang tidak terlalu pandai beradaptasi dengan baik dengan orang lain kecuali Lisa dan Edgar. Aku bahkan tak bisa menerima orang lain. Tapi cewek ini, cewek yang hanya ku kenal di kelas saja bahkan tempat duduknya pun jauh dariku dan Lisa ini mempunyai watak yang ku rasa ada miripnya dengan Lisa. Mungkin, karna aku terlalu kangen pada Lisa saja semua jadi seperti ini.
                “aku bisa liat kok dari mata kamu liat dia tadi main basket, dia manis, dan pengertian” kata Dian lagi tak jera.
                Aku menyunggingkan senyum tipis. “tapi dia pandai menghilang”
                Dian tersenyum. “hilang bukan berarti dia gak ingat kamu Ta, ingat dia seperti dia ingat kamu”
                “aku gak suka menghayal terlalu tinggi, sebagaimanapun baiknya dia padaku aku tetap akan berusaha gak ke ge-eran”
                “usaha sekuatmu” Dian tersenyum dan beringsut melangkah pergi meninggalkanku di bangku itu.
                Cewek aneh. Pikirku.
                Aku kembali menatap lapangan basket dan masih melihat Edgar dan teman-temannya bermain disana. Dian benar, dia memang sangat manis.

***
                Langkah kakiku terdengar jelas di koridor. Aku hampir sampai, kataku dengan nafas ngos-ngosan. Gila. Sekolah ini luar biasa panjangnya. Sepertinya pihak sekolah mesti mempertimbangkan dengan serius tentang membelikan secara Cuma-Cuma sketboard dan memberikannya gratis pada tiap anak di sekolah ini. Mimpi.
                Aku duduk di bangku ku dengan keringat yang mulai keluar dari sela-sela dahiku dan menanti kelas setelah ini.
                “this is Kimia class time, ta” aku mendelik mendengar kata-kata itu. Menjulingkan kedua mataku dan mencari asal suara itu. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu aku rindukan akhir-akhir ini. tapi aku yakin ini kata-kata imitasi.
                “this is Kimia class time, Ta” kata orang itu sekali lagi. Aku mendapatkan arah suara itu, di sini. Di belakang sini ..
                “diem gak!” rutuk ku pada cowok itu.
                “kenapa ? takut di hantuin Lisa ya ?” cowok itu meledekku.
                Sial. Kenapa hari ini banyak banget kayaknya yang bikin moodku di tepi jurang. Cowok ini benar-benar kurang kerjaan.
                “diem bisa, Lisa belum mati, Dimas Prayoga ?” aku memasang tampang kuda-kuda pengen nonjok muka nih cowok.
                Dimas Prayoga. Catat dengan baik di otak kalian namanya D-i-m-a-s  P-r-a-y-o-g-a. Dari seluruh cowok di dalam kelas ini dialah yang paling sering ingin sekali ku injak-injak mukanya. Cowok perawakan sedang dengan wajah oriental yang sepertinya keturunan arab itu. Alis yang tebal yang membuat matanya terlihat indah dan gayanya yang di adaptasi dari gaya cowok-cowok i-Carly di nickelodeon itu bisa saja membuat cewek-cewek yang melihatnya berteriak “bajingan!” itu, arrghhh lupakan. Aku benci harus mengatakan ini, oke aku akui kali ini saja wanita-wanita bisa berteriak histeris “arrghhhh” melihat wajahnya yang sok kegantengan itu tapi tetap aku tak akan sudi mengakuinya di hadapan hidung cowok menjengkelkan ini. cowok ini punya segudang masalah denganku karna 6 bulan belakangan ini dia berpindah duduk di belakang tempat dudukku dan Lisa semenjak di minta wali kelasku, ingin sekali ku tendang jauh-jauh meja dan kursi Dimas—Prayoga ini hingga ke ujung sekolah dan membiarkannya bermain dengan jenglot-jenglot raksasa mengerikan itu, tapi aku tak mungkin lakukan itu karna aku tak akan punya kekuatan sekuat tenaga kingkong seperti itu.
                “gak” jawabnya masih dengan wajah meledek dan sumpah asli minta di tendang.
                Aku melotot.
                “wuihh, galak juga ya ?”
                “jangan pernah ikut campur urusan gue !” aku makin bengis saja menghadapi laki-laki tolol ini.
                “gue gak ikut campur, gue Cuma mau ngobatin rasa kangen lo sama Lisa. Bener kan ? kamu kangen sama Lisa ?”
                Aku membuang wajah keluar kelas. Aku tidak ingin keparat ini melihat mataku yang mulai mengacai dirinya akibat kata-kata cowok ini.
                “sudah lah, seluruh umat di kelas ini pun sudah tau. Gak perlu gengsi sama sahabat sendiri.”
                “gue bilang gak usah ikut campur, bisa ?”
                “oke, gue diem, tapi ku rasa lo emang lagi ada dalam masalah besar”
                “nyumpahin gue ya lo !” bentakku mengencang pada cowok sialan ini.
                Dimas terperanjat kaget. Aku sudah tau, aku punya pesona yang sangat mengerikan dalam keadaan seperti ini. Hah.
                “ng.. gak”
                “makanya diem brengsek!”
                “apa lo bilang ?”
                “brengsek” ulangku lagi.
                “kenapa ngatain gue brengsek ?”
                “bukan urusan lo !” aku memasang tampang sangat pongah kali ini.
                “sewot melulu jadi cewek” Dimas sepertinya kesal berat. Dia langsung berdiri meninggalkan aku setelah mengucapkan kalimat itu.
                Apa aku sejahat itu ya ? sampai ngebuat cowok ini marah. Aku mulai merasa bersalah. Tapi aku tak akan sudi meminta maaf padanya. Aku terperangah melihat Dimas memasang tampang benci menatapku. Biarkan sajalah, mungkin lebih baik, dia tidak akan mengganggu ku lagi dalam keadaan seperti ini.

                Kesurupan!Kesurupan!Kesurupan!
                Teriak riuh orang-orang diluar sana. Astaga, apa lagi ini ? semua orang di kelasku berhamburan keluar mendengar teriakan riuh itu. Tersisalah aku sendiri disini menatap di balik jendela kelas. Aku sangat takut keluar, perasaanku tiba-tiba tak enak. Kejadian-kejadian seminggu terakhir ini membuatku nyaris seperti orang sakit jiwa.
                Kelas ini sangat sepi. Kosong melompong. Padahal saat ini pelajaran Kimia seharusnya sedang berlangsung, tapi sepertinya jadwal itu akan di ganti dengan penyadaran para siswa kesurupan di luar sana karna bu Muria tak kunjung masuk kelas juga.
               
Terdengar bunyi derit pintu lemari terbuka. Aku terdiam. Bukannya di kelas ini tak ada siapa-siapa ? jadi siapa yang menyebabkan derit pintu itu. Aku menggapai-gapai leherku merasakan bulu kudukku yang sepertinya sukses berdiri semua itu. Ku beranikan diri menoleh kearah lemari tua yang di letakan di pojok kelas itu.

Aku terkesiap melihat apa yang baru saja ku lihat.
“Lisa …” Lirihku melihat Lisa berdiri di depan lemari itu. Masih lengkap dengan baju SMA nya. Matanya nanar menatapku dengan wajahnya yang pucat.
“Astaga” aku menutup mulutku dengan tanganku. Apa yang barusan ku lihat ? nyata atau mimpi ? Lisa ada, Lisa ada. Aku tak kuasa menahan derai air mataku dan langsung menghambur kearahnya tanpa memikirkan logikaku lagi. aku memeluknya dalam. Tapi ..

Aaarrrrggggghhhh!
Lisa menarik gips yang terikat di leherku hingga terlepas. Dia menggapai leherku yang belum sembuh dari sakitnya itu. Mencekikku dengan penuh nafsu. Dan aku baru tersadar kalau yang ku hadapi bukanlah Lisa.
“siapa kamu, apa yang kamu mau ?” pekikku berharap ada yang menolongku. Tapi wajah Lisa berubah pelan menjadi wanita keparat dua hari yang lalu itu. Masih sama, masih dengan bibirnya yang robek mengerikan itu.
Wanita itu melemparku dengan keras hingga aku tersandar di lemari. Aku berusaha bertahan dari serangan ini dengan daya semampuku. Seluruh tubuhku rasanya rontok akibat hal ini. wanita itu menghampiriku kemudian mencekikku lagi hingga tubuhku melayang keudara. Dia benar-benar tak pernah di ajarkan tentang perikemanusiaan. Aku megap-megap menarik nafas berharap masih ada oksigen yang tersisa yang mampu menyambung sisa waktu hidupku saat ini. kemudian ..
Brrakkkkkk!
Dia melemparku membumbung hingga menghantam pintu kelas dengan keras. Terdengar sayup-sayup suara seseorang memanggilku dari luar kelas. Ku kumpulkan semua sisa tenaga ku dan berdiri membuka pintu kelas.
“Tata !” teriak Edgar memelukku di depan kelas. Mataku berkunang-kunang.

***
Aku tak pernah mengerti dan habis pikir apa yang di inginkan wanita itu dariku. Mengapa dia ingin sekali membunuhku. Aku tak mengerti dengan semua yang sekarang terjadi pada kehidupanku ? semuanya tersusun menjadi leretan-leretan seperti mimpi buruk dan kutukan yang menimpa kehidupanku dan parahnya aku tak tau semua itu datangnya dari mana.
“aku takut Gar”  di ruang UKS. aku akhirnya duduk dan menangis di hadapan Edgar sejadi-jadinya. Entah ini kesekian berapa kalikah aku masuk UKS gara-gara hal ini. Aku benar-benar tak sanggup menanggung semua ini sendirian.
Edgar menatapku prihatin. Ia kemudian membelai rambutku lembut. “aku disini, kamu tenang aja”
“tapi aku takut, wanita itu terus mengejarku, aku gak tau apa yang di carinya dariku, dia terus mencekikku” aku menunjuk pada leherku yang makin membiru saja bekas cekikkan kedua kalinya wanita hantu itu.
“apa semua ini ada hubungannya sama Lisa ?”
“kenapa kamu bisa ngomong kayak gitu”
“kamu ngalamin ini semua semenjak kejadian Lisa itu kan ? sebelum itu hidupmu tenang-tenang saja, kamu gak pernah teriak histeris sendirian”
“apa maksudmu teriak histeris sendirian ? dia ada, dia wanita” sergahku.
“kamu akhir-akhir ini aneh Ta, semenjak kepergian Lisa. Kamu sering teriak-teriak sendirian dan bekas cekikkan itu, kesurupan yang terjadi di sekolah ini. kenapa kamu selalu nyakitin diri kamu sendiri ?”
Nanar mataku berkilau mendengar penuturan Edgar kali ini. “jadi kamu gak percaya sama aku ?”
“bukannya gak percaya, ini semua di luar kendali logika aku, semua ini rasanya gak masuk akal, Lisa hilang dengan misterius, kamu punya bekas cekikkan misterius, semua ini serba misterius”
Aku mendelik keluar jendela ruang UKS yang menghadap ke sawah itu. Aku merasakan sepasang mata mengawasiku dan Edgar dari sana. Mataku langsung menyelidik.
“kamu bisa liatin gak di jendela sana ada siapa ?” pintaku pada Edgar.
“emang ada siapa ?” Air muka Edgar berubah.
“kamu liatin ya, aku takut” biar bagaimanapun juga situasi seperti ini membuatku getir juga menghadapinya.
Edgar beranjak mendekati jendela UKS, kemudian menilik keluar jendela yang di depannya hanya terlihat hamparan sawah itu. “gak ada siapa-siapa, Ta”
Aku menarik nafas panjang. “mungkin Cuma perasaanku aja”
“tuh kan, kamu jadi banyak ngayal akhir-akhir ini” Edgar kembali menghampiriku.
“aku gak tahu gar, kurasa ini bukan khayalan?”




Krraacckkk!
Terdengar bunyi ranting patah yang seperti baru saja di injak oleh seseorang. Edgar langsung mendekati jendela UKS lagi dan melihat seseorang lenyap dari pandangannya melesat dengan cepat.
“ada orang barusan”
“tuh kan, itu bukan perasaan, dari tadi ada orang yang ngintipin kita”
“tapi aku gak tau siapa ?”
“ku rasa emang ada hubungannya dengan Lisa. Aku harus cari Lisa. Aku yakin Lisa di culik dan sekarang dia mau nyelakain kita, kita semua. Kita gak berurusan sama manusia, tapi makluk halus gar”
Edgar sedikit terkejut mendengar kata-kata yang spontan keluar dari mulutku itu.
“kita lalui sama-sama” kata Edgar tegas menenangkan pikiranku.
Aku tetap tak mengerti akan perasaan serta sikap Edgar kepadaku. Kami hampir setiap hari bersama. Hampir setiap hari berbagi cerita. Saling berbagi suka maupun duka. Tapi, sejauh itu tidak juga terucap dari mulut Edgar kalau dia menyukaiku. Sepertinya cowok tampan ini Cuma menganggapku sebagai sahabatnya. Aku selalu berusaha tidak mau ke ge-eran dengan sikap manisnya terhadapku. Selalu. Tapi anehnya, aku terus menunggu dan menunggu. Walau aku tau banyak sekali cowok lain yang berusaha mendekatiku dan berharap mendapat cinta dari ku, anehnya aku tak bisa. Karna yang ku harapkan adalah Edgar. Bahkan saat pagi hari terbangun dari tidurku, orang pertama yang ku pikirkan adalah Edgar. Bahkan, sampai cowok ini hampir menyelesaikan sekolah-nya di SMA Bumi Prima, Edgar tetap menganggapku sebagai seorang sahabat. Sahabat yang baik, sahabat yang penuh perhatian, sahabat tempat berbagi cerita, baik suka maupun duka. Sekeras apapun upaya ku menghilangkan Edgar dari ingatanku, aku tetap tak bisa. Yang ku lakukakan hanyalah bersabar,  menunggu sampai Edgar mengungkapkan perasaannya padaku. Itupun kalau aku tidak hanya sekedar berkhayal. Biarlah, untuk selama ini aku akan berusaha menerimanya dengan sabar kalau Edgar masih menganggapku sebagai seorang sahabat. Aku cukup bahagia dengan kedekatanku dan Edgar saat ini, karna Edgar adalah seorang sahabat yang senantiasa berusaha melindungiku dari apapun. Dimataku cowok ini punya banyak kelebihan di banding yang lainnya. Sehingga meski sampai hampir selesai sekolahnya Edgar tak juga mengutarakan perasaan cintanya hingga akhirnya aku berubah pikiran dan menganggap cinta hanya sebuah permainan belaka. Semenjak saat itu aku tak pernah mempercayai orang-orang yang menyukaiku.
Teoriku mengenai cinta merupakan permainan berawal dari berbagai macam permainan yang ku lihat beberapa waktu lalu di sekolah. Entah mengapa sampai aku bisa berpikiran seperti itu. Cinta itu permainan, setiap orang saling menipu didalamnya, menggunakan cara licik dan picik untuk menang. Aku bisa membuat orang yang berada disisiku menyukaiku, dan ketika orang itu sudah menyukaiku aku merasakan permainan sudah tidak seru lagi. Aku kemudian berlalu dan meninggalkan mereka.
“hey, kenapa ?” Edgar melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. Membuyarkan lamunan panjangku.
“ng.. gak apa-apa. Eh kamu mau aku kenalin satu permainan ?” tawarku pada Edgar.
“permainan apa ?”
“permainan tombol. Nih aku tunjukin caranya. Kalau kamu megang bahu aku anggap aja kamu lagi mencet tombol. Kalo kamu megang bahu kanan kamu tandanya aku bakalan jadi batu. Nah kalau kamu pegang bahu kiri aku, tandanya aku bakalan jadi transparan” aku menjelaskan pada Edgar sambil memperlihatkan gerakan-gerakan yang aku jelaskan.
“seru juga, aku pencet tombol kanan, sekarang kamu jadi batu” katanya sambil memegang bahu kananku. “biar kamu gak bawel lagi, hehe”
Aku hanya diam mengikuti permainan.
“oiya, aku mau kasih tau satuhal sama kamu mumpung kamu lagi jadi batu, kamu gak boleh protes ya. ‘kalau kamu gak percaya sama cinta, kamu gak akan ketemu cinta sejati’”
Aku terperangah menatap Edgar. Mencerna kalimat yang barusan di katakannya. Cowok ini selalu bisa menebak pikiranku.
Aku tersenyum manis menatapnya. Aku tak tahu harus berkata seperti apa lagi.

***

SAD TO THE MAX.
Itu yang sedang ku gencar-gencarnya. Semua kebrutalan yang terjadi pada dirinku saat ini membuatku hampir tidak bisa menghirup oksigen segar seperti biasa. Aku berkaca menatap leherku. Bekas cekikan itu mulai menghilang dan sekarang hampir tak tampak lagi.
“sampai kapan semua ini berkahir ?” Aku menghempaskan tubuhku ke kasur empuk yang ada di dalam kamarku. Ini adalah tempat paling kurasa aman untuk saat ini. Bergidik aku menerima kenyataan pahit seperti ini. Mending aku berantem saja dengan manusia, dari pada harus berurusan dengan hal absurd seperti ini. Aku merasa di hinakan. Benar-benar di kerjai habis-habisan. Tanpa sadar air mataku menetes. Aku jadi super—cengeng akhir-akhir ini. semenjak kepergian Lisa. Aku memutar otakku, memikirkan bagaimana cara mengakhiri semua kutukan ini.
Aku hanya menarik nafas panjang.

***
Aku menatap nanar keluar kelas dengan mata sendu. Jam istirahat kali ini tidak seramai biasanya, pikirku. Hanya ada beberapa orang di kelas ini. aku duduk sambil memangku daguku di atas meja. Aku sangat merindukan Lisa.
Lisa, kamu dimana ? apa kamu baik-baik saja ? tanyaku pada diri sendiri.
Tiba-tiba datanglah si cowok tengil ini mengganggu pemandanganku saja. Dengan keringat yang bercucuran membuatnya terlihat lebih dekil dari biasanya dia melangkah menuju bangkunya. Ya tepat sekali, di belakang tempat dudukku.
Aku menatapnya tajam, seperti menuntut pertanggung jawaban karena ia telah menghamiliku. Gila.
Dimas membalas tatapanku tajam. “apa liat-liat ? kaget baru liat cowok ganteng keringatan kaya gini ?” katanya.
“najis !”
“najisin gue ? suka sama gue baru tau rasa !”
Aku melotot. “najis banget!” pekikku.
Dimas menatapku dengan alis yang terangkat sambil mengelap keringatnya dengan kaosnya di samping mejanya. Ya, tepat satu jengkal di samping kanan belakangku.
“apa lo liat-liat?”
“mata-mata gue” ketusku.
Aku dan Dimas terdiam cukup lama.
“gimana kalau gue tau satu hal?”
                Aku diam. Mencerna perkataan yang baru saja dengan lancar keluar dari mulut Dimas.
                “apa maksud lo ?” tanyaku sedikit penuh selidik. Tapi aku takkan mau menunjukan tampang penasaran ku pada keparat ini, nanti dia bakal seenaknya padaku.
                “secara gak langsung gue udah terlibat dalam kasus elo, dan dengan cara yang terpaksa”
                “gue gak pernah maksa. Dan ingat gue gak pernah ngajak-ngajak lo ya! Catet”
                “iye gue tau, gak usah sewot kenapah ? sehari aja gak judesin gue bisa gak sih ?”
                “gak”
                “whatever” Dimas melangkah menjauh ingin pergi meninggalkan kelas, tapi demi tuhan, dengan sangat terpaksa aku harus minta penjelasan sama dia, dan kalau dia ngambek aku gak akan dapatin apa-apa. Jadi, baiklah ..
                “Dimas, tunggu, elo jangan keluar dulu” aku berdiri dari tempat dudukku.
                Langkah Dimas di ambang pintu terhenti. “apa lagi ? bukannya elo gak perluin gue juga ?” ketusnya tanpa menoleh.
                “iya sorry. Jelasin apa yang barusan lo bilang ?” dengan nada yang tercekat dan berat hati, perasaan, jiwa dan raga aku harus mengatakan ‘sorry’ pada keparat ini.
                Dimas berbalik melangkah masuk kemudian memilih kursi di depanku dan duduk menghadap ke arahku.
                “gue lihat ada yang nguntitin elo terus dari 4 hari yang lalu”
                Aku melongo menatap dalam mata Dimas. Pikiran ku mengawang jauh. Ku tatap wajah cowok ini tajam. Ternyata jika di lihat secara baik dan benar cowok ini manis juga. Aku pernah melihatnya tidur saat jam pelajaran matematika, saat itu Lisa masih ada. Lisa berbisik padaku, coba lihat tampang Dimas waktu bobo, manis kan Ta ?, aku masih mengingat hal itu dengan jelas. Pikiranku mulai tak karuan saja. Bagaimana bisa dengan keadaan seperti ini aku bisa mengatakan tampang keparat ini so sweet. Gila.
                Dimas melambaikan tangannya di depan mataku “hello, elo dengerin gue gak sih Ta ?”
                “oh eh, denger kok, apaan tadi ?” aku tersentak dari lamunanku.
                Dimas menarik nafas panjang. “itu tandanya elo gak dengerin gue”
                “gue lihat ada yang nguntitin elo beberapa hari ini” jelas Dimas lagi.
                “siapa ?”
                “gue gak tahu, karna orang itu sama sekali gak jelas tampangnya, gue juga liatnya Cuma sekilas-sekilas”
                Aku sudah menduga. Ada yang niat mencelakaiku.
                “kenapa ? takut ?” Tanya Dimas sedikit meledek. “preman kok takut” sambungnya lagi.
                Aku melotot ke arahnya.
                Dimas menarik nafas panjang. “gue kasih tau ya, mending lo hati-hati aja. Apalagi nanti waktu acara ulang tahun sekolah kita” jelas Dimas.
                Aku baru ingat besok adalah hari ulang tahun sekolah. Seperti biasa tradisi sekolah ini akan di jalankan. Entah kenapa. Semua murid sekolah ini harus ikut bermalam di sekolah ini menikmati satu malam bersama bahkan bersama guru-guru. Ya memang kita pasti akan bersenang-senang selama 1 hari 1 malam penuh bersama di sekolah ini. Biasanya acara ini lah yang sangat aku dan Lisa tunggu-tunggu, tapi sekarang sudah berbeda, Lisa tak lagi ada disini.
                “bukannya kasus Lisa belum tuntas, apa masih di laksanakan?” Tanya ku pada Dimas.
                “Osis akan tetap melaksanakan atas perintah kepala sekolah” kata Dimas.
                “tau darimana ? gue yang osis aja gak tau”
                “apa sih yang Dimas gak tau ?” dengan gaya sok cool nya, ia meninggalkan aku sendirian.
                Sialan. Apa mungkin tebakan Dimas akan jadi kenyataan ?

***
                Sore itu semua murid telah berkumpul di lapangan sekolah, dengan semua perlengkapan yang mereka bawa secukupnya untuk bermalam di sekolah hari ini hingga besok sore.
                Pak Sanjaya telah siap berdiri di atas mimbar khotbahnya ingin memberikan arahan untuk acara hari ini sampai besok sore.
                Aku menatap langit yang kian menguning. Aku menarik nafas panjang. Rasanya telinga ini tersumbat oleh kacang jika mendengar khotbah pak Sanjaya. Kalian tahu, aku kadang tertawa jika mengingat hal ini. pak Sanjaya, sebagai kepala sekolah tentunya haruslah selalu siap untuk berceriwis ria dan dalam keadaan apapun dia haruslah siap untuk berpidato di depan semua anak muridnya, dan setiap pak Sanjaya berpidato pastilah akan memakan korban jiwa. Eits, bukan mati ya, lebih tepatnya tumbang langgang alias pingsan. Itu hal yang sangat aneh sekaligus lucu buatku, karna setiap pak Sanjaya di beri kesempatan berpidato pastilah ada anak murid yang pingsan dan itu selalu terjadi. Entah ada apa dengan pidato pak Sanjaya, sukurlah akn tak pernah jadi korbannya. Dan sore ini, siapakah yang akan jadi target berikutnya ? aku tak mau ambil pusing tentang masalah ini.
                Aku kemudian melangkah menuju toilet. Sebenarnya berat sekali melangkah menuju toilet nan jauh di mata ini. tapi mau bagaimana lagi, rasa ingin pipis mengalahkan segalanya.
                Aku berkaca di kaca wastafel toilet setelah menyelesaikan niatku. Ku tatap wajahku, seandainya ada Lisa malam ini pasti akan lebih baik—pikirku. Aku hanya bisa menarik nafas panjang.
                Jleb—
                Serasa ada sesuatu yang menangkap kaki ku. Bulu kudukku serasa berdiri semuanya. Aku melirik ke bawah wastafel tapi tak ada apa-apa. Perasaanku mulai tak enak, ku langkahkan kakiku menuju luar toilet mengerumbungi keramaian semua murid diluar sana.
                Entah kenapa ketika aku keluar cuaca telah berubah. Langit tiba-tiba saja menjadi mendung. Aku heran, bukannya tadi langit tidak separah ini. titik-titik air mulai jatuh dari langit menyentuh atap-atap kelas menghasilkan bunyi titik-titik kecil.
                Sepertinya khotbah pak Sanjaya telah selesai. Semua anak riuh berteduh di koridor sambil membawa barang-barang mereka yang bagaikan mau kemping setahun di gunung Himalaya itu. Aku melirik ke jam tanganku. Jam sudah menunjukan pukul 5.30 sore. Sebentar lagi waktunya makan malam. Aku bergegas melangkah ke ruangan osis. Aku kebagian dalam seksi konsumsi pada acara ini padahal aku sudah berjuang keras setengah mati agar tidak kebagian tugas yang hanya merepotkan ku saja tapi tetap aku di ajak ikut dalam mengkoordinasi acara ini dan sebentar lagi waktunya makan malam dengan mengandalkan profesionalisme terpaksa didalam diriku akhirnya dengan berat ku jalankan tugasku.
                “akhirnya elo dateng juga” Kata Dimas seraya berdiri dari duduknya.
                Aku melongo melihat Dimas berada disitu—ngapain si tengil ini ada disini ? dia kan buka osis, jangan bilang..
                “ngapain elo disini ?” ketusku. Semua mata di ruang osis hanya melirikku sebentar kemudian kembali asik dengan kegiatannya masing-masing dan tidak memperdulikan percakapanku dengan Dimas yang mungkin saja bisa berujung menjadi perang irak.
                “gue seksi konsumsi” jelasnya singkat.
                Mataku melotot mendengar penuturan Dimas, jadi ? apa ? whaaattttttttttttttttttttt ?
                “sejak kapan ?” aku memekik terkejut.
                “wey santai dong mbak bro, hahaha sejak kemaren sih sebenernya, soalnya seksi konsumsi kekurangan anggota dan Yulia nawarin gue. Ya menurut gue gak ada salahnya kan bantuin elo ?”
                Aku menarik nafas dalam. “Ada Dian”
                “ya kan Cuma elo berdua doang, bertiga lebih baik kan dari dua ?”
                “terserah lo deh” jawabku seadanya.
                “emang terserah gue”
                Aku menatap keparat ini tajam. Sumpah itu muka pengen banget gue lindes pake truk sampah. Sok kecakepan banget sih.
                “apa liat-liat, naksir ya sama gue ?”
                “najis”
                Dimas hanya membuang mukanya.
                “oke sekarang udah jam setengah enam. Jam makan malam di mulai jam 7 dan tugas kita disini mengkoordinasi semua rakyat jelata disana untuk bantuin kita buat makan malam. Elo kan cowok satu-satunya disini, tentunya gue akan ngandelin elo buat ngatur para alien itu. Dan Dian ?” aku melirik ke sebelahku tapi Dian tak ada di sampingku “Dian mana Dian, bukannya tuh cewek tadi di sebelah gue ?”
                “kayanya ke toilet deh”
                “kenapa sih semua orang hobi banget ngilang” aku menarik rambutku frustasi.
                “itu tuh dia disana” Tunjuk Dimas ke arah koridor yang jalannya menuju ke toilet itu. Dian berlari dengan rambut yang awut-awutan ke arah aku dan Dimas. Seperti biasa—cewek aneh—pikirku.
                “dari mana aja kamu ?”
                “dari toilet” jawab Dian gugup sedikit lembut menjawab pertanyaanku yang seakan memvonisnya jatuhan hukuman mati.
                “weits, sama dia kok elo manggil aku-kamu coba aja sama gue kok manggil elo-gue sih ?” protes Dimas padaku.
                Aku memanyun. “jadi gue harus ngomong semanis itu sama elo ? heh ? siape elo ?”
                “yakan biar so sweet sedikit”
                “sepik mulu lo. Udah ah bisa diem gak. Sekarang balik ke pokok bahasan kita tadi”
                Dimas memanyun mendengar aku tak merespon kata-katanya sama sekali.
                “gak usah sok ngambek gitu deh,” ketusku lagi.
                “iya bawel” gerutunya.
                “sekarang koordinasi semua alien itu terus setelah makanan selesai di masak di kumpulin aja di atas terpal di tengah lapangan. Baru deh kita bagi-bagiin” jelasku singkat tidak mau ambil pusing.
                “kaya ngebagiin makanan buat fakir miskin” bisik Dimas mencibir.
                “banyak bacot lo ya” aku berdiri sembari menggebrak meja, Dimas yang melihat ku seperti itu langsung ngacir ngebirit ke kerumunan anak-anak di lapangan. Dian hanya tertawa melihat tingkah ku dan Dimas kemudian ia beringsut pergi meninggalkan aku untuk ikut membantu Dimas mengatur anak-anak.
                Sekolah terlihat sangat ramai jika sedang acara seperti ini. lagu-lagu yang di mainkan di sound system sekolah makin membuat acara tambah seru. Andai saja ada Lisa pasti aku tidak akan merasa sesendiri ini. tapi tunggu dulu, sepertinya ada yang lupa. Edgar mana ya ? kok aku gak ngeliat dia sama sekali ya dari kemarin. Iya dari kemarin. Aku kok bisa sampai lupa ya sama cowok satu itu, mungkin karena terlalu sibuk memikirkan Lisa—mungkin.
                Aku kemudian mengambil ranselku kemudian menggendongnya. Niatku sih pengen pergi ke UKS untuk meletakkan semua barangku ini tentunya sambil mencari Edgar kemudian barulah aku membantu Dimas dan Dian.
                Aku berjalan sambil mencari-cari di mana keberadaan cowok satu itu. Tapi sepertinya tidak kelihatan. Aku sudah berkeliling sekolah ini sedari tadi tapi tak juga ku temukan batang hidung cowok itu. Aneh.
                Jam sudah menunjukan pukul 7 malam, syukurlah hujan telah reda hanya meninggalkan bau tanah basah dan lapangan yang sedikit berair. Seluruh makan malam telah siap di letakkan di atas terpal. Aku, Dian dan Dimas telah stand by untuk membagikan makanan-makanan itu pada rakyat jelata yang kelaparan ini.
                “makanan ini gue kasih racun barusan, elo masih mau ?” aku menyodorkan sekotak makanan pada seorang seorang adik kelas di depanku ini. tangannya yang sedikit lagi mengambil kotak itu dari tanganku sedetik kemudian berubah menarik tangannya. dia tampak terkejut mendengar perkataanku barusan dengan tampang sok serius (padahal aku hanya menggodanya saja).
                Dimas mengambil kotak makanan itu dari tanganku, kemudian menyerahkannya pada adik kelas tadi. “sudahlah, Tata Cuma bercanda kali. Cepet ambil deh” kata Dimas. Kemudian di sambut senyum manis dari anak itu, seperti anak kecil yang baru dapat permen.
                Aku menatap mata Dimas sinis.
                “seneng banget sih liat orang lain menderita ?”
                “hiburan buat gue” jawabku tanpa menatap Dimas lagi sambil terus saja membagi-bagikan kotak-kotak makanan itu.
                “buat apa ?”
                Aku menatap Dimas heran. Ya heran, karena ku rasa pertanyaan sama jawaban gue tadi gak ada nyambung-nyambungnya. “buat beli sepatu sama tas kali ?” akhirnya ku jawab juga dengan jawaban yang lebih ngawur lagi. ayolah ta, plis deh. Hahaha.
                “heh?” Dimas menaikkan alis kanannya pertanda heran dengan jawabanku.
                “elo sih ngawur, ya gue jawab ngawur juga deh”
                “coba kalo elo mau jadi pacar gue, pasti gue beliin tas ama sepatu”
                Aku melotot mendengar penuturan Dimas. Gak salah denger nih. Apa yang barusan cowok ini bilang ? sudah gila apa ?
                “ih lo kira semua cewek matre apa. Jadi pacar lo terus mau-mauan aja gitu di beliin tas ama sepatu. Idih, setres”
                “hahaha. Gue Cuma becanda kali. Idih kok dianggap serius sih ?”
                “ya abisnya, tampang lo datar gitu”
                “terus gue harus gimana lagi ?”
                “terserah elo deh” aku menyerahkan kotak terakhir pada seorang cowok. Mataku kemudian tertuju pada sosok yang sedari tadi selalu ku cari. Cowok yang selalu menghiasi hari-hariku. Cowok yang selalu membawa ku melayang tinggi hingga ke batas pelangi. Cowok yang selalu.. kenapa jadi lebay begini sih ?
                                                                               
                Aku berdiri di pinggir lapangan melihat sosok yang sedang bermain basket, sosok yang tak sadar tentang keberadaanku di sisi lapangan memperhatikannya. Semua anak makan di lapangan belakang. Hanya ada beberapa anak yang ada di lapangan basket. Disini cukup gelap. Hanya ada satu lampu taman sebagai penerangan. Sedangkan di tengah lapangan hanya terbagi cahaya kecil dari lampu taman di pinggir lapangan.
                “gak pengen makan sama yang lain ?” teriakku kecil yang cukup untuk Edgar dengar saja.
                Sepasang mata menatapku lekat. Menatapku tajam. Tak pernah aku melihat Edgar menatapku selekat itu. Sedetik kemudian aku merasa takut. Entah kenapa aku takut saat Edgar menatapku seperti itu. Itu seperti bukan mata Edgar bagiku. Semua uratku menegang saat Edgar melempar bola basket itu ke ring dan yap. Tepat sasaran. Hah ? –aku melotot. Sejak kapan Edgar menjadi sejago itu ?
                Aku mulai berkeringat saat Edgar mendekatiku dengan tatapan tajamnya itu. Aku benar-benar takut. Ingin sekali aku berteriak, Edgar kenapaaa ?????????????
                Edgar makin mendekat saja. Mulutku komat kamit mengatakan semua doa yang mungkin bisa membantuku untuk mendapat keajaiban—ya tuhan keluarkan jin dari tubuh cowok ini, yatuhan jangan biarkan dia kerasukan ya tuhan, ya tuhan pukul aja ya tuhan supaya jinnya keluar, yatuhan, mata Edgar mau copot ya tuhan jangan sampai copot ya tuhannn—aku menggigit bibirku saat Edgar makin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Apa ? apa yang ingin di lakukan cowok ini ? jangan-jangan ingin menciumku. Wajah Edgar makin mendekat saja, mataku menyipit sambil menggigit bibirku keras…
                “waaaaaa !” Edgar menghambur ke arahku sambil tertawa cengengesan. Sialan.
                “Edgar ! gak lucu !” pekikku meneriaki telinga Edgar.
                Edgar menutup telinganya. “gue Cuma becanda kali Ta. Hhahahahaha”
                “gak lucu kali gar !”
                “lucu Ta liat kamu panik kaya tadi, makin manis aja”
                Aku mencopot sendalku dan siap menyerang Edgar dengan sandal mahalku itu. “mau gue tampol pake sandal ?”
                “iya-iya ampun, maaf deh hahaha cieee yang ketakutan, maaf ya” Edgar menarik-narik hidungku. Seperti biasa.
                Aku hanya memanyun menatap Edgar kemudian ngelonyor pergi meninggalkannya saking kesalnya pada cowok ini.
                “kemana Ta ?” teriak Edgar menahan langkah kakiku. Sedetik kemudian aku menoleh pada Edgar.
                “keruang UKS mau ngambil baju buat ganti baju” jawabku datar.
                “gak pengen liat pangeran main basket lagi nih ?” goda Edgar.
                “badanku udah bau keringat, nanti disambung yak” teriakku berlari tanpa menatap kearah Edgar yang menatapku dari belakang tanpa ku sadari.

                Pletak pletuk suara kakiku menggema di koridor menuju UKS. Hanya ada beberapa anak yang lalu lalang kemari karna ini juga jalan menuju toilet sekolah. Aku membuka pintu UKS yang tertutup untuk mengambil bajuku di dalam tasku, tidak ada orang disini ternyata. Seketika aku melongo melihat Tasku yang isinya berhamburan keluar. Aku berlari mendekati tasku dengan cepat. Apa yang terjadi pada tasku ? siapa yang sangat kurang ajar sekali membongkar-bongkar tasku. Aku tidak memikirkan uangku yang akan hilang, karena uangku ku letakkan di kantung bajuku, hanya ada uang dua puluh ribu rupiah yang ku selipkan di kantung depan tasku dan dompetku yang berisi KTP dan SIMku, dengan cepat aku memeriksa kantung itu—kosong—hanya tertinggal dompetku, syukurlah isi dompetku masih lengkap.
                “sial! Dua puluh ribu doang di embat juga” rutukku kesal.
                Aku kemudian menghambur keluar UKS dan kemudian berteriak sekuat tenaga hingga seluruh mata di luar sana menatap kearahku.
                “Siapa yang kurang ajar banget ngebongkar-bongkar tas gue !!!” teriakku kesal.
                Semua mata di luar UKS yang hanya beberapa itu menatap ke arahku dengan tatapan bingung, aku sudah tidak perduli apa yang mereka pikirkan tentangku, entah mereka menganggapku kurang waras atau hanya mencari perhatian yang ku inginkan sekarang hanyalah pertanggung jawaban dari para pengurus keamanan acara ini.
                Aku berlari mencari Tiyo yang bertugas sebagai keamanan acara ini, ku dapati ia sedang asik duduk mojok di bawah pohon dengan Niar—pacarnya.
                “sini lo !” aku menepuk punggung Tiyo dengan keras hingga membuat Tiyo yang sedari tadi berkonsentrasi menatap wajah Niar yang sok cantik itu melonjak kaget.
                “ada apa ?” jawab Tiyo bingung.
                “elo seksi keamanan kan ?” ketusku pada cowok yang sudah kuanggap tidak punya tanggung jawab ini.
                “iya, kenapa memang ?”
                “sini lo !” aku menyeret Tiyo ke ruang UKS dengan paksa dan dengan paksa pula ia meninggalkan belahan jiwanya itu.
                Tiyo menurut saja mengikuti langkahku, ku seret ia dengan wajah yang benar-benar marah. Harusnya dia punya tanggung jawab atas tugasnya bukannya mojok di bawah pohon saja bisanya sampai tas yang di bongkar aja dia gak tau.
                “lo liat tas gue noh ! liat !” aku menunjuk ke arah tasku yang isi perutnya berhamburan keluar itu. “liat kan ? tas gue di bongkar orang. Gimana bisa ada orang yang bisa-bisanya ngebongkar tas gue ? sedangkan coba liat, ada tas beberapa anak lain juga disini, dan tas mereka gak apa-apa, Cuma gue doang yang di bongkar, gue minta penjelasan dan pertanggung jawaban atas semua ini sama elo, jangan Cuma bisanya mojok doang !” sambungku geram. Orang-orang yang dari tadi ada di sekitar UKS sekarang berubah menjadi mengerumungi ruangan UKS mencari tahu apa yang terjadi.
                “ng….ng… gue gak tau, gue gak ada liatin ruang UKS” Tiyo terlihat gugup mengatasi aku.
                “makanya ! lo seksi keamanan, harusnya punya tanggung jawab dong ! profesionalisme elo mana sih ? sampe yang kaya beginian aja… argghhhh !”
                “emang uang lo ada yang ilang ?”
                “iya uang gue ilang, dua puluh ribu !” teriakku.
                “halahhhh Cuma dua puluh ribu doang paniknya udah kaya kebakaran utan aja” cibir Tiyo padaku.
                Aku melotot memandang Tiyo. Aku bukannya marah karena uang dua puluh ribu yang hilang Cuma aku sangat tidak suka dengan ketidak adaan tanggung jawab cowok letoy ini pada keadaan. Harusnya ia lebih bisa diandalkan. “ini bukan soal uang bego ! gue Cuma minta pertanggung jawaban keadaan sama elo, harusnya elo bisa lebih bisa ngawasin, apalagi pada saat  acara kaya gini !”
                “Cuma tinggal beresin itu doang kan beres, gak perlu di perpanjang lagi, Cuma kayaginian doang” Tiyo sepertinya benar-benar lepas tangan, dengan ringan ia melangkah pergi meninggalkan aku di UKS.
                Kurang ajar banget sih nih cowok, dasar laki-laki gak ada tanggung jawabnya. Ku lepas kepergian Tiyo dengan tatapan geram, ingin sekali muka cowok itu ku lempar dengan batu. Aku kemudian membereskan tasku yang isinya berserakan itu, dan aku makin di buat terperangah dengan kenyataan yang membuatku sangat terkejut—semua underwearku hilang—aku mengacak-ngacak rambutku sesaat kemudian. Aku benar-benar tak menyangka. Ini benar-benar sudah masuk dalam kasus ranah psikopat. Apa ? apa yang di inginkan orang ini ?—pikirku. Aku kemudian berlari mencegat Tiyo yang melangkah ingin menghampiri Niar di tengah lapangan.
                “dan elo harus tau, semua daleman gue ilang di ambil tuh orang !” teriak gue di tengah lapangan tanpa kontrol lagi. semua orang di lapangan menatap kearah ku termasuk Edgar yang sedang makan—terdiam—aku tak tau apa yang mereka pikirkan tentang ku, entah kaget, aneh, jijik, kagum atau malah takjub dengan apa yang barusan saja ku katakan, aku sudah tak perduli.
                Tiyo melotot kaget menatap kearahku. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya dan semua orang yang ada disini, hanya ada bisikan-bisikan kecil dari beberapa anak sedetik kemudian.
                Aku menatap kesekelilingku kemudian menutup wajahku dan terduduk di sana—aku menangis—aku merasa benar-benar malu, aku merasa sangat di permalukan, di hinakan. Aku sudah tidak tahu apa yang mesti ku lakukan. Rasanya semua harga diriku telah di rampas dengan paksa keluar dari jiwaku. Bulir-bulir Kristal itu meluncur deras di pipiku. Apa salahku ? kenapa aku di permalukan seperti ini ? isakku dalam hati.
                Ku rasakan tangan seseorang memegang bahuku. Membantuku untuk berdiri dan membawaku pergi meninggalkan lapangan. aku mengira itu pasti Edgar ternyata tebakan ku salah dia Dimas bukan Edgar. Dimas kemudian membawaku pergi ke UKS lagi untuk menenangkan diriku. Aku kali ini menurut saja karna aku benar-benar sudah tak berdaya, semua urat ku mengendur sejak aku mengetahui kenyataan ini.
                “gue malu, Dim” aku melipat kakiku menutup wajahku di lantai. Aku tidak cukup berani untuk menatap wajah Dimas.
                “gue tau perasaan elo kok,”
                Aku hanya terisak mendengarkan Dimas. Tak ku sangka ternyata aku secengeng ini.
                “udahlah, sekarang elo beresin semua pakaian elo, taroh tas lagi, dan inget ya pesen gue hati-hati. Malam ini gue bakalan jagain lo”
                Aku hanya diam menatap Dimas. Tak ingin merespon apapun dengan apa yang baru ia katakan. Aku hanya berharap Edgar yang berkata seperti itu saat ini.
                Sekarang Edgar dimana ???

***
                Setelah kejadian itu sesuai janjinya Dimas selalu ada di sampingku untuk menjagaku. Anehnya aku cukup risih dengan apa yang ia lakukan ini. sangat berlebihan menurutku. Masa aku mau ke toilet saja dia harus ikut ? dan akhirnya secara terpaksa daripada di ngomel-ngomel sepanjang jalan kenangan dan aku dianggap tidak tahu terimakasih akhirnya ku turuti saja.
                Aku celingak celinguk mencari keberadaan Edgar. Terakhir ku lihat ia tadi menatapku di lapangan saat kejadian memalukan itu, tapi kok sekarang dia hilang lagi ?
                Setelah 7 kali memutari sekolah yang panjangnya kaya jalan ke negeri antah berantah ini akhirnya aku mendapati Edgar sedang duduk mematung sambil melempar batu di kolam di belakang sekolah—ngapain dia disitu ?—pikirku.
                Kebetulan Dimas sedang membelikanku minum di kantin yang akhirnya menjadi kesempatan ku untuk menghampiri Edgar.
                “ngapain disini ?”
                Edgar menoleh kemudian tersenyum kearahku “sini duduk sini” Edgar menepuk-nepuk batu di sebelahnya supaya aku duduk di sampingnya.
                “kenapa gak ada sama aku tadi ?” tanyaku.
                “aku takut ganggu kamu” katanya.
                “lho kok ?” aku kaget.
                Edgar hanya menunduk diam sambil sesekali melempar batu ke kolam.
                “katanya gak pengen aku kenapa-kenapa, kok ninggalin aku sendiri ?” tanyaku lagi.
                “maaf” jawab Edgar singkat.
                Aku hanya menatap Edgar dari samping. Ku rasa Edgar tampak lucu kalau ku perhatikan dari sudut ini. mataku menatapnya jauh mendalam, membongkar lagi semua kenangan-kenangan yang pernah ku lalui bersama Edgar. Semua kenangan-kenangan indah yang pernah ia torehkan padaku. Semua kata-kata yang ku rekam menjadi satu cerita dongeng indah dalam hidupku. Semua senyuman yang ku museum kan di dalam sudut-sudut hatiku. Hanya satu yang membuat ku bertahan semenjak kepergian Lisa, senyuman Edgar. Terlalu naïf memang dengan artian kata-kata yang kubutuhkan hanyalah “senyuman Edgar” tapi bagiku itulah kenyataanya. Itulah yang bisa membuatku ikut tertawa jika melihat sederet gigi mencilingnya itu menyapaku di tiap pagiku. Itulah dongeng indahku.
                “ikut aku” Edgar menggenggam tanganku kemudian membawaku melangkah menelusuri koridor sekolah.
                Aku hanya menurut saja mengikuti Edgar yang sangat erat menggenggam tanganku. Aku dan Edgar semakin berjalan menuju kegelapan di belakang sekolah, aku mulai merasa aneh. Edgar tak pernah membawaku ke tempat kayak beginian, apalagi semenjak kepergian Lisa, Edgar lebih suka mengajakku ke tengah banyak orang.
                Aku tak menatap wajah Edgar sedari tadi, aku hanya mengikutinya dari belakang karna wajahnya hanya menghadap kedepan dan aku tertinggal di belakang punggungnya.
                “kita mau kemana gar ?” akhirnya aku berani angkat bicara soal keadaan ini.
                Edgar hanya diam dan terus menggandeng tanganku melewati koridor ini menuju belakang sekolah. Sepertinya arahnya menuju ke kelasku. Hah kelasku ? untuk apa ?
                Perasaanku mulai tak enak. Sedangkan langkah kakiku semakin mendekati area belakang sekolah, benar-benar tak ada orang disini. Hanya aku dan Edgar. Ya, kami berdua. Karna semua anak berada di lapangan saat ini.
                Edgar memberhentikan langkah tepat di depan kelasku. Aku benar-benar bingung apa yang ingin dia lakukan. Sesaat sebelum ia membuka pintu kelas..
                “gar, mau ngapain ?” sergahku sekali lagi pada Edgar agar ia mau menjawab pertanyaanku.
                Edgar melepaskan tangannya dari ganggang pintu kelas dan berbalik kearahku tanpa melepaskan tangannya dari tanganku. Matanya menampakan keteduhan yang sama, keteduhan yang selalu aku rindukan di tiap hariku. Wajah itu, wajah itulah yang mampu membuatku terbuai. Ku tatap lekat wajah Edgar tetap dengan seribu tanda Tanya yang menggunung yang berjejer di kepalaku.
                Edgar menatapku lekat dan semakin dalam. Mau apa ? mau mesum disini ? Ah gila, becanda terus ! yang benar saja ?
                Dan ku lihat senyum itu merekah dari bibir Edgar. Senyum yang selalu ku nantikan menemani hari-hariku. senyum yang akan ku ingat selalu sepanjang sisa hidupku. senyum itu…

Brraakkkkkkkkkk!!!
                Aku terpental jauh menabrak kursi yang ada di depan kelas 3 IPS 3. Ku rasakan seluruh badanku hancur karena menubruk kayu itu. Ku rasakan sakit luar biasa di kepala ku dan sekitar bibirku. Ku sentuh bibirku dengan punggung tanganku—darah—aku menatap ke arah di mana Edgar tadi berdiri.
                Edgar berdiri dengan senyuman, ya masih dengan senyuman. Tapi aku tak mengenal senyuman itu kali ini.
                “Gar” lirihku pada Edgar sambil meringis kesakitan. Ku tatap dalam wajah Edgar. Kenapa Edgar lakukan ini.
                Edgar tersenyum sumringah melihat kearah ku. Ia melangkah mendekatiku.
                Aku menatapnya getir. Aku sangat ketakutan saat ini. suara ku tercekat. Aku tak mampu berteriak memanggil siapapun. Hatiku hanya dapat menjerit. Tapi, sekuat apapun aku menjerit tak akan ada seorang pun yang mendengar sebuah—jeritan hati.
                Edgar mengangkat daguku. Memaksaku untuk berdiri dari sela-sela bangku kayu yang hancur karna tertimpaku.
                “Gar, kamu kenapa ?” aku menangis.
Brakkkkkkkk!!!
                Sekali lagi Edgar melemparku, kali ini ke tengah sawah di depan selasar kelas belakang ini. syukurlah sekarang sedang musim kemarau, jadi sawah disini kering sekali. Edgar melemparku tepat ke bawah sebuah orang-orangan sawah. Aku menatap ke arah orang-orangan sawah itu—Aaaaaaaaaaaaaaaaaa—aku menjerit sekuat-kuatnya menjauhi orang-orangan sawah yang bisa berjalan itu. Jenglot sialan itu mengejarku. Aku berusaha naik ke selasar untuk menyelamatkan diri tapi Edgar menghadangku di atas. Tanganku yang jadikan tumpuan di tendangnya keras, ku rasa sedikit lagi tanganku akan patah. Ya tuhan, apa yang terjadi, siapapun tolong aku. Aku berlari mencari arah lain tapi semua jenglot-jenglot itu mengejarku. Aku berlari menuju toilet menyelamatkan diri dari pasukan keparat itu.
                Tapi Edgar menarik tanganku, menyeretku tanpa belas kasihan di lantai sepanjang koridor kemudian melemparku masuk ke dalam kelasku. Tuhan, aku benar-benar tak sanggup lagi. samar-samar aku menatap Edgar yang kemudian berubah seketika menjadi wanita keparat itu lagi ! oh tuhan, jadi yang sedari tadi bersama ku bukanlah Edgar. Lalu Edgar dimana ?
                AAAHHHHHH—jeritku setengah sadar. Aku benar-benar sudah tak berdaya lagi. aku berlari menjauhi perempuan itu, keluar kelas dan lari sekuatku. Tapi wanita itu kembali mendapatkanku, dengan wajahnya yang penuh dengan darah dan kuku-kukunya yang panjang ia menyeretku menuju toilet. Aku berontak sekeras mungkin, tapi tenaga wanita ini benar-benar tenaga kingkong. Aku benar-benar tak kuasa melawan perempuan ini. aku menangis sekuat mungkin sambil diseret-seret. Semua badanku serasa mati rasa. Luka ada dimana-mana. Dan…

Braaaaakkkkkkkkkkkk!
AAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH
LISAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!

                Ku temukan Lisa tergolek lemas di bawah wastafel dengan hanya mengenakan tank-top dan rok SMA yang sudah lusuh. Wajahnya begitu pucat. Lisa tak sadarkan diri.
                “sa, bangun sa” aku menepuk-nepuk pipi Lisa berharap Lisa bangun.
                Tiba-tiba ku dengar ember yang jatuh di dalam kamar mandi, dengan sisa tenaga yang ada aku membuka pintu kamar mandi..
                Ku temukan seorang laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan tutup kepala hitam sedang menggapai-gapai menaiki jendela kecil yang ada di atas kamar mandi, ku kira ia ingin melarikan diri. Seorang pria separuh baya. Ia menoleh kearahku dengan tatapan tajam. Di urungkannya niatnya untuk keluar melalui jendela itu, ia kemudian turun kemudian menghambur ke arahku.
                Pria ini mencekikku kuat hingga aku tersandar di dinding toilet. Aku megap-megap mengambil sisa oksigen. Ku tatap Lisa yang berada tepat terduduk lemas di sampingku, belum juga sadar.
                “kamu harus mati” suara berat itu menggema. Aku terus saja menarik nafas dalam-dalam agar bisa menyambung sisa hidupku.
                “ke.. kenapa gue?” suara ku tercekat cekikan lelaki ini. tapi dengan sisa tenaga ku, akhirnya ku tarik penutup kepala lelaki ini.
                Aku tercengang dengan apa yang berada di depan ku. Laki-laki ini aku sangat mengenalnya. Aku sangat tahu siapa dia. aku bahkan setiap hari melihatnya.
                “pak warno” aku tak menyangka satpam ini begitu tega terhadapku dan terhadap Lisa. aku belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi ini.
                Pak Warno hanya menatapku lekat dengan tatapan yan sangat abstrak. Tak tersirat di matanya bahwa ia bersalah. Apa ? apa yang sedang ku hadapi ?

                Braaakkkkkkk!!!
                Pak Warno tersungkur di bawah kakiku. Setelah punggungnya di hantam sesuatu oleh seseorang.
                “Dian?” lirihku penuh tanda Tanya. Ia menghantam pak Warno dengan sebilah kayu. Bagaimana ia tahu aku ada disini ?
                “cepat, seret Lisa menjauh dari sini. Lisa masih hidup” serunya. Aku menurut saja. Ku gendong Lisa keluar toilet dengan semua sisa tenaga ku.
                Dian berjalan tepat di depan ku yang sedang membawa Lisa. aku benar-benar tak mecerna kata-kata Dian barusan, setelah sesaat kemudian aku menyadarinya—dari mana dia tahu Lisa masih hidup ?
                “Ta! Menjauh!” seseorang di depan sana menyerukanku. Aku benar-benar tak mengerti. Aku tahu itu suara Dimas. Bagaimana Dimas tahu aku ada disini ?
                Aku menatap nanar ke arah Dian dengan wajah yang sangat bingung. Sesaat aku bertatapan dengan Dian, aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi.
                Tiba-tiba Dian tersenyum sumringah, memamerkan gigi-giginya yang rapi. Aku tak mengerti arti senyuman Dian.

                Braaakkkkkkk!!!
                Lisaaaaaaaaaaaaa!!!
               
                Aku memekik memecah keheningan malam itu. Entah lah sekarang sudah jam berapa aku benar-benar tak perduli aku berteriak sekeras mungkin, melihat Lisa yang di lempar Dian ke tengah sawah. Lisa benar-benar tak sadarkan diri. Aku melompat ke kerumunan sawah, menghampiri Lisa.
                “Sa, bangun sa” aku mencoba membangunkan Lisa. ku lihat kepala Lisa berdarah, sepertinya akibat hantaman kayu berpaku yang menjadi penyangga orang-orangan sawah. Jantungku berdegup kencang melihat keadaan yang menghimpitku saat ini. aku tak mengerti apa-apa ? aku dan Lisa bahkan tak tahu apa-apa ? Pak Warno ? Dian ? Arrrgggghhhhhhhhhhhhh
                Aku menatap tajam ke arah Dian yang berdiri diatas selasar. Sinar mataku tak bisa menutupi betapa marahnya aku saat ini. Dengan yakin aku naik ke atas selasar menghadapi Dian. aku harus tau dan Dian harus punya tanggung jawab atas semua ini…

                “apa ? apa yang elo mau !” teriakku geram pada keparat sialan ini yang sudah menghancurkan seluruh kehidupan ku.
                Dian hanya tersenyum. Tersenyum penuh misteri.
                “Sialann lo ! Arrrrgggggg” ku tendang Dian hingga terseret mundur kebelakang. Aku benar-benar marah saat ini. ku hampiri Dian kemudian ku tarik dan ku lempar ke tengah sawah tepat di samping Lisa. “Lo liat kan ? itu temen gue ! apa yang udah lo lakuin ? apa ?” teriakku geram. Dimas hanya memandangku di ujung koridor, bahkan Dimas pun tak berani bicara saat melihatku marah seperti ini.
                “gue gak suka liat lo bareng-bareng Edgar terus ! gue gak suka !” Teriak Dian di bawah sana.
                Hah? Apa ? semua ini ? semua yang aku lewati, semua hal yang aku alami ? semua kutukan ini ? Cuma gara-gara Edgar ?

                Taaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrr!!
                Suara petir menggelegar. Tiba-tiba saja dengan waktu yang singkat hujan kembali turun dan entah kenapa hujan ini begitu deras mengiringi kenyataan yang baru saja ku terima. Mengiringi jawaban yang ku cari selama ini. aku benar-benar tak menyangka. Hanya karna Edgar, seluruh nyawaku terancam. Maut hampir saja memisahkan aku dan Lisa ? perempuan sialan ini benar-benar GILA!
                Aku melompat turun menghardik Dian yang terkulai lemah di bawah sana. Ku lihat sahabatku itu masih tak sadarkan diri walaupun di guyur hujan seperti ini. Dian harus membayar semua ini—batinku.
                “bangun lo keparat ! elo harus membayar ini semua !” teriakku memekik di telinganya, kali ini berada di tengah jenglot-jenglot ini pun tak mampu menepis niatku untuk menghabisi wanita sialan ini.
                “Hahahahahaha” tawa Dian menggema di tengah guyuran hujan malam ini. Dian memang tak banyak bacot, tapi sepatah kata yang keluar dari mulut pelacur ini mampu membuat hatiku makin ingin memotong lehernya.
                “gue minta penjelasan atas kedatangan dewa maut yang hampir aja ngacurin gue dan Lisa. apa maksud lo?”
                “apa kurang jelas yang barusan gue teriakkin ? gue gak suka lo deket-deket sama Edgar!”
                “gila apa lo ? Cuma gara-gara Edgar semua kayak gini ?”
                “iya kenapa ? elo gak tau kan derita apa yang gue rasain selama ini ??? 4 tahun Ta, 4 tahun ! 4 tahun gue nunggu Edgar, tapi apa ? semua yang gue lakuin tetep NOL dimata Edgar, bahkan sejak 3 tahun belakangan ini, semenjak kedatangan lo di kehidupan Edgar gue jadi apa ? gue jadi transparan ! kenapa harus elo Ta ? kenapa bukan gue yang bisa sedeket itu sama Edgar. Gue, gue yang slalu ada di balik tirai saat ngeliat elo dan Edgar berdua. Gue yang slalu baik sama dia bahkan Cuma dia anggap apa ? gak ada apa-apa. Cuma elo yang terus-terusan dia cari Ta. Bahkan saat Edgar sakit, gue yang naroh coklat sama kue di depan rumahnya, dan gue tau Edgar ngira elo yang nganterin itu semua !” Dian menagis.
                Aku terenyuh melihat Dian yang pendiam, Dian yang bahkan sangat tertutup bisa seliar ini. aku benar-benar tak tahu. Aku menatap mata Dian tajam, tak tampak sinar kebohongan disana. Dia benar-benar sangat mencintai Edgar sama sepertiku. Tapi aku benar-benar tak menyangka semua berakhir seperti ini. aku membongkar lagi semua kenangan, semua memori yang ku simpan.

Waktu itu…
                “hai Ta, morning” Edgar menyapaku pagi ini di depan kelas dengan senyum yang sumringah sambil menarik-narik hidungku seperti biasa.
                “iya, morning” aku memegang hidungku bekas tarikan Edgar sambil tersenyum.
                “hahaha, itu idung makin mancung aja”
                “mulai deh, aku tau aku pesek. Eh, Edgar udah sembuh ya” aku tersenyum menggoda-goda Edgar.
                “iya dong, gak betah lama-lama sakit dirumah. Soalnya jarang ketemu Tuan Putri ini nih” Edgar mengacak-ngacak rambutku.
                “aahhh, gombal mulu nih”
                “idih serius. Eh, makasih ya coklat sama kuenya”
                Aku melotot mendengar penuturan Edgar barusan—coklat?kue?kapan gue ngasihnya—batinku. Aku hanya menatap Edgar dengan tatapan bingung.
                “kenapa ?” tanya Edgar.
                “gak, gak papa” aku tersenyum getir memandang Edgar.

                Pikiranku melesat kembali ke masa lampau. Aku benar-benar tak menyangka ada orang yang begitu sakit hati saat melihat kebersamaanku dengan Edgar.
                “gi..gimana elo bisa tau ?” tanyaku getir pada Dian sambil menyapu rintikan hujan yang membasahi wajahku.
                “jelas! Karna gue waktu itu di belakang elo dan Edgar ! lo gak tau kan betapa sakitnya gue ? gak Ta !”
                “tapi kenapa elo gak pernah ngomong ?”
                “penting ya ngomong-ngomong sama orang lain ?”
                “terus apa hubungannya dengan pak Warno ?”
                “Hahaha Pak Warno ? dia yang menolongku! Aku yang harus banyak berterimakasih sama dia. karna Dia lah aku bisa melumpuhkan kekuatan kamu. Lisa.”
                “apa ?”
                “iya, sebenarnya aku ingin sekali menghabisi sahabat mu itu dan menyuruh pak Warno menggantungnya menjadi orang-orangan sawah di tengah sawah ini. tapi menurutku Lisa gak penting, seharusnya elo yang bergelantungan menjadi orang-orangan sawah disini. Sama seperti mereka semua !”
                “apa ? mereka ?”
                “Iya, mereka. Mereka adalah orang-orang yang mati ku bunuh untuk tumbalku agar aku bisa hidup abadi!” teriak seseorang yang muncul dari kegelapan malam di ujung sekolah. Pak Warno.
                Aku menatap pak Warno dan Dian yang sekarang berdiri berjajar berhadapan denganku. “apa ? jadi ?”
                “iya mereka semua manusia. Sebenarnya Lisa hampir saja ku jadikan tumbal, tapi karna Dian meminta kamu yang mati, jadi dengan sabar aku menunggunya. Lisa hanya ku sembunyikan di atap gudang sampai malam ini dia ku kembalikan lagi”
                “kenapa Dian ?”
                “karna Dian adalah anakku, dialah yang membantuku mencari tumbal-tumbal ini, dan saat ia menawarkan kamu jelas aku tidak akan menolak dan sekarang aku lah yang harus membantunya”
                Air mataku mengalir begitu saja menerima kenyataan malam ini. otakku tak habis pikir memikirkan semuanya. Bahkan tak ada yang tahu kalau Dian adalah anak dari pak Warno. Jadi benar, semua jenglot-jenglot itu ? mereka pernah hidup ? mereka pernah ada ? itu ternyata bukan hanya khayalan. Mereka khayalanku yang nyata. Air mataku semakin menjadi, ya tuhan kutukan apa ini ?—batinku menjerit.
                “Dan sekarang elo harus tau gimana sakit yang gue rasa !” teriak Dian geram sambil mengeluarkan sebilah belati dari kantong jeansnya. Dian melangkah mendekatiku.
                Aku mundur saat ku lihat belati tajam itu mengincarku. “Dian!” teriakku. Tapi Dian tak memerdulikan teriakkanku. Sinar matanya berubah tajam sama seperti tajamnya belati yang berkilau mengincarku itu. Langkah kakiku terus mundur.

                Braakkkkkk!!!
                Kakiku tersagkut di sebatang kayu yang terhampar tepat di bawah selasar, aku terjatuh hingga kepalaku membentur rongga kayu selasar kelas. Ku rasakan sakit yang luar biasa di kepalaku, aku tak mampu lagi untuk bangun. Samar-samar di tengah guyuran hujan ku lihat Dian bersama belatinya tertawa dan semakin mendekatiku. Ya tuhan, jika ini saat terakhirku maka ku iklaskan seluruh sisa ragaku. Aku tak mungkin bisa melawan lagi. aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, ku pasrahkan hidupku malam ini.
“menjauh dari Tata !” teriak seseorang melompat dari atas selasar.
                “Dimas!” teriakku. Ku lihat Dimas menghardik Dian yang akhirnya tersungkur ke tanah. “Dimas awas!” teriakku lagi. tapi aku terlambat, ku lihat pak Warno menghantam punggung Dimas dengan kayu hingga Dimas tersungkur ke tanah. Aku benar-benar tak mampu berdiri untuk menolong Dimas. Aku hanya bisa menangis melihat suasana mencekam ini. ku perhatikan Lisa yang terguyur hujan dan Dimas yang ikut tidak berdaya lagi. siapa lagi ? sekarang hanya ada aku disini. Tak ada yang bisa menolongku lagi. menggerakan tubuhku saja aku tidak mampu. Suara ku tercekat. Aku tak bisa berteriak lagi. takkan mungkin ada yang mampu mendengar aku berteriak di belakang sini.
                Hujan semakin deras. Ku lihat Dian tertawa menatap ke arahku. Sesaat kemudian kembali melangkah menghampiriku dengan belatinya. Aku hanya bisa menarik nafas dalam. Menyerahkan semuanya. Aku menangis sekuat mungkin.
                “elo harus ngerasain sakit yang gue rasain, dan elo tau sakitnya sama kaya belati ini waktu nancap di perut lo !! Arrgggghhhhhhhhh” tanpa basa basi lagi Dian melayangkan belati itu menuju kearahku.

                AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!
                “EDGAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
                “matipun aku harus kembali sama kamu”

***
                Seluruh hidupku telah berhenti. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Semua yang sudah ku perjuangkan. Semua memori yang telah ku rekam sekarang semuanya telah hancur berantakan. Dan sampai saat ini ketidak mengertianku akan sikap yang di tunjukan oleh Edgar selama ini padaku terus menggema dalam hatiku. Akupun tak bisa berbuat apa-apa saat melihat kenyataan ini. Kadang memang ada keinginan untuk mendahului menyatakan perasaanku pada cowok itu, tapi mengingat rasanya kurang etis kalau cewek yang memulai, akhirnya aku mengurungkan niatku. Hingga akhirnya, aku menyesal. Aku tak sempat mengatakan apapun pada Edgar Dan pada akhirnya kembali, aku hanya bisa menunggu dengan hati yang senantiasa di penuhi oleh harapan dan tanda Tanya.
                Hingga saat aku melihat jasad Edgar terbujur kaku di dalam peti mati aku tak bisa lagi menunggu. Semua yang ku lewati, berakhir seperti ini ?
                Kembali terbongkar semua tawa yang pernah di torehkan Edgar padaku. Ingin sekali aku memutar kembali waktu. Tapi andai saja semudah itu.
                “Gar, kamu belum sempet Gar. Kenapa kamu ninggalin aku secepet ini. seharusnya kamu gak perlu ada waktu itu” aku menangis memeluk jasad Edgar. “aku sayang sama kamu, seharusnya kamu tau perasaanku”
                Edgar meninggalkan aku dengan jasanya yang sangat berarti di hidupku. Dia meregang nyawanya untukku sampai dia harus pergi. Aku merasa sangat gagal membahagiakan Edgar. Semua mata yang hujan menatapku menangis saat aku bersimpuh di sebelah Edgar. Aku berharap ini mimpi, tapi tuhan ternyata tidak mengijinkan kenyataan ini menjadi dongeng tidurku.
                “Ta, udah Ta. Biarin Edgar pergi dengan tenang” Dimas mencoba menenangkan aku.
                “Dia ninggalin gue dengan beribu beban Dim”
                “iya gue tau, tapi kalo elo gini, dia gak akan bahagia”
                “gue gak bisa bahagia tanpa dia Dim!” aku menangis sejadi-jadinya.
“Hey-hey coba lihat cowok itu, dia ninggalin elo dengan semua kenangan indah, cowok ini yang pernah ada ngehias hari-hari lo, dia juga sayang banget Ta sama elo, asal elo tau aja. Sulit nyari orang yang sama kaya edgar yang mau meregang nyawanya buat orang yang dia sayang, coba liat dia. jangan bikin dia sedih Ta, dia pasti gak pengen lo kaya gini terus.” Dimas memelukku erat mencoba menenangkan aku.

matipun aku harus kembali sama kamu
EDGAR!!!!!!!!!!

***
Semenjak kejadian itu. Seluruh hidupku berubah 180 derajat. Dian dan Pak Warno kini mendekam di penjara. Lisa mampu sadar setelah 2 hari di rawat di rumah sakit dan Dimas sekolah dengan menggunakan perban di kepalanya akibat terbentur kayu di sawah tempo hari. Tapi sekarang tak ada lagi yang menarik-narik hidungku setiap pagi. Takkan ada lagi yang menyapaku dengan mengacak-acak rambutku. takkan ada lagi yang melambaikan tangan saat ku perhatikan sedang bermain basket. Takkan ada lagi cowok yang selalu kadang datang dan kadang enggak. Takkan ada lagi cowok yang mengirim pesan yang sangat pendek untukku tapi mengubah seluruh agenda hidupku. Takkan ada lagi .. Sekarang… Edgar sudah tak ada. Edgar pergi selama-lamanya tanpa sempat memberitahukanku sesuatu yang dari dulu ku tunggu. Hingga pada akhirnya aku hanya bisa menunggu untuk selamanya. Aku hanya bisa berharap, kiranya suatu saat nanti, aku akan mendapatkan kepastian cinta dari cowok idola dan pujaan hatiku itu, Edgar.
Semua kejadian ini telah merangkai kehidupanku. Kutukan dan malapetaka ini membuat ku mengerti tentang arti waktu dan seseorang, penantian dan perjuangan. Hidup ini bukan hanya tentang kebahagiaanku saja, tapi juga kebahagiaan orang lain.
Edgar, terimakasih. Terimakasih atas waktu yang pernah kamu berikan, terimakasih atas senyuman yang selalu mewarnai hariku bagaikan pelangi. Terimakasih atas semua pengorbanan yang kamu lakukan. Berjanjilah padaku untuk terus hidup dengan baik, Edgar.

***
Aku menatap nanar keluar kelas.
Semua jenglot itu sekarang sudah di cabut Gar, sekarang gak akan ada lagi harapan untuk jenglot raksasa itu terbang ke surga memakai sayap berbulu Gar. Sekarang aku gak akan takut lagi datang kesekolah. Edgar jangan khawatir sama Tata lagi—batinku bicara.
                Aku berdiri dan meninggalkan kelas yang sudah sangat sepi. Sekolah sudah sangat sepi, Karena sudah sejam yang lalu bubaran. Aku melangkah melewati koridor dan melihat ke leretan sawah tempat dimana malam itu aku mempertaruhkan nyawa.

                Tata…
                Suara berat itu samar-samar terdengar masuk dalam rongga telingaku. Seseorang memanggil namaku. Suara berat seorang wanita. Aku memutar tubuhku mencari arah suara itu menggema. Ku lihat wanita itu berdiri di ujung koridor dekat toilet, berdiri dengan tatapan tajam kearahku, masih dengan wajah yang berdarah dan mulut yang hampir robek.
                Aku hanya menatap wanita itu. Perasaan takutku yang mencuat sekarang kembali menciut. Wanita itu sekuat tenaga berusaha tersenyum kearahku.
                Entah siapa wanita itu, aku tak ingin menetahuinya. Sedetik kemudian wanita itu menghilang dari pandanganku. Aku hanya tersenyum. Kemudian kembali melanjutkan perjalananku menuju luar sekolah.

                Terimakasih…
                Suara itu kembali menggema di seluruh koridor dengan jelas. Aku hanya tersenyum entah pada siapa pun itu.

***
                “kemana Ta ?” Lisa meneriakki ku.
                “jenguk Edgar” jawabku pada Lisa tersenyum.
                “kemarin kan udah ?”
                “tiap hari dong, aku gak akan absen jenguk dia tiap hari” aku berlari meninggalkan Lisa sambil tertawa.

               
SEKIAN
(Dedicated To My Beloved Friends)
Aidha Aprilyza


Tidak ada komentar:

Posting Komentar